Perjalanan ke Eropa dalam Kondisi Pandemi Covid-19


Saya merupakan orang yang cukup beruntung untuk bisa bepergian ke Eropa untuk melanjutkan studi S3. Saya akhirnya diterima beasiswa Stipendium Hungaricum untuk melanjutkan kuliah S3 di Eotvos Lorand University (ELTE) pada program Cognitive Psychology. Perjalanan ke Hungaria di masa pandemic Covid-19 ini tentu saja penuh drama. Tapi ya begitulah, cerita para Angkatan Covid ini, enak buat diceritakan tapi tidak enak dialami.

Tepat tiga minggu setelah mengajukan visa, saya mendapat email bahwa permohonan visa saya dikabulkan. Sejak saat itu saya langsung merancang strategi untuk bisa berangkat ke Hungaria. Urusan tugas belajar dan dana bantuan studi dari kampus sudah beres. Namun yang jadi masalah adalah tempat tinggal di Hungaria belum ada. ELTE memberi kabar kalau dormitory kampus tidak bisa ditempati semester ini karena Covid. Mereka memberi alternatif private dorm, tapi harus nambah biaya 25rb HUF, atau sekitar 1,2 juta/bulan. Dengan harga segitu sih kayaknya ga layak kalau tinggal di dorm yang ditawarkan kampus. Oiya dorm ini modelnya sekamar bertiga, tiap sepuluh kamar ada satu 2 bilik shower room dan 2 bilik toilet. Ada juga dapur umum dan mesin cuci untuk barengan. Saya akhirnya mencoba nyari flat bareng teman-teman Indonesia yang kuliah di kampus yang sama. Sudah lima flat kita suka, oke, dan kontak yang punya, tapi lima kali juga ketikung. Karena akhirnya ga nemu flat yang harganya terjangkau, kami akhirnya memutuskan untuk tinggal di private dorm yang ditawarkan kampus. Berita baik datang dua minggu kemudian, mereka mengatakan kalau biaya sewa tidak jadi nambah, gratis bagi penerima beasiswa Stipendium Hungaricum. Alhamdulillah.

Hal pertama yang saya lakukan setelah tempat tinggal sudah fix adalah menentukan jadwal keberangkatan. Menentukan jadwal keberangkatan ini tidak simple, karena untuk masuk ke Hungaria di masa pandemi juga agak ribet. Untungnya sih bagi pemilik visa type D, kita bebas masuk Hungaria tanpa perlu mengajukan izin dari kepolisian setempat. Namun untuk dapat masuk dan bebas karantina 14 hari, kita perlu menunjukkan hasil 2 tes PCR negatif dalam waktu 5 hari terakhir dengan jarak pengetesan 48 jam. Syarat ini jelas tidak bisa dipenuhi kalau melakukan tes PCRnya di Malang. Rata-rata tes PCR di Malang baru keluar hasilnya dalam waktu 5 hari. Saya pun memutuskan untuk tes di Jakarta, tentu dengan biaya yang lebih mahal. Saya pilih paket yang hasilnya keluar 1 hari di RS Mayapada, biayanya 2 juta. Sudah booking dan sudah bayar, eh baru tahu ada yang lebih murah, yaitu di GSI. Dengan paket yang sama biayanya hanya 1,2 juta. Saya sudah beli tiket pesawat untuk tanggal 2 September dan tanggal 28 Agustus saya sudah berangkat ke Jakarta untuk tes PCR. Dalam perjalanan di kereta, saya dapat kabar bahwa tes PCR yang dilakukan di luar Hungaria tidak diakui lagi. Hal ini sebagai respon karena statistik peningkatan jumlah kasus Covid di Hungaria meningkat tajam dalam dua minggu terakhir, dan sebagian besar datang dari luar negeri. Jadilah 2 juta ini terbuang sia-sia. Tapi gpp, setidaknya saya tahu bahwa hasil tes PCR saya negatif.

Tanggal 2 kami berangkat ke Hungaria dengan Qatar Airways. Maskapai ini adalah satu-satunya maskapai yang disarankan keduataan besar, mengingat maskapai lain sering cancel penerbangan karena kondisi covid. Rombongan dari Indonesia untuk tanggal 2 ini cukup banyak, ada lebih dari 15 orang. Untuk terbang dengan Qatar tidak diperlukan syarat tes PCR. Nah ini cukup aneh sih, untuk penerbangan domestik saja setidaknya kita butuh rapid test, tapi untuk penerbangan internasional dengan durasi lebih dari 15 jam dan tanpa physical distancing tidak butuh tes apapun. Jadwal boarding jam 23.40 dan check-in sudah dibuka jam 21.00. Antrian checkin dipisah antara mereka yang sudah check-in online dan belum, jadi kalau mau cepat, lebih baik check-in online dulu. Sepanjang perjalanan, penumpang diberi face shield yang wajib dipakai Bersama masker. Penerbangan dengan Qatar Airways ini transit satu kali di Doha. Transit tidak memerlukan dokumen apapun, karena penumpang juga tidak diizinkan meninggalkan daerah bandara. Perjalanan Doha-Budapest memakan waktu sekitar 5,5 jam.

Saya mendarat di Budapest sekitar jam 13.00. bandara Budapest ini kecil, sama seperti bandara di Malang. Masuk bandara kita langsung antri untuk cek di imigrasi. Antrian cukup panjang, apalagi hari itu adalah transisi perubahan aturan baru, jadi pengecekan petugas cukup ketat. Satu orang bisa memakan waktu 30 menit untuk di imigrasi. Menurut informasi, untuk mahasiswa perlu melampirkan student certificate untuk masuk Hungaria. Tapi saya kemarin tidak pakai itu karena sudah request ke kampus tapi tidak dibalas. Saya hanya membawa Letter of Acceptance dari kampus. Di sana kita juga diberi form dalam bahasa Hungaria yang intinya menanyakan kontak dan lokasi karantina kita. Alhamdulillah proses di imigrasi lancar. Kita diberi stiker warna merah untuk ditempel di pintu kamar sebagai penanda orang ini sedang dalam masa karantina. Selesai itu kita langsung menemui teman-teman PPI yang sudah menjemput kami.

Kami berangkat ke dorm naik bus umum. Kami membeli tiket untuk 10 kali perjalanan. Tiket ini benar-benar berwujud tiket, yang nanti divalidasi ketika di bus. Untuk urusan ini sih saya merasa Jakarta lebih modern. Sebenarnya ga divalidasi juga gapapa, cuma kalau pas apes ada petugas ngecek bisa kena denda. Kesan pertama melihat Budapest sih biasa saja, tidak beda jauh dengan Indonesia. Sebagai ibu kota negara, saya merasa Jakarta masih lebih “wow” dibanding di Budapest. Hanya saja memang kemacetannya tidak separah di Jakarta. Pengendara juga lebih tertib. Sesampainya di dorm kita regristrasi dan langsung menuju kamar. Ada minimarket di lantai bawah, ya mirip warung kelontong di Indonesia lah. Pembayaran bisa pakai kartu debit, saya pakai Jenius. Untuk urusan transaksi di luar negeri ini, Jenius sangat berguna di sini. Penampakan dormitory ini jauh lebih tua dan horror dari yang di website. Tapi apapun itu, tetap bersyukur lah ada tempat yang bisa menampung kita, apalagi ini gratisan. Jadi sekarang di sinilah saya, menjalani karantina dua minggu di negeri orang.

Stanford Prison Experiment dan Labeling Covid-19

Di Psikologi, ada satu eksperimen yang sangat terkenal, bahkan sampai dibuatkan filmnya juga. Eksperimen itu dikenal sebagai Stanford Prison Experiment. Singkat cerita, eksperimen ini dilakukan oleh Philip Zimbardo di Stanford University untuk mempelajari perilaku orang normal yang ditempatkan dalam suatu penjara buatan (yang sebenarnya adalah kampus). Dia ingin mempelajari situasi psikologis yang muncul melalui manipulasi lingkungan fisik serta bagaimana suatu label terhadap seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang tersebut. Partisipan penelitian dibagi menjadi dua kelompok peran, yakni mereka yang berperan sebagai sipir penjara dan tahanan. Partisipan yang berperan sebagai tahanan didatangi ke rumahnya dengan mobil polisi sungguhan, ditangkap, dan diborgol di depan umum. Sesampainya di penjara buatan, mereka digeledah, ditelanjangi, dan dirantai kakinya layaknya tahanan sungguhan.

Awalnya eksperimen ini direncanakan berlangsung selama 14 hari, namun akhirnya pada hari keenam eksperimen Ini dihentikan karena perilaku para sipir penjara yang semakin kejam dan para tahanan yang tertekan secara emosi. Selama eksperimen, kedua kelompok yang berperan sebagai sipir dan tahanan menjalani dengan sungguh-sungguh peran yang diberikan meskipun mereka tahu bahwa ini hanyalah eksperimen semata. Label yang diberikan kepada mereka telah mengubah bagaimana cara mereka berperilaku. Melalui eksperimen yang tidak selesai ini Zimbardo menyimpulkan bahwa orang normal yang sehat secara psikologis dapat melakukan kejahatan apabila diperhadapkan di situasi yang memungkinkan mereka untuk melakukannya.

Meskipun eksperimen yang dilakukan Zimbardo ini banyak dikritik karena menyalahi etika dan aturan penelitian dengan subjek manusia, namun penelitian ini juga memberikan insight yang luar biasa. Satu hal yang menjadi point penting adalah situasi tertentu dapat mempengaruhi perilaku individu lebih besar daripada kepribadian individu itu sendiri. Seringkali, lingkungan dan keadaan kita menentukan siapa kita dan apa yang kita lakukan. Itu juga secara tidak langsung membentuk keyakinan dan identitas kita pada saat yang bersamaan. Nah memberikan label merupakan salah satu kondisi yang dapat menentukan perilaku kita.

Saya baru saja mengalami hal yang berkaitan dengan kesimpulan eksperimen tersebut. Jadi ceritanya begini, saya datang ke Hungaria tanggal 2 September 2020. Sebelum berangkat, saya melakukan tes PCR dan hasilnya adalah negatif, tidak ada virus covid di tubuh saya. Namun saya sedang sial saat itu, per tanggal 1 September 2020, pemerintah Hungaria mengubah kebijakan untuk masuk ke negara tersebut. Jika sebelumnya warga negara asing boleh masuk dan bebas karantina asalkan bisa menunjukkan dua hasil tes PCR negatif dalam waktu lima hari terakhir, setelah tanggal 1 September aturan itu tidak berlaku lagi. Pemerintah Hungaria tidak menerima tes PCR yang dilakukan di luar Hungaria. Jadi terpaksalah saya harus menjalani karantina selama dua minggu. Sementara teman-teman lain yang datang sebelum tanggal 1 bisa bebas berkeliaran keliling Budapest. Anehnya begini, menjadi orang yang diwajibkan karantina ini berimbas pada bagaimana orang lain memperlakukan kita, dan juga bagaimana kita berperilaku. Meskipun sama-sama memiliki hasil PCR negative, tapi status karantina ternyata menjadi pembeda yang cukup besar. Orang menjadi lebih jaga jarak dengan kita. Beberapa pemiliki apartemen menolak kami karena harus menjalani karantina, meskipun kami bisa menunjukkan hasil tes PCR negatif. Polisi datang mengecek kami secara berkala, menyelidiki apakah kami benar-benar menjalani karantina atau tidak. Saya sendiri menjadi lebih sungkan dan membatasi berinteraksi dengan orang lain.

Jadi ini ada dua orang yang sama-sama datang dari Indonesia, sama-sama memiliki hasil tes PCR negative, tapi karena waktu datang yang berbeda, labelnya jadi berbeda, dan diperlakukannya juga berbeda. Tapi masalah labeling ini juga tidak hanya saya alami saat ini. Sejak awal munculnya virus ini, masalah labeling menjadi musuh utama penelusuran kluster covid. Ketika ada info bahwa seseorang terinfeksi Covid, maka orang lain cenderung akan mengucilkannya. Itulah mengapa banyak orang yang tidak mau jujur terhadap gejala dan riawayat yang dimilikinya, karena jika mereka sudah dilabeli Orang Dalam Pengawasan (ODP) atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP), maka mereka akan diperlakukan berbeda oleh masyarakat sekitar. Dan tidak semua orang kuat menghadapi perlakuan itu.

Lalu apa dampak dari adanya covid ini? Dari kacamata Psikologi Evolusi, munculnya etnosentrisme, konformitas, dan prasangka terhadap kelompok lain pada dasarnya merupakan satu mekanisme pertahanan diri agar bisa bertahan hidup. Mereka meyakini bahwa dunia ini sebenarnya penuh dengan patogen yang berbahaya. Semakin banyak patogen yang diyakini ada, maka masyarakat semakin religious dan kolektif, namun kurang percaya pada kelompok luar. Ini adalah mekanisme dasar untuk menghambat transmisi patogen. Dengan adanya Covid ini, bukan tidak mungkin dunia akan terkotak-kotak kembali. Individu akan membangun kolektifitas yang kuat dengan kelompoknya, namun mulai mengurangi kontak dengan kelompok luar. Nah, pada tatanan global, Covid ini seolah-olah membuat bumi sedang menata kembali hidupnya, atau lebih tepatnya merestart. Bumi sedang mengulang kembali kehidupan seperti 100 tahun yang lalu, bukan hanya dari sisi lingkungan alam, namun juga dari sisi interaksi sosial.     

Apakah edukasi yang baik sudah cukup untuk menghentikan prasangka terhadap kelompok luar tersebut? Secara teoritis mungkin banyak yang sepakat, bahwa informasi positif tentang budaya luar akan membuat orang lebih percaya pada orang asing. Namun faktanya pengetahuan saja tidak cukup. Stanford Prison Experiment tadi adalah contohnya, meskipun partisipan sudah tahu bahwa ini hanyalah eksperimen, namun perilaku mereka tetap di luar kendali dari batas wajar.