Stanford Prison Experiment dan Labeling Covid-19

Di Psikologi, ada satu eksperimen yang sangat terkenal, bahkan sampai dibuatkan filmnya juga. Eksperimen itu dikenal sebagai Stanford Prison Experiment. Singkat cerita, eksperimen ini dilakukan oleh Philip Zimbardo di Stanford University untuk mempelajari perilaku orang normal yang ditempatkan dalam suatu penjara buatan (yang sebenarnya adalah kampus). Dia ingin mempelajari situasi psikologis yang muncul melalui manipulasi lingkungan fisik serta bagaimana suatu label terhadap seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang tersebut. Partisipan penelitian dibagi menjadi dua kelompok peran, yakni mereka yang berperan sebagai sipir penjara dan tahanan. Partisipan yang berperan sebagai tahanan didatangi ke rumahnya dengan mobil polisi sungguhan, ditangkap, dan diborgol di depan umum. Sesampainya di penjara buatan, mereka digeledah, ditelanjangi, dan dirantai kakinya layaknya tahanan sungguhan.

Awalnya eksperimen ini direncanakan berlangsung selama 14 hari, namun akhirnya pada hari keenam eksperimen Ini dihentikan karena perilaku para sipir penjara yang semakin kejam dan para tahanan yang tertekan secara emosi. Selama eksperimen, kedua kelompok yang berperan sebagai sipir dan tahanan menjalani dengan sungguh-sungguh peran yang diberikan meskipun mereka tahu bahwa ini hanyalah eksperimen semata. Label yang diberikan kepada mereka telah mengubah bagaimana cara mereka berperilaku. Melalui eksperimen yang tidak selesai ini Zimbardo menyimpulkan bahwa orang normal yang sehat secara psikologis dapat melakukan kejahatan apabila diperhadapkan di situasi yang memungkinkan mereka untuk melakukannya.

Meskipun eksperimen yang dilakukan Zimbardo ini banyak dikritik karena menyalahi etika dan aturan penelitian dengan subjek manusia, namun penelitian ini juga memberikan insight yang luar biasa. Satu hal yang menjadi point penting adalah situasi tertentu dapat mempengaruhi perilaku individu lebih besar daripada kepribadian individu itu sendiri. Seringkali, lingkungan dan keadaan kita menentukan siapa kita dan apa yang kita lakukan. Itu juga secara tidak langsung membentuk keyakinan dan identitas kita pada saat yang bersamaan. Nah memberikan label merupakan salah satu kondisi yang dapat menentukan perilaku kita.

Saya baru saja mengalami hal yang berkaitan dengan kesimpulan eksperimen tersebut. Jadi ceritanya begini, saya datang ke Hungaria tanggal 2 September 2020. Sebelum berangkat, saya melakukan tes PCR dan hasilnya adalah negatif, tidak ada virus covid di tubuh saya. Namun saya sedang sial saat itu, per tanggal 1 September 2020, pemerintah Hungaria mengubah kebijakan untuk masuk ke negara tersebut. Jika sebelumnya warga negara asing boleh masuk dan bebas karantina asalkan bisa menunjukkan dua hasil tes PCR negatif dalam waktu lima hari terakhir, setelah tanggal 1 September aturan itu tidak berlaku lagi. Pemerintah Hungaria tidak menerima tes PCR yang dilakukan di luar Hungaria. Jadi terpaksalah saya harus menjalani karantina selama dua minggu. Sementara teman-teman lain yang datang sebelum tanggal 1 bisa bebas berkeliaran keliling Budapest. Anehnya begini, menjadi orang yang diwajibkan karantina ini berimbas pada bagaimana orang lain memperlakukan kita, dan juga bagaimana kita berperilaku. Meskipun sama-sama memiliki hasil PCR negative, tapi status karantina ternyata menjadi pembeda yang cukup besar. Orang menjadi lebih jaga jarak dengan kita. Beberapa pemiliki apartemen menolak kami karena harus menjalani karantina, meskipun kami bisa menunjukkan hasil tes PCR negatif. Polisi datang mengecek kami secara berkala, menyelidiki apakah kami benar-benar menjalani karantina atau tidak. Saya sendiri menjadi lebih sungkan dan membatasi berinteraksi dengan orang lain.

Jadi ini ada dua orang yang sama-sama datang dari Indonesia, sama-sama memiliki hasil tes PCR negative, tapi karena waktu datang yang berbeda, labelnya jadi berbeda, dan diperlakukannya juga berbeda. Tapi masalah labeling ini juga tidak hanya saya alami saat ini. Sejak awal munculnya virus ini, masalah labeling menjadi musuh utama penelusuran kluster covid. Ketika ada info bahwa seseorang terinfeksi Covid, maka orang lain cenderung akan mengucilkannya. Itulah mengapa banyak orang yang tidak mau jujur terhadap gejala dan riawayat yang dimilikinya, karena jika mereka sudah dilabeli Orang Dalam Pengawasan (ODP) atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP), maka mereka akan diperlakukan berbeda oleh masyarakat sekitar. Dan tidak semua orang kuat menghadapi perlakuan itu.

Lalu apa dampak dari adanya covid ini? Dari kacamata Psikologi Evolusi, munculnya etnosentrisme, konformitas, dan prasangka terhadap kelompok lain pada dasarnya merupakan satu mekanisme pertahanan diri agar bisa bertahan hidup. Mereka meyakini bahwa dunia ini sebenarnya penuh dengan patogen yang berbahaya. Semakin banyak patogen yang diyakini ada, maka masyarakat semakin religious dan kolektif, namun kurang percaya pada kelompok luar. Ini adalah mekanisme dasar untuk menghambat transmisi patogen. Dengan adanya Covid ini, bukan tidak mungkin dunia akan terkotak-kotak kembali. Individu akan membangun kolektifitas yang kuat dengan kelompoknya, namun mulai mengurangi kontak dengan kelompok luar. Nah, pada tatanan global, Covid ini seolah-olah membuat bumi sedang menata kembali hidupnya, atau lebih tepatnya merestart. Bumi sedang mengulang kembali kehidupan seperti 100 tahun yang lalu, bukan hanya dari sisi lingkungan alam, namun juga dari sisi interaksi sosial.     

Apakah edukasi yang baik sudah cukup untuk menghentikan prasangka terhadap kelompok luar tersebut? Secara teoritis mungkin banyak yang sepakat, bahwa informasi positif tentang budaya luar akan membuat orang lebih percaya pada orang asing. Namun faktanya pengetahuan saja tidak cukup. Stanford Prison Experiment tadi adalah contohnya, meskipun partisipan sudah tahu bahwa ini hanyalah eksperimen, namun perilaku mereka tetap di luar kendali dari batas wajar.  

Mahasiswa PhD di ELTE, Hungaria. Dosen Psikologi di UMM, Indonesia.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Comments


EmoticonEmoticon