Biaya Hidup di Hungaria

Budapest di malam hari

UPDATE PENTING: Tulisan ini dibuat pada tahun 2020, saat kondisi ekonomi masih normal. Dengan kondisi pandemi yang membaik dan perang, beberapa angka yang tertulis dalam tulisan ini sudah tidak relevan lagi. Tulisan yang lebih update bisa diakses di sini 

Selain komponen pendanaan, biasanya informasi yang paling ditanyakan calon pendaftar beasiswa Hungaria adalah berapa biaya hidup rata-rata per bulan di Hungaria? Apakah uang beasiswa yang diterima cukup untuk biaya hidup di sana? Apakah memungkinkan untuk kerja part time sambal kuliah? Tulisan ini mencoba memberikan gambaran atas pertanyaan tersebut.

Biaya hidup di Hungaria sebenarnya jauh lebih murah dibanding biaya hidup di negara lain di Eropa. Biaya hidup ini juga tergantung dari kota dimana kita tinggal. Ada beberapa kota besar yang sering dijadikan tujuan studi mahasiswa, misalnya Budapest, Pesc, Szeged, Debrecen, Miskolc, Gyor, dan Sopron. Tiap kota tentu berbeda-beda, dan yang paling mahal tentu saja di Budapest. Nah berhubung saya tinggalnya di Budapest, jadi tulisan ini akan menjelaskan biaya hidup standar di Kota Budapest. Untuk kota lain tentu lebih murah, terutama untuk hal akomodasi. Supaya lebih memudahkan membayangkan, nilai mata uangnya saya berikan dalam Rupiah.

Makanan

Untuk makanan, saya coba list harga rata-rata makanan yang sering saya beli

Beras: Rp. 17.000/kgAyam paha: Rp. 33.000/kgMinyak goreng: Rp. 28.000/liter
Pasta: Rp. 32.000/kgDaging sapi: Rp. 97.000/kgMie instan: Rp. 4.500/biji
Susu: Rp. 10.000/literKentang: Rp. 9.000/kgIndomie goreng: Rp. 10.000/biji
Roti tawar: Rp. 12.000Bawang Bombay: 9.500/kgSamyang: Rp. 20.000/biji
Telur: Rp. 50.000/30 bijiBawang putih: Rp. 77.000/kgPotato chip: Rp. 150.000/kg
Nugget: Rp. 38.000/500 grApel: Rp. 25.000/kg Gula: Rp. 12.000/kg
Ayam dada: Rp. 50.000/kgJeruk: Rp. 21.000/kg Garam: Rp. 14.000/kg
Ayam sayap: Rp. 29.000/kgSayur beku: Rp. 38.000/kg Kopi hitam: Rp. 40.000/250 gr
Harga makanan di Budapest

Untuk makanan mentah sendiri harganya tidak terlalu berbeda jauh dengan di Indonesia sebenarnya. Hanya saja, kalau makanan beli di luar harganya jauh lebih mahal. Sebagai gambaran, untuk makan di kafe atau kinai (masakan china) rata-rata habis sekitar Rp. 50.000. Untuk ngopi di kafe sekitar Rp. 25.000, tapi kalau ngopi di vending machine rata-rata sekitar Rp. 10.000. Untuk harga makanan pokok di kota lain saya rasa tidak jauh berbeda dengan di Budapest, hanya kalau untuk makan di kafe mungkin sedikit murah.

Bagi saya sendiri, karena sangat jarang makan di luar dan lebih sering masak sendiri, makanya pengeluaran untuk makan tidak terlalu banyak. Jika dirata-rata sebulan hanya habis Rp. 800.000 untuk membeli kebutuhan makanan. Kalaupun mau makan yang agak mewah, tidak lebih dari 1 juta lah untuk kebutuhan makan.

Akomodasi

Ini yang paling membedakan Budapest dengan kota besar lainnya. Akomodasi di Budapest jauh lebih mahal. Kalau tinggal di dormitory, bagi penerima beasiswa sih gratis. Tapi kalau mau tinggal di luar dormitory, ada beberapa opsi. Kalau mau sewa flat private (misal karena ingin bawa keluarga), sewa per bulan rata-rata 5,5 juta/bulan, itu belum termasuk bill listrik dan gas. Kalau ditotal ya rata-rata 6,6/bulan juta lah untuk sewa flat yang bisa ditinggali keluarga kecil (anak satu). Ini yang bikin shock, di Malang harga segitu sudah sewa setahun tuh. Inipun sebenarnya harga pandemic, karena lagi sepi harga sewa flat agak turun. Kalau harga normal katanya bisa sampai 7-8jt/bulan. kalau mau sewa kamar saja, pengeluaran total sekitar 4 juta/bulan.

Sebagai informasi, sebagai penerima beasiswa, kalau kita memutuskan tinggal di luar dormitory, Stipendium Hungaricum memberikan subsidi akomodasi sebesar 1,9 juta/bulan. Jadi bisa dihitung sendiri, berapa uang yang harus ditambahkan agar cukup untuk tinggal di luar dormitory. Ini lah yang sering menjadi penghalang mahasiswa untuk membawa keluarganya ikut mendampingi kuliah di Hungaria. Kalau harus tinggal di luar dormitory, harganya mahal sekali dan uang beasiswa saja tidak akan cukup.

Transportasi

Untuk pelajar, kita bisa beli tiket transportasi bulanan seharga Rp. 170.000. Tiket ini bisa digunakan untuk moda transportasi apapun, baik dengan metro, bus, tram, trolley bus, atau kereta selama masih di wilayah Budapest. Kalau bukan student, harganya tiket bulanannya jauh lebih mahal, yaitu Rp 450.000 sebulan.

Pulsa

Untuk pulsa saya sih jarang beli paket yang banyak, karena sudah ada wifi di dormitory. Saya biasanya membeli paket yang 500MB seharga Rp. 37.000/bulan, atau kalau dirasa akan banyak keluar-keluar, saya paketkan yang 1GB seharga Rp. 55.000/bulan. Tapi tenang, di luar di tempat umum juga banyak wifi gratis kok. Masih sangat terjangkau lah

Nah itu tadi hitungan kasar pengeluaran per bulan untuk tinggal di Budapest. Berdasarkan pengalaman saya selama empat bulan ini, pengeluaran total saya sendiri jika tinggal di dormitory rata-rata 1,8 juta/bulan. Tapi itu karena saya tinggal di dorm ya, jadi tidak mikir biaya akomodasi. Kalau tinggal di flat sendiri bersama keluarga, ya bisa dibayangkan saja, kalau realistis rata-rata pengeluaran total jika tinggal di flat sekitar 10 juta/bulan.

Apakah uang beasiswa dari Stipendium Hungaricum cukup?

Cukup, tapi tergantung biaya hidupmu. Pengeluaran per-bulan saya selama tinggal di dormitory ini hanya 1,8 juga, sementara uang beasiswa yang saya terima 6,7 juta. Jadi masih ada sisa 5 juta untuk ditabung. Tapi tabungan ini akan banyak terkuras kalau mau mengajak keluarga, karena harus beli tiket pesawat dan pindah ke flat sendiri. Bagi yang master pun kalau tinggal di dormitory masih cukup, mereka menerima uang beasiswa 2 juta. Dengan asumsi gaya hidupnya sama dengan saya, mereka juga masih bisa menabung 300 ribu. Tapi balik lagi tergantung gaya hidup dan ada kejadian tidak terduga ga.

Masalahnya, kapasitas dormitory biasanya terbatas, dan kampus akan memprioritaskan mahasiswa baru yang boleh tinggal di dormitory. Jadi kalau pahit-pahitnya kita ga dapat kuota dormitory dan harus cabut, ya harus pikir otak supaya biaya akomodasinya cukup. Tapi di luar sana ada juga kok dormitory miliki swasta yang harganya juga hanya sekitar 2,5 juta sebulan. Jadi masih cukup lah.

Nah bagi mahasiswa yang mau membawa keluarga bagaimana? Sayangnya keluarga tidak ditanggung oleh Stipendium Hungaricum, jadi harus pandai-pandai mengatur uang. Bagi mahasiswa master, dengan berat hati saya mengatakan mustahil untuk bisa membawa keluarga. Kecuali kalian punya pekerjaan sampingan yang gajinya di atas 10 juta. Bagi mahasiswa PhD sebenarnya masih mungkin, tapi dengan syarat, kalian punya pemasukan lain selain dari uang beasiswa kalau mau aman. Kalau hanya mengandalkan uang beasiswa rasanya tidak akan cukup. Uang beasiswa total yang diterima (plus subsidi akomodasi) itu sekitar 8,5 juta/bulan, sementara pengeluaran total kalau mau realistis ya sekitar 10 juta/bulan untuk konsumsi, akomodasi, transportasi, pulsa, asuransi, dll. Makanya mahasiswa PhD yang mengajak keluarga, biasanya punya pekerjaan di Indonesia (kebanyakan dosen), dan mereka masih menerima gaji karena statusnya tugas belajar. Dengan begitu mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup tinggal di Hungaria Bersama keluarga. Tapi untuk tahun ke 3 dan 4 (kalau lulus complex exam), uang beasiswa untuk PhD naik kok, totalnya jadi 10,5 juta/bulan.

Jadi kalau dibilang beasiswa ini minimalis, ya ada benarnya tapi juga tidak selalu benar. Tapi bagi saya beasiswa ini cukup lah, toh tujuan saya ke sini bukan mencari uang, tapi mencari ilmu dan gelar PhD. Bagi teman-teman yang mau menambah pengalaman dan pemasukan juga bisa kerja part time di sini. Bayarannya juga lumayan, bisa lah dapat 2 juta /bulan. Tapi ya harus pinter bagi waktu dan tenaga karena kuliah saja sudah capek. Masalahnya orang Hungaria tidak semua bisa berbahasa Inggris, jadi akan jadi tantangan juga sih kerja part time di sini kalau masih belum bisa bahasa Hungaria dasar.  

Simak juga penjelasannya di Youtube saya di https://www.youtube.com/watch?v=Lwp3g2PLpC8

Sistem Perkuliahan di Hungaria

Gedung rektorat ELTE

Universitas di Hungaria sudah mengikuti sistem Bologna Process, di mana universitas di Hungaria bisa memberikan gelar Bachelor, Master dan Phd dan bisa ditransfer atau dipakai untuk melanjutkan pendidikan di negara Uni Eropa lainnya. Tulisan ini akan memberikan gambaran sistem perkuliahan di Hungaria dan perbedaanya dengan di Indonesia. Dikarenakan saya saat ini menempuh Pendidikan S3 di Hungaria, jadi saya akan memberi proporsi lebih untuk informasi sistem kuliah S3 di Hungaria.

Sistem perkuliahan di Hungaria secara garis besar tidak berbeda jauh dengan di Indonesia, baik pada level S1, S2, maupun S3. Level S1 (Bachelor) umumnya ditempuh dalam waktu tiga tahun di Hungaria. Sistem perkuliahan juga sama, ada teori, ada praktikum, dan ada skripsi. Skripsi di Hungaria disebut thesis (portfolio), jadi semacam kumpulan research practice dan salah satunya harus dibuat full research yang bentuk akhirnya seperti naskah publikasi dengan maksimal 8000 kata (tidak lebih dari 25 halaman). Bedanya, di Hungaria skripsi tidak nampak seperti dewa atau karya monumental, biasa saja, apalagi tidak ada dorongan untuk sampai mempublikasikan hasilnya. Portfolio ini lebih untuk melihat kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan teori dan metodologi yang sudah diperoleh sebelumnya, selain daya kritis dan sistematika berpikir tentunya. Jadi tidak perlu sampai bertahun-tahun hanya untuk menyelesaikan portfolio ini, sama seperti tugas kuliah biasa saja.

Untuk level S2 (master) secara garis besar juga tidak berbeda jauh dengan di Indonesia, biasanya ditempuh dalam waktu dua tahun. Sistem perkuliahan sama, ada teori, praktikum, dan tesis. Untuk cara belajarnya mungkin sedikit berbeda. Di Hungaria pembelajaran lebih interaktif dan tugas lebih banyak diberikan dalam bentuk tugas individu. Mungkin karena mahasiswanya sedikit juga kali ya, jadi dosennya juga hapal satu per satu mahasiswanya. Hanya saja menurut beberapa teman, kuliah master di Hungaria jauh lebih padat dibanding di Indonesia. Jika di Indonesia dalam satu semester mungkin hanya mengambil 6 mata kuliah, di Hungaria dalam satu semester bisa mengambil setidaknya 10 mata kuliah. Untuk tesis secara garis besar juga sama dengan di Indonesia, hanya saja tesis di Hungaria biasanya sudah ditentukan topiknya. Jadi tiap awal semester diumumkan topik yang dibuka beserta supervisornya, kemudian mahasiswa mendaftar sesuai dengan minatnya masing-masing.

Untuk level S3 (PhD) biasanya diselesaikan dalam waktu empat tahun. Tahun pertama dan kedua didominasi dengan kegiatan perkuliahan di kelas. Setidaknya dalam dua tahun pertama, mahasiswa sudah harus menyelesaikan 84 kredit atau setara 12 mata kuliah. Mata kuliah yang diambil ditentukan berdasarkan modul yang harus diselesaikan, dan modul ini sudah ditentukan saat kita diterima. Jadi dalam Letter of Acceptance (LoA) sudah ditulis topik riset kita, supervisor kita, dan modul yang harus diselesaikan. Selain perkuliahan, di dua tahun pertama mahasiswa juga harus melakukan penelitian dan mengajar. Kegiatan penelitian bisa berupa melalukan preliminary study riset kita, kajian literatur, mengikuti konferensi ilmiah, atau menulis artikel ilmiah. Sementara kegiatan mengajar sifatnya tidak wajib, boleh diganti dengan kegiatan penelitian. Tapi biasanya program akan meminta kita, terutama untuk mengajar di kelas internasional pada level bachelor atau master. Total kredit keduanya minimal adalah 36 kredit untuk dua tahun pertama. Untuk besaran kredit penelitian dan mengajar ini biasanya disepakati dengan supervisor dan coordinator program tempat kita mengajar, sesuai dengan beban kerja kegiatan yang dilakukan.

Di akhir tahun kedua, mahasiswa setidaknya sudah harus memiliki 120 kredit untuk bisa mendaftar complex exam. Complex exam ini adalah checkpoint yang menentukan apakah kita berhak lanjut ke fase kedua studi doktoral kita. Jika lulus, kita baru bisa dikatan PhD candidate, tapi jika tidak lulus, sorry to say, kita harus mengakhiri perjalanan PhD kita. Complex exam ini terdiri atas dua komponen, ujian teori atas mata kuliah yang sudah kita pelajari dan ujian atas rencana riset yang akan kita kerjakan. Ujian teori mata kuliah bersifat lisan, dan mata kuliah yang diujikan ditentukan oleh dewan penguji. Jika tidak lulus ujian mata teori ini, mahasiswa boleh mengulang satu kali lagi. Sementara ujian riset berkaitan dengan seberapa paham riset yang akan dikerjakan dan visibilitas untuk diselesaikan. Biasanya mahasiswa sudah memiliki hasil preliminary study akan topik risetnya saat ujian ini, karena memang di dua tahun awal mereka juga sudah mulai mengerjakan risetnya. Kalau tidak lulus ujian riset ini, perjalanan PhD kita berakhir.

Jadi fase pertama, yakni tahun 1 dan 2 ini sangat menentukan perjalanan PhD kita. Di dua tahun awal ini mahasiswa tidak hanya dituntut menyelesaikan mata kuliah dengan baik, tapi juga sudah harus mulai mengerjakan risetnya. Tentu akan menjadi nilai plus jika selama dua tahun awal ini sudah ada publikasi yang dihasilkan. Di fase kedua, mahasiswa fokus untuk menyelesaikan risetnya. Jika dilihat bebannya, seperti di fase kedua ini nampaknya lebih selo ya, tapi sebenarnya tidak juga. Di Hungaria, rata-rata kampus menetapkan bahwa untuk bisa ujian disertasi, mahasiswa sudah harus memiliki publikasi di jurnal bereputasi. Standarnya berbeda-beda, kalau di kampus saya minimal tiga artikel dan dua diantaranya harus artikel empiris (bukan kajian literatur). Artikel yang dipublikasikan ini harus dikutip dalam disertasi kita. Ini yang kadang menyulitkan karena untuk publikasi di jurnal bereputasi itu prosesnya panjang sekali.

Jadi itulah sekilas mengenai sistem perkuliahan di Hungaria. Untuk level S3 sistem perkuliahan lebih mirip dengan di Indonesia dibanding dengan negara Eropa lainnya yang mayoritas sudah full riset. Untuk sistem di level S1 dan S2 pun tidak berbeda jauh. Namun demikian kultur akademik di Hungaria lebih kuat dan jelas berbeda dengan di Indonesia. Di Hungaria kelas lebih aktif, kasual, menuntut daya kritis dan kedudukan dosen-mahasiswa lebih setara. Jadi, meskipun tidak sepopuler di Amerika, Inggris, atau Belanda; kuliah di Hungaria tetap menjadi opsi yang baik untuk merasakan iklim akademis di Eropa. Pengalaman saya mendaftar beasiswa dari pemerintah Hungaria, mulai dari mencari supervisor, seleksi universitas, sampai mengurus visa bisa disimak di sini (Part 1, Part 2, Part 3).

Review Perbandingan Beasiswa LPDP dan Stipendium Hungaricum

Sebenarnya perbandingan beasiswa Stipendium Hungaricum dan LPDP ini tidak bisa apple to apple, karena memang sasaran dan tempat studinya juga berbeda. LPDP tidak memberikan beasiswa bagi orang yang mau kuliah di Hungaria, karena memang universitas di Hungaria tidak masuk list dari LPDP. Dari segi pemberi dana juga sangat berbeda, LPDP berasal dana abadi pendidikan pemerintah Indonesia, sementara Stipendium Hungaricum didanai oleh Pemerintah Hungaria, jadi pasti kepentingannya berbeda. Tetapi berhubung saya memiliki pengalaman sebagai awardee kedua beasiswa ini, maka tulisan ini akan membahas perbandingan kedua beasiswa ini ditinjau dari berbagai aspek.

Desclaimer

Review perbandingan ini didasarkan atas pengalaman pribadi saya sebagai penerima beasiswa master dalam negeri LPDP tahun 2016 dan beasiswa doktoral Stipendium Hungaricum tahun 2020. Kebijakan setelah tahun tersebut mungkin sudah berubah. Perbandingan ini juga atas pengalaman saya pribadi, jadi unsur subjektivitas mungkin akan muncul dalam review ini.

Tujuan beasiswa

Karena pemberi beasiswanya berbeda, tujuannya pun pasti berbeda. LPDP didanai dari pemerintah Indonesia, jadi jelas tujuannya adalah investasi SDM unggul agar nanti bisa berkontribusi membangun Indonesia. Jadi pastikan saja jiwa nasionalismemu cukup tinggi dan setia pada NKRI. Setelah selesai studi, awardee wajib pulang dan mengabdi di Indonesia.

Kalau Stipendium Hungaricum didanai pemerintah Hungaria, tujuannya adalah internasionalisasi Pendidikan di Hungaria. Jadi saat ini memang universitas di Hungaria rangkingnya tidak terlalu menggembirakan, hanya berkisar 500an dunia. Masih kalah jauh kalau dibanding kampus-kampus di Inggris, Amerika, Belanda, atau Australia. Jadi untuk menjadi awardee kamu ga perlu nasionalis banget, selesai studi tidak ada kewajiban pulang ke Indonesia, langsung pindah kewarganegaraanpun bisa, kalau ada yang mau menerima kamu.

Besaran beasiswa

Informasi ini yang sebenarnya kalian cari kan? Kedua beasiswa ini sama-sama mengcover penuh biaya studi. Kalau untuk besaran, sudah bisa disepakati bahwa LPDP lebih menggiurkan. Sebagai gambaran, yang saya peroleh sebagai awardee beasiswa master di UGM.

  • Living allowance bulanan yang saya terima 3,5jt/bulan (itu sudah 2x UMR di Jogja).
  • Biaya kedatangan/Settlement allowance (2x living allowance), tapi saya dapat karena asli Jogja.
  • Uang buku 10 juta/tahun
  • Dana untuk konferensi internasional (maksimal 15 juta),
  • Dana penelitian (maksimal 15 juta),
  • Uang transportasi saat berangkat dan pulang selesai studi
  • Tunjangan buat keluarga di tahun kedua (updatenya sih sekarang hanya yang doktoral saja yang dapat).
  • Asuransi kesehatan, kalau di Indonesia pakai BPJS kelas 1.

Dengan uang beasiswa itulah makanya saya berani menikah saat kuliah S2. Uang beasiswa ini bahkan jauh lebih besar dari gaji dosen yang saya terima setelah lulus kuliah, jadi agak sedih sih begitu lulus. Besaran beasiswa untuk level doktoral kurang lebih sama, paling dana penelitiannya yang lebih besar. Kalau kalian kuliahnya di luar negeri, uang beasiswanya lebih WOW lagi. Living allowance biasanya disesuaikan dengan living cost kota dimana kita studi. Jadi misal kuliahnya di Kuala Lumpur dan di London, jelas living allowancenya berbeda. Cerita dari teman yang kuliah di Canberra, Australia, kalau kamu bisa hidup sederhana, setidaknya tiap bulan bisa menabung 7 juta rupiah. Jadi begitu pulang bisa buat DP rumah lah.

Sementara untuk beasiswa Stipendium Hungaricum, yang saya peroleh sebagai awardee beasiswa doktoral di kota Budapest.

  • Living allowance bulanan 140.000 HUF untuk tahun 1-2 (sekitar 6,6 juta rupiah), untuk tahun 3-4 jadi 180.000 HUF (sekitar 8,5 juta rupiah).
  • Tinggal di asrama kampus gratis, atau subsidi akomodasi 40.000 HUF (sekitar 1,9 juta rupiah) jika memutuskan tinggal di luar asrama. FYI, harga sewa private flat per-bulan all in di Budapest rata-rata 140.000HUF/bulan. Kalau sewa kamar rata-rata 80.000HUF/bulan.
  • Asuransi Kesehatan

Biaya pesawat, uang penelitian, uang konferensi, tunjangan keluarga tidak masuk dalam komponen beasiswa ini. Jadi perlu strategi lain buat mencukupi kebutuhan tersebut. Biaya hidup ini tergantung kota juga, kalau di Budapest relatif lebih mahal. Untuk level master dan bachelor, biaya living allowancenya hanya 47.000HUF/bulan. Apakah uang segitu cukup? Sangat cukup, tapi tergantung dengan gaya hidup masing-masing. Harga bahan baku makanan di sini Budapest cukup murah, kalau tiap hari masak, uang segitu sudah lebih dari cukup. Saya selama dua bulan awal tinggal di Budapest hanya mengeluarkan sekitar 4,6 juta, atau kalau dirata-rata 2,3jt/bulan. Tapi itu juga kan karena beli perlengkapan rumah tangga.

Persyaratan mendaftar dan proses seleksi

Nah kalau untuk urusan ini, beasiswa Stipendium Hungaricum lebih unggul. Proses pendaftaran dan seleksi beasiswa LPDP sangat kompetitif menurut saya. Jaman saya, proses diawali dari pengumpulan berkas dan membuat esai. Berkasnya cukup banyak dan verifikasinya cukup ketat. Seingat saya dulu selain syarat standar (seperti form pendaftaran, ijazah, TOEFL/IELTS, dan surat rekomendasi) ada juga syarat surat bebas narkoba dan TBC, SKCK (ini sepertinya sekarang sudah tidak ada), dan bikin esai yang cukup banyak. Setelah lolos seleksi administrasi, ada bikin esai on the spot, FGD, dan wawancara (yang terbaru katanya ada tes online juga sebelum wawancara). Selain menyiapkan berkas untuk daftar beasiswanya, kita juga harus mendaftar ke universitas secara terpisah, meskipun syarat untuk daftar beasiswa tidak harus dapat LoA. Nah masalahnya, kadang sudah diterima universitasnya, eh beasiswanya ga lolos. Atau sebaliknya, udah dapat beasiswanya, eh universitasnya ga lolos.

Sementara beasiswa Stipendium Hungaricum menurut saya syaratnya lebih sederhana. Saat saya mendaftar, beasiswa ini belum terlalu terkenal dan pendaftarnya belum terlalu banyak, jadi kompetisinya tidak terlalu ketat. Beberapa berkas boleh nyusul kalau sudah diterima saja, seperti TOEFL/IELTS dan surat keterangan sehat (ini bahkan sekarang tidak diwajibkan). Proses seleksi juga lebih enak, karena ketika apply untuk beasiswa, secara otomatis akan diikutkan seleksi masuk universitasnya. Prosesnya kurang lebih sama dengan LPDP, seleksi administrasi, rekomendasi dari dikti, lalu seleksi dari universitas. Seleksi dari universitas ini beda-beda, tergantung programnya. Kalau saya kemarin hanya wawancara saja, dan itu wawancara yang sangat positif dan apresiatif. Berbeda dengan wawancara LPDP yang investigatif.

Universitas tempat belajar

LPDP hanya memberi beasiswa untuk belajar di kampus dan program yang masuk dalam list LPDP, dan yang masuk list ini biasanya setidaknya universitas top 200 dunia. Kalau untuk beasiswa yang dalam negeri juga kampusnya harus akreditasi A dan programnya juga akreditasi A. Jadi jelas tempat studinya adalah kampus unggulan. Sementara Stipendium Hungaricum tempat studinya ya kampus di Hungaria. Kualitasnya bervariasi, ada yang bagus banget ada juga yang biasa saja. Secara rangking dunia mungkin tidak terlalu tinggi, sekitar 500an. Tapi beberapa program, seperti tempat saya kuliah, di Psikologi ELTE, rangkingnya cukup bagus yakni 200an dunia. FYI, tidak ada program Psikologi di Indonesia yang menembus 500 besar dunia versi THE.

Itu tadi sekilas review dua beasiswa yang sudah memberi kesempatan saya untuk sekolah lagi. Pada dasarnya, jika mempertimbangkan benefit yang diperoleh, jelas LPDP jauh lebih unggul dibanding Stipendium Hungaricum. Tapi jika mempertimbangkan peluang lolos, Stipendium Hungaricum lebih unggul. Tapi apapun beasiswanya, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita memanfaatkan kesempatan belajar ini untuk mengembangkan diri kita. Dan pada akhirnya, kontribusi apa yang bisa kita berikan kepada masyarakat lebih penting nilainya daripada apapun. Pengalaman saya mendaftar beasiswa dari pemerintah Hungaria, mulai dari mencari supervisor, seleksi universitas, sampai mengurus visa bisa disimak di sini (Part 1, Part 2, Part 3).

Kehidupan di Asrama (Dormitory) Kampus Luar Negeri

Kondisi kamar di dormitory

Semester pertama ini saya memutuskan untuk tinggal di asrama kampus. Tidak mudah sebetulnya bagi anak introvert seperti saya ini tinggal di dormitory (asrama) kampus. Ruang privasi saya menjadi semakin sempit dan harus banyak berinteraksi dengan orang lain dengan bahasa yang berbeda dari bahasa kita sehari-hari. Tapi setidaknya ini adalah pilihan paling realistis yang bisa saya ambil, setidaknya untuk semester pertama ini. Tulisan ini akan menceritakan kehidupan di dormitory serta kelebihan dan kekurangannya.

Sisi Positif Tinggal di Dormitory

Kemudahan administrasi

Alasan utama mengapa tinggal di dormitory itu lebih menguntungkan bagi mahasiswa semester pertama adalah untuk kemudahan administrasi. Jadi kondisinya seperti ini, saat apply visa, kita sudah harus tahu dimana kita akan tinggal di luar negeri dan melampirkan buktinya. Saat sudah tiba di Hungaria, kita juga harus mengurus residence permit (ijin tinggal) yang salah satu syaratnya adalah kontrak dengan penyedia tempat tinggal kita. Pilihan dormitory menjadi pilihan paling praktis karena dari kampus dan pengelola dormitory sudah menyiapkan semua itu. Mereka sudah terbiasa menangani urusan administrasi yang berhubungan mahasiswa luar negeri.

Lebih hemat

Alasan lainnya adalah karena tinggal di dormitory ini lebih hemat. Bagi penerima beasiswa Stipendium Hungaricum seperti saya, tinggal di dormitory kampus itu gratis, sementara kalau memustukan tinggal di luar dormitory kita hanya akan menerima bantuan 40.000 Forint/bulan. Padahal harga sewa kamar rata-rata 70.000 Forint/bulan, itu juga belum termasuk pengeluaran lainnya seperti gas, listrik, dll. Tentu memilih tinggal di dormitory adalah pilihan paling realistis karena tabungan sudah banyak terkuras untuk beli tiket pesawat, dll. Selain itu kit aga perlu memikirkan pengeluaran lain seperti listrik, penghangat ruangan, dll karena semuanya sudah ditanggung oleh pengelola dormitory. Berutungnya lagi saya tinggal sekamar bersama dua orang yang dari Indonesia juga, jadi bisa berbagi dalam belanja makanan .

Menambah jejaring dan wawasan internasional

Kelebihan lainnya dari tinggal di dormitory adalah kita bisa menambah jejaring pertemanan kita dari seluruh penjuru dunia. Orang yang tinggal di dormitory itu tidak hanya dari Sabang sampai Merauke, tapi dari Sabang sampai balik ke Sabang lagi setelah mengelilingi dunia. Ada dari Asia, Afrika, Eropa, Amerika, semua ada, jadi buanyaak banget. Kita bisa mengenal orang dari seluruh dunia beserta kebiasaannya. Tinggal di dormitory tentu bisa menambah wawasan kita serta memperluas perspektif kita tentang dunia. Sesuatu hal yang mungkin selama ini hanya kita bayangkan terjadi di belahan lain dunia, bisa kita konfirmasi langsung kepada aktornya. Misalnya nih, selama ini kita mendengar negara Timur Tengah banyak berkonflik, kita bisa tanya langsung apa yang terjadi sebenarnya dari perspektif mahasiswa Timur Tengah yang sedang tinggal di dormitory ini. Kita juga bisa mencicipi makanan khas negara lain karena biasanya mereka tetap memasak makanan khas negara masing-masing. Jika tertarik belajar bahasa asing, tinggal di dormitory juga nenawarkan kemududahan untuk melatih ketrampilan berbahasa asing yang kita minati.


Kondisi dapur di dormitory

Sisi Negatif Tinggal di Dormitory

Privasi berkurang

Namun di balik kelebihan tinggal di dormitory di atas, ada kekurangan tinggal di dormitory, terutama bagi mereka yang membutuhkan personal space lebih. Tinggal di dormitory artinya harus siap tinggal dengan rekan satu kamar yang kita tidak tahu kebiasaannya seperti apa. Misal nih, pas udah capek mau tidur, eh teman sekamar masih belajar, jadi lampunya harus dinyalakan. Atau pas udah konsentrasi mau belajar, eh teman sekamar ngajakin masak. Atau seperti saya, cuma butuh sendiri aja susahnya minta ampun. Paling bisa bener-bener sendiri kalau pas lagi pup, itupun kalau bilik sebelah kosong atau baunya pup nya bisa ditoleransi. Kalau pas apes, baunya menyengat, ya terpaksa harus mengakhiri kesendirian lebih dini. Apapun yang kita lakukan juga akan diketahui teman sekamar, jadi agak gimana gitu. Misal lagi kangen istri/pacar di Indonesia, trus mau telpon mesra-mesra gitu kan jadi agak gimana kalau ada temen sekamar yang ikut mendengarkan.

Harus rela antri dan berbagi

Tinggal di dormitory artinya juga harus rela berbagi dalam hal apapun. Misalnya mau masak, karena kompor hanya ada dua dan dipakai oleh lebih dari 20 orang, jadi ya kita harus sabar antri hanya buat masak. Atau udah kebelet mau pup, tapi karena toilet hanya ada 2, ya harus sedia banyak batu buat disakuin kalau pas ternyata toiletnya lagi kepakai. Jadi ya harus banyak-banyak stok sabar aja sih. Atau personal belonging kita juga kadang juga harus dibagi, misal sendok piring gelas, bahkan Indomie yang jadi barang langka paling diburu di sini.

Harus toleransi dengan kebiasaan aneh orang lain

Jelas, tinggal sekamar dengan orang asing itu tidak mudah. Ada yang terlalu bersih, ada yang terlalu jorok, ada yang terlalu rapi, ada yang terlalu berantakan, ada yang suka kesunyian, ada yang suka keributan, ada yang suka gelap, ada yang suka terang, ada yang ngoroknya keras, ada yang tidurnya kayak orang mati. Ada yang setel alarm keras sekali jam 4 pagi, padahal kita masih mau bobok. Ada yang masih ngobrol keras sekali di kamar sebelah jam 12 malam, padahal kita udah mau tidur atau lagi fokus belajar. Belum lagi kalau harus ketemu dengan kebiasaan orang dari negara lain. Misal nih ada orang dari negara tertentu (sebut saja India) yang kalau masak baunya seluruh lantai bisa mencium dan durasinya bisa mengalahkan durasi satu episode sinetron. Jadi kalau tahu ybs mau masak, mending jauh-jauh dulu deh, kunci kamar rapat-rapat. Kalau udah terlalu lapar, gunakan kreativitas agar bisa makan masakan yang bisa dimasak dengan microwave.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan itu semua, saya pikir seluruh mahasiswa internasional harus merasakan tinggal di dormitory, setidaknya statu semester saja. Sungguh, tinggal di dormitory kampus dengan segala atmosfer keragaman internasionalnya menjadi pengalaman yang sangat berharga. Tinggal di dormitory bisa mengasah hardskill dan softskill kita sebagai pelajar internasional. Setidak-enaknya tinggal di dormitory, setidaknya kan bisa jadi cerita yang enak buat diceritakan nanti. Ya, yang tidak enak dialami memang selalu enak buat diceritakan setelahnya.


Kondisi Islam di Eropa Pasca Pembunuhan di Gereja Prancis

Islamophobia di Eropa bukan baru muncul sekarang ini, tapi sudah puluhan tahun lalu. Ditilik dari sejarah, masuknya Islam ke Eropa juga bukan dilakukan dengan cara yang menyenangkan, yang tentu saja tidak semua orang bisa berdamai dengan masa lalu ini. Kejadian pembajakan pesawat pada September 2001 yang meruntuhkan Gedung WTC di Amerika Serikat seolah menjadi puncak stigmatisasi Islam sebagai teroris, terlepas dari segala dugaan konspirasi yang terjadi. Dan kejadian pembunuhan yang terjadi di Perancis minggu ini seakan memperparah keadaan dan memperkuat asumsi bahwa orang Islam adalah teroris.

Kejadiaan ini diawali oleh ditunjukkannya karikatur Nabi Muhammad oleh seorang guru yang mengajarkan pelajaran kebebasan berpendapat. Kejadian itu memacing kemarahan umat Islam di Prancis dan puncaknya guru tersebut dibunuh oleh oknum yang mengatasnamakan Islam. Menanggapi kejadian itu, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berkomentar bahwa dia tidak dapat menerima bahwa kejadian karikuatur Nabi Muhammad itu dijadikan pembenaran untuk melakukan pembunuhan. Dia juga mengatakan serangan itu adalah serangan teroris Islam. Komentar Macron justru memancing kemaran yang lebih besar dari umat Islam dunia. Beberapa negara menyerukan untuk memboikot produk dari Prancis dan serangan kembali terjadi di gereja yang menewaskan tiga orang.

Apa yang terjadi di Prancis adalah sebuah dilema. Sebagai umat Muslim, tentu ketika Nabi Muhammad dihina tentu sudah sewajarnya marah karena memang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun apa yang dikatakan Macron juga tidak salah karena dia membela ideologi negaranya. Prinsip negara Liberté – kebebasan, Fraternité – persaudaraan, Egalite – persamaan sedang dijunjung. Negaranya sudah menjamin kebebasan berpendapat bagi waganya dan ketika Yesus dihina dengan karikatur, dia juga tidak terlalu mempermasalahkan. Hanya saja melabeli kejadian ini dengan label teroris Islam tentu bukan pilihan yang bijak, ibaratnya dia sedang menyalakan api dalam tumpukan jerami. Semua teori Psikologi mengatakan betapa bahayanya labeling, baik bagi yang diberi label maupun orang lain. Dengan melabeli orang Islam sebagai teroris, orang yang tadinya memiliki sikap netral bisa ikutan memandang negatif Islam. Begitu juga bagi orang Islam, mereka akan malu untuk menunjukkan ke-Islamannya, dan ini justru mencederai kebebasan berekspresi yang dicita-citakan negara Prancis. Dan ini juga tidak jarang saya jumpai, teman-teman saya yang akhirnya melepas jilbab mereka saat kuliah di Eropa.

Sebagai Muslim yang saat ini sedang tinggal di Eropa, tentu ada sedikit kekhawatiran pada kami mahasiswa Indonesia bahwa kasus ini akan berdampak pada kelangsungan kehidupan kami. Beberapa teman bahkan tidak berani shalat Jumat karena takut ada serangan balasan di Hungaria, meskipun bagi saya ketakutan itu berlebihan. Tapi sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Hungaria tidak terlalu mempermasalahkan identitas agama kita, apakah Islam, Kristen, Yahudi, atau Ateis sekalipun. Hidup di Eropa relatif lebih fair dan menganggap agama adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan professional. Negara Eropa adalah negara sekuler, oleh karenanya makna toleransi umat beragama di Eropa ini tidak seperti di Indonesia. Toleransi di sini diartikan secara objektif, apapun agamamu, bagaimanapun cara beribadahmu, kami tidak peduli. Asalkan kamu berperilaku dan bekerja dengan standar kami, kamu akan diterima.

Sebelum berangkat ke Hungaria saya juga sudah tahu bahwa Hungaria adalah salah satu negara yang memiliki persepsi negatif pada Islam cukup besar di antara negara Eropa lainnya. Survey dari PEW Research Center tahun 2019 menunjukkan 58% warga Hungaria memiliki pandangan negatif terhadap Islam, dan hanya 11% warga memiliki pandangan positif terhadap Islam. Tapi angka ini jauh lebih baik dari survey tahun 2016 yang menyatakan 72% warga Hungaria memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Namun demikian kuota beasiswa sebagian besar juga diberikan kepada negara-negara dari Timur Tengah yang didominasi Islam. Sampai saat ini kami juga diperlakukan dengan baik. Beberapa teman memang ada yang bercerita masalah diskriminasi yang mereka alami di sini, tapi itu sama sekali tidak berkaitan dengan agama. Sejauh ini pemerintah dan orang-orang di Hungaria bersikap professional dan fair dalam menerima kami dan benar-benar memisahkan masalah agama dengan masalah pemerintahan. Jikapun ada isu agama yang berkaitan dengan Islam, mahasiswa Indonesia relatif aman. Meskipun Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, tapi ketika orang Eropa mengatakan negara Islam, mereka akan merujuk pada negara-negara Timur Tengah dan tidak memperhitungkan Indonesia.

Urusan teroris ini tentu amatlah kompleks, dengan segala bentuk konspirasi dan kepentingan politik di dalamnya. Tapi sebagai Muslim, terlalu naif jika terus-terusan playing victim dan mengatakan ini adalah fitnah karena kenyataannya memang sebagian dari umat Islam terlalu mudah tersulut emosinya. Banyak yang memilih menggunakan cara kekerasan jika sudah berkaitan dengan harga diri keagamaannya. Bahkan parahnya mengkafirkan orang Islam lainnya karena tidak mendukungnya. Memang benar, di Al-Quran ada ayat-ayat yang menizikan kekerasan, tapi perlu diingat bahwa Al-Quran diturunkan tidak dalam satu waktu. Ayat dalam Al-Quran turun berdasarkan kondisi yang terjadi saat itu. Membaca hanya satu ayat kemudian dijadikan suatu pembenaran melakukan kekerasan tentu tidak bijak karena konteksnya berbeda, padahal lebih banyak ayat lain yang lebih mengajak pada perdamaian.

Beberapa negara Eropa sudah dengan tegas menolak migrasi Islam masuk ke negara mereka karena khawatir Islam tidak mampu berintegrasi dan justru menimbulkan kantong-kantong separatis. Tidak menutup kemungkinan akan lebih banyak negara yang menutup pintu untuk Islam. Memang menjadi sebuah pertanyaan, apakah mungkin prinsip kebebasan yang dianut oleh Eropa bisa berdampingan dengan prinsip kesakralan Islam. Negara-negara Eropa adalah negara sekuler yang menganggap agama bukanlah apa-apa dan itu adalah urusan pribadi. Masalahnya, sebagian besar orang Islam menganggap agama adalah segalanya. Inilah yang diragukan oleh sebagian pihak apakah Islam dapat berintegrasi di Eropa jika pola pikirnya masih tidak berubah.

Pada tatanan politik global, ini terlalu kompleks untuk dipikirkan. Di Indonesia kita punya pepatah, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, jadi sudah sepatutnya pula kita terapkan ketika berada di Eropa. Pada akhirnya, tugas sebagai individu Muslim adalah menjadi duta Islam yang baik. Seperti kata Khabib Nurmagomedov, Orang Non-Muslim tidak membaca Al-Qur’an dan Hadist. Yang mereka baca adalah dirimu, maka jadilah cerminan Islam yang baik. Sebagai pendatang, sebagai minoritas, tentu tidak bijak jika kita meminta orang Eropa mengikuti kepercayaan dan gaya hidup kita. Jadi daripada meminta pihak kampus menyediakan tempat untuk sholat, lebih baik membawa sajadah kemanapun dan sholatlah dimanapun asalkan nyaman dan tidak mengganggu orang lain.

Mengapa Saya Masih Menulis di Blog Saat Semua Orang Sudah Membuat Vlog

Ada masa ketika saya dikelilingi oleh teman-teman yang memiliki blog semua, entah itu di blogspot, wordpress, ataupun tumblr. Dulu blog merupakah suatu hal yang mewah dan bergengsi. Orang yang menulis adalah orang yang keren dan unik, yang bisa mempertontonkan kemampuan olah katanya, di samping unjuk gigi atas pengetahuan yang mereka miliki. Organisasi tempat saya bermain dulu (Palapsi) juga sangat mendorong kami untuk menuliskan cerita ataupun refleksi dari perjalanan di alam yang kami lakukan. Mapala memang unik, dari luar mereka nampak garang dan sederhana, tapi dalam tulisannya, mereka bisa menjadi orang yang puitis, melankolis, dan kritis. Menulis di blog juga berjasa membuat saya akhirnya mengakhiri masa 20 tahun menjomblo. Tapi masa-masa kejayaan dunia tulis menulis di blog ini nampaknya sudah lewat. Sekarang orang lebih senang mengenal orang lain bukan lewat tulisan, tapi lewat video. Kalaupun ada, paling hanya tulisan di status di Twitter yang panjangnya tidak seberapa.

Saya kemarin iseng melakukan survey di status Instagram, intinya menanyakan “Ketika Kamu hendak mencari informasi atau inspirasi, kamu lebih senang mencari kemana?” pilihannya dua, blog atau Youtube. Dari sekitar 100 follower saya yang ikut menjawab, 81% mengatakan mereka lebih suka melihat YouTube. Mereka mengatakan alasannya karena lebih menarik dan lebih jelas. Jaman memang sudah berubah, orang sekarang lebih suka menonton daripada membaca. Dulu mungkin orang-orang banyak terinspirasi oleh tulisan Soe Hok Gie, tapi sekarang orang lebih terinspirasi oleh sosok Atta Halilintar. Tapi terlepas dari apapun medianya, pada dasarnya menulis di blog ataupun membuat video di YouTube memiliki kesamaan yaitu ingin menunjukkan eksistensi, menunjukkan pada dunia “inilah aku”.

Tapi seiring berjalannya waktu, pada akhirnya memang orang akan lebih berpikir pragmatis daripada idealis. Semua perilaku kita akan banyak ditentukan oleh pasar. Itu juga yang dilakukan pembuat konten, mereka lebih sering menampilkan diri yang disukai oleh masyarakat agar populer, demi mendapat keuntungan dari iklan atau endorse. Hanya karena memiliki banyak follower di medsos, tidak serta merta seseorang bisa disebut sebagai influencer. Banyak yang menyebut mereka sebagai influencer meskipun banyak dari mereka yang sebenarnya influenced. Mereka tidak mempengaruhi orang lain, tapi sebaliknya orang lain lah yang mempengaruhi mereka dan membuat mereka menampilkan sosok tidak otentik agar disukai orang lain. Apalagi jika karya mereka hanya titipan.

Di titik ini saya akhirnya lebih memilih kembali menulis di blog untuk menyampaikan isi di kepala saya. Ada beberapa hal yang membuat saya lebih memilih menulis. Pertama, saya memang tidak pede tampil di depan kamera. Kedua, saya lebih bebas mengungkapkan ide di kepala saya melalui tulisan, pun lebih mudah merevisinya kelak jika ternyata saya keliru. Ketiga, informasi dari sebuah tulisan lebih mudah discaning daripada video. Kan kalau video kita sulit melihat di menit berapa informasi penting yang sedang dicari itu ada. Terakhir, saya merasa lebih merdeka. Kata Tan Malaka, “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Mungkin saya sudah tidak seidealis dulu, pun sudah luntur jiwa pemuda saya. Tapi semoga tulisan-tulisan saya tetap membawa informasi dan inspirasi bagi orang banyak.

The Next Level of Our Marriage

Saya dan Yuni sudah menikah hampir tiga tahun, dan selama itu pula kami selalu bersama. Dia selalu menemani setiap fase perjuangan dalam hidup saya. Saya menikahinya dalam keadaan saya bukanlah siapa-siapa. Saat itu saya hanya mahasiswa S2 semester 3. Saya tidak memiliki pekerjaan dan hanya mengandalkan uang beasiswa sebagai penopang hidup kami. Dia bukan pacar saya, tapi saya mengenalnya sebagai teman baik saya. Saya mengenalnya sebagai orang yang ceria dan sederhana, dan entah mengapa saya yakin hari-hari penuh perjuangan saya nanti akan lebih tenang jika dilalui bersamanya. Suatu hari, saya menyatakan ingin menikahinya. Dia tidak mengiyakan, tapi juga tidak menolak. Dia hanya ingin saya berbicara langsung kepada orang tuanya, sayapun memberanikan diri mendatangi kedua orang tuanya di Sarolangun, Jambi.

Singkat cerita (meskipun sebenarnya sangat berliku), saya akhirnya mendapat restu dari orang tua saya dan orang tua Yuni untuk menikah. Sayapun menguras seluruh tabungan yang saya kumpulkan dari dua tahun bekerja di Sulawesi dan Jakarta untuk menikahinya. Saat itu tabungan saya benar-benar habis, hanya tersisa untuk mengontrak sebuah rumah sederhana beserta perabotannya. Kami memulai semuanya dari nol. Setelah satu bulan menikah, Yuni hamil, kami sangat bahagia. Kehamilannya tidak mudah, empat bulan pertama dia sering mual-muntah hingga berat badannya turun derastis. Sangat menderita melihat dia menderita, apalagi kami memiliki tanggungan menyelesaikan tesis kami. Selama empat bulan, dia hampir tidak menyentuh tesisnya sama sekali. Syukurlah kami bisa melewati fase sulit ini dan bulan-bulan berikutnya, kami merasakan betapa indahnya pernikahan kami. Kemana-mana selalu berdua, mengerjakan tesis bersama, ambil data bersama, dan saling menyemangati untuk menyelesaikan tesis kami. Hingga akhirnya kami bisa menyelesaikan tanggung jawab kami dan wisuda bersama, di usia kandungannya yang ke-7 bulan.   

Wisuda tentu menyenangkan, tetapi berarti juga membuat masalah baru bagi saya. Saya sudah kehilangan status mahasiswa saya, kehilangan beasiswa saya, dan menyandang status pengangguran. Untung saat itu saya masih mendapat beberapa project di Fakultas Psikologi UGM, sehingga kami masih bisa bertahan. Idealisme membatasi saya saat itu karena saya hanya mau menjadi dosen, sementara lowongan dosen tidak banyak saat itu. Saat itu saya sedang proses seleksi di UMS, tinggal satu tahap lagi, sampai akhirnya ada tawaran untuk menjadi dosen di UMM. Saya tidak berpikir untung-rugi di antara kedua pilihan yang ada saat itu, saya hanya berpikir mana yang memberi saya kepastian terlebih dahulu, itulah yang saya pilih. Saya sudah cukup muak ditanya petugas KUA ketika akan menikah, “Masnya pekerjaannya apa?”, dan saya tidak mau ketika anakku lahir status saya masih tidak jelas. Di UMM saya ditawari menjadi dosen Luar Biasa (LB) dan berkesempatan diikutkan seleksi untuk menjadi dosen DPK, sementara di UMS saya belum tahu kapan proses seleksi lanjutan akan dilaksanakan. Sayapun akhirnya memilih pindah ke Malang dengan kondisi Yuni mengandung 8 bulan. Kami tidak memiliki saudara atau teman sama sekali di Malang, tetapi begitu kami sampai, kami serasa ditolong oleh banyak orang sampai akhirnya Zidan terlahir ke dunia.

Selanjutnya, kami menjalani hari-hari yang menyenangkan sebagaimana sebuah keluarga kecil yang normal. Tinggal bersama, membesarkan anak bersama, memiliki status dan rutinitas sebagaimana rumah tangga normal lainnya. Kami bukan tidak pernah bertengkar, ngambek-ngambekan (seringnya dia sih yang ngambek), dan berbeda pendapat; tapi pada akhirnya kami bisa menyelesaikannya. Kami berbagi mimpi bersama, bagaimana nanti kita akan membangun rumah, bagaimana karir kita nantinya, kapan kita akan berangkat haji bersama, bagaimana kita membesarkan anak kita. Saya bukanlah orang yang romantis yang sering memberi surprise atau hadiah, tapi dia juga bukan orang yang suka menuntut. Kami belum memiliki rumah, mobil, dan standar materi keluarga ideal lainnya. Gaji bulanan yang saya terima juga tidak besar, dan dengan gaji ini tidak terbayang kapan bisa terkumpul untuk membangun rumah kita sendiri. Namun dalam kesederhanaan, saya merasa hidup bersamanya dan satu anak kami adalah sesuatu yang sempurna.  

Sampai akhirnya, di tahun kedua kami tinggal di Malang, saya memustukan untuk meninggalkannya. Saya mendapat beasiswa untuk sekolah S3 di Eropa, namun tidak memungkinkan untuk mengajaknya pergi bersama saat ini. Beasiswa ini bukanlah beasiswa yang memberikan keuntungan finansial yang banyak, hanya dapat dikatakan cukup. Akhirnya Yuni dan Zidan kembali ke Jogja dan saya berangkat ke Hungaria. Dan untuk kali pertama dalam kehidupan pernikahan kami, kami menjalani Long Distance Relationship (LDR). Saya sendiri punya pengalaman tidak enak dengan LDR, saya mengakhiri hubungan dengan satu-satunya mantan pacar dalam hidup saya salah satunya dipicu karena LDR. Tapi LDR dalam pernikahan jelas berbeda. Di antara aspek-aspek cinta yang lain seperti keintiman dan gairah, aspek komitmen menjadi satu pembeda utamanya. Komitmen membawa banyak gerbong diantaranya yaity tanggung jawab, dan membuang gerbong lainnya yaitu drama. Dan di sinilah kita sekarang, pada level lanjutan dalam pernikahan kita.

Kami sudah diuji dengan kesederhanaan, dan sekarang kami diuji dengan jarak. Di saat dia membutuhkan saya untuk mengasuh anak bersama, dan di saat saya membutuhkan dia untuk menemani masa-masa sulit beradaptasi tinggal di Eropa, kami tidak saling hadir secara fisik. Keputusan untuk lanjut sekolah ke Eropa adalah keputusan bersama, demi mimpi bersama. Dan selama mimpi itu masih menjadi mimpi bersama, kami akan bertahan, lebih kuat lagi. Jadi LDR ini adalah misi untuk menguji komitmen dan tanggung jawab kami bersama dalam menggapai mimpi bersama. Bukankah kebahagiaan hanya akan nyata jika dibagikan, jadi buat apa mengejar kebahagiaan sendiri. Jarak sudah memberi banyak pelajaran tentang ruang rindu, ruang sendiri, dan sepi. Tapi seperti kata sebuah lagu, kita hanya akan rindu matahari saat turun salju, hanya akan membenci jalanan saat rindu rumah, dan hanya akan tahu betapa kita mencitai orang saat kita berpisah dengannya. Dan malam ini saya merindukannya, sangat merindukannya. Yuni Kartika dan Ahmad Zidan Baraka, semoga semesta segera mempersatukan kita bertiga.

Dan tunggulah aku di sana

Memecahkan celengan rinduku

Berboncengan denganmu mengelilingi kota

Menikmati surya perlahan menghilang

Celengan rindu – Fiersa Besari

Barang yang Harus Dibawa Saat Akan Sekolah ke Luar Negeri (Eropa)


Paspor, nyawa kita ketika ke luar negeri

Pergi ke luar negeri, khususnya ke Eropa artinya pergi ke tempat baru yang jauh dan mungkin sangat berbeda kondisinya dengan di asal negara kita. Bisa beda bahasa, budaya, sistem, kebiasaan, atau makanan sehari-hari. Oleh karena itu persiapan untuk pindahan ke Eropa harus lebih matang dibanding biasanya. Kenapa? Karena ga semuanya bisa dengan mudah bisa kita beli saat di Eropa. Kita juga ga bisa semudah mengirim barang dari Indonesia ke Eropa karena pasti mahal. Tulisan ini akan berisi daftar barang yang wajib dibawa jika kita akan pergi ke luar negeri, khususnya ke Eropa. Oiya, ke luar negeri yang dibahas dalam tulisan ini lebih spesifik untuk jangka waktu yang lama ya, misal sekolah, bukan liburan. Jadi memang benar-benar dibutuhkan dalam jangka waktu lama. Berikut daftarnya.

Paspor dan Visa

Paspor ini seperti nyawa kita saat di luar negeri, apapun urusannya pasti butuh paspor. Mau check ini pesawat, beli kartu SIM handphone, check in hotel / penginapan, mau beli tiket, mau urusan administrasi apapun pasti butuh menunjukkan paspor. Jadi dibaik-baikin itu paspor, jangan sampai dia pergi. Sedangkan visa itu udah nempel sama paspor, jadi kalau paspornya ilang, visanya juga ilang, artinya izin buat masuk ke negara lain juga ilang.

Dokumen perjalanan dan dokumen penting lainnya

Dokumen perjalanan ini meliputi tiket pesawat, bookingan penginapan, dan asuransi perjalanan. Bawa juga Letter of Acceptance (LoA) dari kampus tujuan kita, serta Letter of Award kalau kita penerima beasiswa. Meskipun sudah zaman digital, tapi tak ada salahnya kita sudah mencetak semuanya. Untuk pesawat, ada baiknya kalau sudah check-in online sebelumnya, jadi bisa mempersingkat waktu saat check-in di bandara. Dokumen pribadi juga lebih baik dibawa seperti KTP, SIM, KK, Akte lahir, buku nikah, NPWP, pas foto (bawa yang banyak). Bawa juga dokumen-dokumen penting yang dibutuhkan sesuai tujuan kita. Misal kalau kita mau sekolah, biasanya saat enrolment universitas meminta kita menunjukkan ijazah dan transkirp jenjang sebelumnya. Beberapa universitas mungkin meminta hal lain seperti surat keterangan sehat, IELTS/TOEFL, surat penyataan blablabla. Pokoknya ngikut saja apa yang disyaratkan universitas. Semua dokumen diusahakan sudah dicopy dan discan.

Travel adaptor dan Extension

Travel adaptor ini penting kalau ternyata model colokan di negara tujuan kita tidak sama dengan model colokan di Indonesia. Kalaupun ternyata sama, bawa universal travel adaptor juga ga ada ruginya, siapa tahu nanti mau jalan-jalan ke negara tetangga kan. Sedangkan extension ini wajib, mengantisipasi jika di tempat tinggal kita colokannya terbatas.

Smartphone dan Laptop beserta chargernya

Namaya sudah smartphone, jadi digunakannya dengan smart juga ya. Di negara baru, kita pasti buta arah dan belum terlalu menguasai bahasa local. Google Maps dan Google Translate adalah sahabat kita di negara baru tersebut. Pastikan sudah bisa cara mengoperasikan dua aplikasi ini sebelum berangkat, pelajari fitur-fiturnya. HP juga bisa berfungsi sebagai kamera untuk mengabadikan momen dan spot keren di Eropa, jadi sekalian beli HP yang bagus deh. Kalau sadar baterei HPnya suka ngedrop, bawa powerbank juga. Kalau pertama datang, manfaatkan wifi bandara. Ada baiknya segera membeli SIM card begitu nyampe agar bisa segera dipakai internetnya. Sedangkan laptop, ya pasti butuh lah, namanya juga mahasiswa.

Uang tunai dan Kartu Debit/Kredit

Meskipun di negara maju pembayaran bisa dilakukan dengan kartu, tapi uang tunai penting banget. Ga semua tempat menerima pembayaran dengan kartu. Pastikan sudah menukarkan uang Rupiah kita ke mata uang lokal negara tujuan. Kalau ga ada, tukarkan dengan mata uang yang universal, misal USD atau Euro, sehingga nanti kita bisa tukarkan saat sampai bandara negara tujuan. Kartu ATM juga perlu, jadi pas datang bisa ambil uang local di ATM. Pastikan ke banknya bahwa kartu ATM ini bisa dipakai di luar negeri. Untuk transaksi internasional kartu Jenius punya BTPN ini recommended banget, bisa berperan sebagai kartu kredit meskipun dia adalah kartu debit.

Tas/ransel kecil beserta printilannya

Pastikan bawa tas yang bisa kita gunakan untuk membawa dokumen-dokumen penting kita, seperti paspor, ijazah, dll. Jangan lupa sediakan semua peralatan tulis juga di dalam tas, seperti pulpen dan notes karena pasti butuh untuk mengisi form. Untuk kebutuhan perjalanan, sediakan juga di dalam tas hand sanitizer, masker, dan tisu basah. Selama minggu-minggu awal, kita akan butuh mengurus beberapa hal administratif, seperti mengurus residence permit, membuat student card, dll. Pastikan kita punya tas yang muat untuk membawa semua dokumen tadi, tapi tetap efisien tempat, sehingga nyaman kalau dipakai berdesak-desakan di kendaraan umum.

Alat mandi

Bawa sabun, shampoo, sikat gigi, pasta gigi, dan handuk. Ini juga penting, daripada harus beli, mahal. Kalau bawa yang ukuran besar, jangan lupa barang-barang ini ditaruhnya di bagasi, soalnya kalau bagasi kabin kan ga boleh ada cairan lebih dari 100ml. Untuk kepentingan perjalanan, biasanya di pesawat kita dikasih kok sikat gigi, pasta gigi, dan tisu basah, jadi aman.

Skincare dan make up

Jangan dianggap skin care ini hanya untuk cewek ya, buat cowok juga penting. Di Eropa itu cuacanya berbeda dengan di Indonesia, dingin tapi kering. Kita butuh banget pakai pelembab kulit/lotion, lip balm, dan Conditioner supaya kulit, bibir, dan rambut kita ga kering. Parfum dan deodorant juga penting tuh biar ga bau. Kalau make up sih sesuai kebutuhan masing-masing aja.

Baju, Jaket, dan celana dalam

Baju, jaket, dan celana dalam bawa seperlunya saja, gausah terlalu banyak. Kenapa? Karena bahannya belum tentu nyaman dipakai di negara tujuan. Kita bisa beli lagi nanti ketika sudah sampai, terutama jaket untuk musim dingin, karena kalau beli di Indonesia biasanya ga mempan. Beli second juga ga masalah kok, baju second di sini bagus-bagus dan murah kok. Bawa kemeja gausah banyak-banyak, orang Eropa suka nyantai, kuliahnya pakai kaos aja. Untuk baju, bawa baju flannel agaknya cukup membantu dalam berbagai situasi, formal atau santai, panas atau dingin. Bawa juga pakaian tradisional kita, misal batik. Khusus yang berhijab, mungkin stok jilbab bisa diperbanyak karena susah beli di Eropa.

Peralatan sholat

Ini penting banget dibawa dari Indonesia karena di Eropa sulit dicari. Untuk sajadah, usahakan membawa dua, satu yang agak tebal untuk stay di tempat tinggal, dan satu yang tipis yang bisa dibawa kemana-mana. Soalnya nyari masjid juga susah, jadi butuh fleksibilitas nyari tempat untuk sholat. Di musim Covid ini juga masjid biasanya tidak menyediakan karpet, jadi sajadah harus bawa sendiri. Untuk perempuan, mukena juga jangan cuma bawa satu.

Payung lipat atau Raincoat

Hujan itu ga mengenal negara, semua pasti kebagian. Karena di Eropa kita pasti akan lebih banyak jalan karena memakan transport public, jadi payung atau raincoat wajib dibawa karena kalau belinya di Eropa mahal.

Botol minum

Udara di Eropa ini kering tapi dingin, jadi kadang kita ga merasa haus tapi sebenarnya sudah dehidrasi, Jadi harus sering-sering minum. Karena membeli air mineral cukup mahal, jadi lebih baik bawa botol minum sendiri kalau pergi kemana-mana. Di sini air tap/keran bisa langsung diminum, jadi ga susah nyari isi ulang airnya.

Tas belanja/Kantong plastik

Ketika kita belanja ke supermarket, biasanya mereka tidak menyediakan kantong secara gratis. Jadi ada baiknya kita bawa tas sendiri jika akan belanja. Tas/kantong plastik ini juga pasti kepake banget lah untuk banyak hal, misal menaruh pakaian kotor, tempat sampah, dll.

Sepatu, sendal dan kaos kaki

Bawa sepatu dan sendal juga seperlunya saja. Usahakan sepatu atau sandal ini yang nyaman dipakai untuk jalan karena di Eropa kita pasti akan lebih banyak berjalan kaki dibanding biasanya.

Obat pribadi

Ini jika ada penyakit tertentu lebih baik disiapkan obatnya dari Indonesia. Tapi secara general bawa paracetamol, obat diare, balsem, minyak telon, dan betadine sudah cukup sebagai langkah preventif. Pembelian obat di Eropa tidak bisa sebebas di Indonesia. Misal obat antibiotik sama sekali tidak bisa dibeli tanpa resep dokter.

Bumbu masak dan makanan instan

Space koper lebih baik dipakai untuk keperluan logistik makanan ini, terutama bagi mereka yang memang tidak bisa lepas dari bumbu Indonesia. Banyak hal-hal yang sulit ditemukan di sini, seperti kecap manis atau sambal pedas. Jadi sediakan stok yang cukup untuk bertahan hidup di Eropa sambal menyesuaikan diri dengan makanan lokal. Jika space kita banyak, bisa bawa makanan instan juga dari Indonesia, seperti mie, abon, kering tempe, bon cabe, bawang goreng, selai, atau makanan kaleng.

Peralatan masak dan makan

Tapi ga perlu bawa panci dan penggorengan juga ya. Peralatan masak ini yang memang spesifik dari Indonesia dan bakal butuh banget, misal rice cooker. Rice cooker di Eropa lebih mahal dan susah nyarinya, jadi kalau memang ada space lebih di bagasinya, bisa bawa rice cooker dari Indonesia. Kalau ga muat ya beli di sini aja. Bawa juga piring, mangkok, gelas, sendok, garpu, dan kotak bekal makan. Piring, mangkok, dan gelas usahakan yang microwave friendly, karena orang Eropa banyak menggunakan microwave. Kotak bekal makan juga perlu kalau mau berhemat atau sekedar memastikan kita makan makanan halal.

Printilan

Printilan ini sifatnya kecil tapi sangat berguna. Yang masuk daftar printilan ini diantaranya adalah:

  • Karet gelang, buat ngaretin makanan yang udah kebuka, buat ikat rambut
  • Peniti, darurat kalau ada pakaian sobek, buat buka SIM card HP
  • Gunting, ya buat nggunting, apapun
  • Pemotong kuku, ya buat motong kuku
  • Pisau cukur, buat yang bulunya lebat
  • Sisir, biar rambut tetap rapi
  • Paper clip, ya buat jepit kertas
  • Dompet kartu, lumayan berguna karena di Eropa kita hidup dengan banyak kartu (student card, monthly pass, kartu akses masuk kampus/dorm/apartemen, residence permit)

Lain-lain

Yang lain-lain ini sifatnya opsional, mau bawa ya hayuk, enggak juga gapapa, nanti bisa beli. Harganya ga beda jauh dengan di Indonesia kok. Yang masuk kategori lain-lain di antaranya adalah sprei, semir sepatu, hanger, seterika, map, sticky notes, staples.

Menjadi Mahasiswa PhD di Hungaria: Kesan Pertama


Sudah satu bulan saya tinggal di Budapest untuk melanjutkan studi PhD saya di kota ini. Saya mengambil kuliah di Doctoral School of Psychology di Eotvos Lorand University (ELTE) pada program Cognitive Psychology. Tulisan ini akan bercerita tentang kehidupan seorang PhD student di Hungaria. Tentu saja, setiap orang mengalami hal yang berbeda, dan tulisan ini adalah subjektif dari pandangan saya saat ini, jadi jangan digeneralisir dan bisa jadi pandangan ini juga akan berubah seiring berjalannya waktu.

Hungaria sepertinya memang masih belum menjadi tujuan favorit mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan kuliah. Baru tiga tahun belakangan ini beasiswa dari Hungaria mulai terdengar namanya, itupun selalu kuotanya tidak terisi penuh. Selain masalah bahasa dan tradisi, rangking universitas di Hungaria juga mungkin jadi pertimbangan. Rangking universitas di Hungaria memang tidak terlalu tinggi, kampus favorit di sini hanya nangkring di peringkat 500-an dunia. Tapi jika dilihat per bidang studi, banyak bidang studi tertentu yang peringkatkan masuk 100 besar dunia. Seperti kampus saya, ELTE, secara universitas rangking versi QS setara dengan Unair. Tapi jika dilihat bidang Psikologi, rangkingnya jauh di atas kampus di Indonesia, yaitu 200. Soal rangking ini juga balik lagi versi siapa sih, kalau versi THE atau CWUR rangkingnya jauh di atas universitas di Indonesia.

Sistem perkuliahan di Hungaria untuk jenjang PhD ini sedikit berbeda dengan negara-negara lainnya di Eropa. Di Belanda, Jerman, Swedia, atau Norway mahasiswa PhD biasanya dianggap sebagai pekerja yang pekerjaan utama adalah meneliti, Jadi mereka tidak wajib ikut kuliah di kelas. Tapi di Hungaria mirip seperti di Amerika atau Indonesia, kita masih diwajibkan mengikuti perkuliahan di kelas selama empat semester. Tapi di empat semester awal ini kita juga sudah harus memulai riset kita, setidaknya untuk mematangkan proposal disertasi kita. Jadi dua tahun ini kerjanya saling tumpeng tindih, kuliah dan penelitian. Di akhir semester empat kita ada complex exam, ini semacam ujian komprehensif untuk menentukan apakah kita layak untuk lanjut ke tahap berikutnya atau tidak. Jika lolos, kita baru bisa disebut PhD candidate, jika tidak, sorry to say perjalanan PhD kita berakhir.

Saya kuliah dengan beasiswa Stipendium Hungaricum, jadi jatah kita hanya empat tahun. Sayangnya berdasarkan cerita senior, sampai saat ini sangat sedikit mahasiswa yang bisa lulus dalam waktu empat tahun. Tapi ini tergantung dari kampus. Di ELTE untuk bisa mendaftar ujian disertasi, kita diwajibkan memiliki minimal tiga publikasi di jurnal (yang semuanya terindeks Scopus atau WoS) yang harus sesuai dengan topik disertasi kita, dan dua dari tiga publikasi itu haruslah empirical research. Publikasi ini juga harus dikutip dalam disertasi. Tentu saja syarat ini yang menjadi penghambat karena proses publikasi di jurnal top ini memakan waktu cukup panjang, bisa lebih dari setahun.

Perkuliah untuk mahasiswa PhD ini tidak seintensif mahasiswa master. Semester ini saya hanya mengambil tiga mata kuliah, namun tiap mata kuliah bobotnya 7 ETCS. Namun kuliah tatap muka (online/offline) rata-rata dilaksanakan hanya dua minggu sekali. Sisanya kita lebih banyak diberikan project seperti merivew jurnal, mengkritisi disertasi, atau menulis artikel. Tiap perkuliahan diisi dengan presentasi mahasiswa secara bergantian. Jadi kalau dilihat-lihat mahasiswa PhD ini jauh lebih longgar waktunya dibanding mahasiswa master. Jadwal kuliah juga sangat fleksibel, tergantung professor yang mengajar. Jadi kuliah PhD ini sangat tidak terstruktur, dan di situlah kadang jebakannya, kalau kita terlena bisa-bisa terbawa suasana santai.

Untuk perkuliahan sendiri lebih santai. Professor di sini sangat humble, lebih dekat dengan mahasiswa dan tidak memposisikan diri sebagai dewa. Suasana perkuliahan juga santai, dengan pakaian yang santai, lokasi yang santai (pernah saya kuliah di cafe), dan lebih banyak diskusi dibanding mendengarkan dosen ceramah. Tapi soal standar etika tetap harus dijaga, misal jika berhalangan hadir tetap harus memberi kabar ke dosen pengampu. Soal kehadiran ini memang tergantung dosennya, ada yang membebaskan asalkan seluruh tugas dikerjakan, tapi ada juga yang strict harus hadir minimal 80%. Tapi secara umum karena kita sudah PhD, kita harus lebih proaktif dalam belajar.

Untuk pembimbingan, saya beruntung memiliki supervisor yang masih cukup muda dan sangat cerdas (meskipun beberapa kali sangat jadi tidak paham apa yang sedang dia bicarakan saking pinternya). Dia lulusan Cambrigde, jadi saya sering merasa tidak PD  dengan aksen Indonesian English saya kalau dibanding Bristish aksennya (yang terdengar seperti orang berkumur-kumur bagi saya). Tapi dia tidak pernah menyinggung masalah ini kok. Seperti tipikal dosen lainnya, dia sangat humble, misal ketika janjian dia tahu akan terlambat, dia mengabari saya duluan. Begitu pula ketika saya sudah selesai bimbingan, dia mengantar saya sampai ke depan pintu ruangan. Ini sederhana sih, tapi baru kali ini saya diperlakukan seperti ini. Dia masih baru di ELTE, baru dua tahun ini dia pindah ke sini, jadi dia juga masih belum terlalu paham sistem dan administrasi. Selain itu dia tidak mengajar, hanya sebagai research fellow. Jadi kehidupan perkuliahan dan penelitian saya ini sangat terpisah. Kuliah ya kuliah, penelitian ya penelitian. Kuliah dengan dosen yang mengajar, penelitian dengan supervisor.        

Overall, perjalanan PhD ini sepertinya masih sangat panjang. Seperti yang selalui Kristof (supervisor saya) katakan, “Kamu punya waktu empat tahun di sini, gausah buru-buru, jalani satu demi satu tahapannya”. Benar, perjalanan PhD ini mungkin bukanlah perjalanan yang bisa dipandu dengan Google Map, yang tahap demi tahapnya sudah jelas. Perjalanan ini lebih seperti perjalanan memecahkan teka-teki. Ketika kamu berhasil memecahkan satu teka-teki, maka pintu lain akan terbuka dan kamu harus memecahkan teka-teki berikutnya, sampai akhirnya semua pertanyaan terjawab. Makanya dia selalu menyuruh saya tidak terburu-buru merancang desain penelitian. Lupakan dulu research plan yang kemarin digunakan untuk mendaftar, mulai dari preliminary study dulu, baru akan muncul pertanyaan-pertanyaan penelitian lain yang harus kamu jawab.


Kesan Pertama Datang Melihat Budapest

Berfoto di Fisherman’s Bastion

Budapest, kota yang indah, katanya, merupakan ibu kota negara Hungaria. Kota ini berada di jantung benua Eropa, terbagi atas dua wilayah Buda dan Pest yang dipisahkan oleh sungai Danube. Bukan tujuan favorit orang untuk melanjutkan kuliah, tapi pada akhirnya saya sekarang terdampar di sini dan akan menghabiskan waktu empat tahun ke depan membersamai perjalanan PhD saya. Sayangnya, saya mengawali perkenalan dengan Budapest dengan dengan cara yang berbeda, dikarantina 14 hari di kamar dormitory. Saya datang ke Hungaria tanggal 2 September 2020, tepat satu hari sejak pemerintah Hungaria mengubah kebijakan menjadi wajib karantina bagi orang yang baru datang dari luar negeri. Saya menghabiskan waktu karantina bersama dua teman dari Indonesia.

Saya mulai cerita ini dari kedatangan saya di Hungaria. Sebagai kota di Eropa dan katanya menjadi tujuan banyak turis, bandara kota Budapest benar-benar di luar dugaan saya. Bandara Budapest ini jauh lebih kecil kalau dibandingkan dengan bandara di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, atau Makasar. Tapi hal ini wajar karena arus penerbangan di bandara ini tidak sepadat bandara di Indonesia karena tidak ada penerbangan domestik di sini. Kami di jemput oleh teman-teman PPI dan di antar ke tempat tinggal kami masing-masing. Saya pergi ke dormitory naik bus. Harga tiket bus satuan di sini sangat mahal, kalau dikonversi ke Rupiah sekitar 15 ribu untuk sekali jalan, dan bisa dibeli langsung di mesin tiket. Tapi kalau kita membeli paketan bulanan, harganya jauh lebih murah, apalagi untuk pelajar. Dalam perjalanan ke dormitory inilah saya mulai melihat Budapest dengan ketidaksempurnaannya. Masih banyak vandalism, banyak sampah, banyak bangunan kosong terbengkalai, ada pengemis, dan banyak ketidaksempurnaan lainnya. Hanya sebatas inilah saya melihat kondisi Budapest, karena sisanya saya harus menjalani karantina. Untung selama karantina kami bisa membeli logistik secara online, jadi kebutuhan kami tetap terpenuhi.

Budapest Eye

Selepas 14 hari menjalani karantina, saya boleh keluar. Hal pertama yang saya lakukan adalah membeli SIM card Handphone dan membeli tiket transportasi bulanan. Dua hal ini adalah kebutuhan pokok karena selama minggu-minggu awal ini saya butuh mengurus administrasi seperti mengambil residence permit, membuat student card, membuat nomer pajak, membuka rekening bank, mengurus asuransi, dll. Selama masih baru, Google Map merupakan sahabat utama saya yang sangat membantu menentukan arah dan tujuan perjalanan saya. Satu hal yang paling saya kagumi dari Budapest adalah sistem transportasinya yang rapi. Ada beberapa mode transportasi di sini, ada Bus, Trolley Bus, Metro, Tram, dan Kereta Suburban. Dengan membeli tiket bulanan, kita bisa naik semua moda transportasi ini sepuasnya. Semuanya ontime, nyaman, dan terintegrasi dengan sangat baik.  

Dalam hal pelayanan publik, orang-orang di sini sangat kooperatif dan helpful. Prinsipnya percaya dan kalau bisa dimudahkan, mengapa dipersulit. Misalkan ketika kita lupa mengcopy satu dokumen yang seharusnya dicopy, mereka akan membantu melakukannya. Tidak seperti di Indonesia, biasanya kita disuruh pulang lagi untuk mengcopynya, ga peduli antriannya seberapa panjang. Ini yang sepertinya pembeda utama dengan di Indonesia. Meskipun demikian, ada pegawai di kantor pelayanan publik tidak bisa Bahasa Inggris. Secara sistem juga saya pikir ada banyak hal yang bisa disederhanakan birokrasinya.

Terima kasih kepada Kartu Jenius (bukan promosi ya), karena banyak membantu selama saya masih belum punya mata uang local di sini. Mata uang resmi Hungaria adalah Forint, dan tidak ada yang menjual uang Forint ini di Indonesia. Dengan Jenius semuanya lebih mudah karena tinggal tap saja, tanpa perlu mikir banyak hal. Potongan konversi Rupiah ke Forint juga tidak terlalu besar, lebih kecil daripada kita menukar uang di Moneychanger. Kita juga bisa ambil uang tunai Forint di ATM dengan kartu Jenius ini.

Mengenai tata kota, landmark Budapest ini merupakan kota klasik. Jadi bangunan-bangunan di sini mayoritas bangunan klasik, yang sudah tua, namun masih terawat dengan baik. Jarang sekali ada bangungan dengan model arsitektur modern, apalagi Gedung pencakar langit karena memang regulasi pemerintah saat ini melarang pembangunan gedung yang lebih tinggi dari 96 m. Tempat wisata di sini juga banyak wisata sejarah yang menampilkan bangunan kuno eksotis khas Eropa. Beberapa tempat wisata yang terkenal di kota ini adalah Gedung Parlemen, Fisherman’s Bastion, Buda Castle, Heroes Square, City Park, Saint Stephen Basilika, dll. Semuanya nampak lebih indah jika dilihat saat malam hari. Wisata alam di kota ini tidak banyak, paling kita bisa melihat kota dari ketinggian dengan berkunjung ke Citadela.  

St. Stephen’s Basilica

Orang-orang di sini individualis dan sangat menjunjung tinggi privasi, namun mereka juga helpful. Sebagian besar generasi tua tidak bisa berbahasa Inggris, dan banyak lansia yang tinggal di sisi Buda. Cuaca di sini juga unpredictable. Meskipun sekarang baru mau masuk musim gugur, tapi suhunya sudah cukup dingin, rata-rata sekitar 11-16 derajat celcius. Rasanya sulit menceritakan semua di sini. Mungkin lain kali saya buat videonya saja supaya lebih terbayangkan. Di lain waktu saya juga akan bercerita tentang kesan pertama kuliah dan bertemu supervisor.  


Perjalanan ke Eropa dalam Kondisi Pandemi Covid-19


Saya merupakan orang yang cukup beruntung untuk bisa bepergian ke Eropa untuk melanjutkan studi S3. Saya akhirnya diterima beasiswa Stipendium Hungaricum untuk melanjutkan kuliah S3 di Eotvos Lorand University (ELTE) pada program Cognitive Psychology. Perjalanan ke Hungaria di masa pandemic Covid-19 ini tentu saja penuh drama. Tapi ya begitulah, cerita para Angkatan Covid ini, enak buat diceritakan tapi tidak enak dialami.

Tepat tiga minggu setelah mengajukan visa, saya mendapat email bahwa permohonan visa saya dikabulkan. Sejak saat itu saya langsung merancang strategi untuk bisa berangkat ke Hungaria. Urusan tugas belajar dan dana bantuan studi dari kampus sudah beres. Namun yang jadi masalah adalah tempat tinggal di Hungaria belum ada. ELTE memberi kabar kalau dormitory kampus tidak bisa ditempati semester ini karena Covid. Mereka memberi alternatif private dorm, tapi harus nambah biaya 25rb HUF, atau sekitar 1,2 juta/bulan. Dengan harga segitu sih kayaknya ga layak kalau tinggal di dorm yang ditawarkan kampus. Oiya dorm ini modelnya sekamar bertiga, tiap sepuluh kamar ada satu 2 bilik shower room dan 2 bilik toilet. Ada juga dapur umum dan mesin cuci untuk barengan. Saya akhirnya mencoba nyari flat bareng teman-teman Indonesia yang kuliah di kampus yang sama. Sudah lima flat kita suka, oke, dan kontak yang punya, tapi lima kali juga ketikung. Karena akhirnya ga nemu flat yang harganya terjangkau, kami akhirnya memutuskan untuk tinggal di private dorm yang ditawarkan kampus. Berita baik datang dua minggu kemudian, mereka mengatakan kalau biaya sewa tidak jadi nambah, gratis bagi penerima beasiswa Stipendium Hungaricum. Alhamdulillah.

Hal pertama yang saya lakukan setelah tempat tinggal sudah fix adalah menentukan jadwal keberangkatan. Menentukan jadwal keberangkatan ini tidak simple, karena untuk masuk ke Hungaria di masa pandemi juga agak ribet. Untungnya sih bagi pemilik visa type D, kita bebas masuk Hungaria tanpa perlu mengajukan izin dari kepolisian setempat. Namun untuk dapat masuk dan bebas karantina 14 hari, kita perlu menunjukkan hasil 2 tes PCR negatif dalam waktu 5 hari terakhir dengan jarak pengetesan 48 jam. Syarat ini jelas tidak bisa dipenuhi kalau melakukan tes PCRnya di Malang. Rata-rata tes PCR di Malang baru keluar hasilnya dalam waktu 5 hari. Saya pun memutuskan untuk tes di Jakarta, tentu dengan biaya yang lebih mahal. Saya pilih paket yang hasilnya keluar 1 hari di RS Mayapada, biayanya 2 juta. Sudah booking dan sudah bayar, eh baru tahu ada yang lebih murah, yaitu di GSI. Dengan paket yang sama biayanya hanya 1,2 juta. Saya sudah beli tiket pesawat untuk tanggal 2 September dan tanggal 28 Agustus saya sudah berangkat ke Jakarta untuk tes PCR. Dalam perjalanan di kereta, saya dapat kabar bahwa tes PCR yang dilakukan di luar Hungaria tidak diakui lagi. Hal ini sebagai respon karena statistik peningkatan jumlah kasus Covid di Hungaria meningkat tajam dalam dua minggu terakhir, dan sebagian besar datang dari luar negeri. Jadilah 2 juta ini terbuang sia-sia. Tapi gpp, setidaknya saya tahu bahwa hasil tes PCR saya negatif.

Tanggal 2 kami berangkat ke Hungaria dengan Qatar Airways. Maskapai ini adalah satu-satunya maskapai yang disarankan keduataan besar, mengingat maskapai lain sering cancel penerbangan karena kondisi covid. Rombongan dari Indonesia untuk tanggal 2 ini cukup banyak, ada lebih dari 15 orang. Untuk terbang dengan Qatar tidak diperlukan syarat tes PCR. Nah ini cukup aneh sih, untuk penerbangan domestik saja setidaknya kita butuh rapid test, tapi untuk penerbangan internasional dengan durasi lebih dari 15 jam dan tanpa physical distancing tidak butuh tes apapun. Jadwal boarding jam 23.40 dan check-in sudah dibuka jam 21.00. Antrian checkin dipisah antara mereka yang sudah check-in online dan belum, jadi kalau mau cepat, lebih baik check-in online dulu. Sepanjang perjalanan, penumpang diberi face shield yang wajib dipakai Bersama masker. Penerbangan dengan Qatar Airways ini transit satu kali di Doha. Transit tidak memerlukan dokumen apapun, karena penumpang juga tidak diizinkan meninggalkan daerah bandara. Perjalanan Doha-Budapest memakan waktu sekitar 5,5 jam.

Saya mendarat di Budapest sekitar jam 13.00. bandara Budapest ini kecil, sama seperti bandara di Malang. Masuk bandara kita langsung antri untuk cek di imigrasi. Antrian cukup panjang, apalagi hari itu adalah transisi perubahan aturan baru, jadi pengecekan petugas cukup ketat. Satu orang bisa memakan waktu 30 menit untuk di imigrasi. Menurut informasi, untuk mahasiswa perlu melampirkan student certificate untuk masuk Hungaria. Tapi saya kemarin tidak pakai itu karena sudah request ke kampus tapi tidak dibalas. Saya hanya membawa Letter of Acceptance dari kampus. Di sana kita juga diberi form dalam bahasa Hungaria yang intinya menanyakan kontak dan lokasi karantina kita. Alhamdulillah proses di imigrasi lancar. Kita diberi stiker warna merah untuk ditempel di pintu kamar sebagai penanda orang ini sedang dalam masa karantina. Selesai itu kita langsung menemui teman-teman PPI yang sudah menjemput kami.

Kami berangkat ke dorm naik bus umum. Kami membeli tiket untuk 10 kali perjalanan. Tiket ini benar-benar berwujud tiket, yang nanti divalidasi ketika di bus. Untuk urusan ini sih saya merasa Jakarta lebih modern. Sebenarnya ga divalidasi juga gapapa, cuma kalau pas apes ada petugas ngecek bisa kena denda. Kesan pertama melihat Budapest sih biasa saja, tidak beda jauh dengan Indonesia. Sebagai ibu kota negara, saya merasa Jakarta masih lebih “wow” dibanding di Budapest. Hanya saja memang kemacetannya tidak separah di Jakarta. Pengendara juga lebih tertib. Sesampainya di dorm kita regristrasi dan langsung menuju kamar. Ada minimarket di lantai bawah, ya mirip warung kelontong di Indonesia lah. Pembayaran bisa pakai kartu debit, saya pakai Jenius. Untuk urusan transaksi di luar negeri ini, Jenius sangat berguna di sini. Penampakan dormitory ini jauh lebih tua dan horror dari yang di website. Tapi apapun itu, tetap bersyukur lah ada tempat yang bisa menampung kita, apalagi ini gratisan. Jadi sekarang di sinilah saya, menjalani karantina dua minggu di negeri orang.