Review Perbandingan Beasiswa LPDP dan Stipendium Hungaricum

Sebenarnya perbandingan beasiswa Stipendium Hungaricum dan LPDP ini tidak bisa apple to apple, karena memang sasaran dan tempat studinya juga berbeda. LPDP tidak memberikan beasiswa bagi orang yang mau kuliah di Hungaria, karena memang universitas di Hungaria tidak masuk list dari LPDP. Dari segi pemberi dana juga sangat berbeda, LPDP berasal dana abadi pendidikan pemerintah Indonesia, sementara Stipendium Hungaricum didanai oleh Pemerintah Hungaria, jadi pasti kepentingannya berbeda. Tetapi berhubung saya memiliki pengalaman sebagai awardee kedua beasiswa ini, maka tulisan ini akan membahas perbandingan kedua beasiswa ini ditinjau dari berbagai aspek.

Desclaimer

Review perbandingan ini didasarkan atas pengalaman pribadi saya sebagai penerima beasiswa master dalam negeri LPDP tahun 2016 dan beasiswa doktoral Stipendium Hungaricum tahun 2020. Kebijakan setelah tahun tersebut mungkin sudah berubah. Perbandingan ini juga atas pengalaman saya pribadi, jadi unsur subjektivitas mungkin akan muncul dalam review ini.

Tujuan beasiswa

Karena pemberi beasiswanya berbeda, tujuannya pun pasti berbeda. LPDP didanai dari pemerintah Indonesia, jadi jelas tujuannya adalah investasi SDM unggul agar nanti bisa berkontribusi membangun Indonesia. Jadi pastikan saja jiwa nasionalismemu cukup tinggi dan setia pada NKRI. Setelah selesai studi, awardee wajib pulang dan mengabdi di Indonesia.

Kalau Stipendium Hungaricum didanai pemerintah Hungaria, tujuannya adalah internasionalisasi Pendidikan di Hungaria. Jadi saat ini memang universitas di Hungaria rangkingnya tidak terlalu menggembirakan, hanya berkisar 500an dunia. Masih kalah jauh kalau dibanding kampus-kampus di Inggris, Amerika, Belanda, atau Australia. Jadi untuk menjadi awardee kamu ga perlu nasionalis banget, selesai studi tidak ada kewajiban pulang ke Indonesia, langsung pindah kewarganegaraanpun bisa, kalau ada yang mau menerima kamu.

Besaran beasiswa

Informasi ini yang sebenarnya kalian cari kan? Kedua beasiswa ini sama-sama mengcover penuh biaya studi. Kalau untuk besaran, sudah bisa disepakati bahwa LPDP lebih menggiurkan. Sebagai gambaran, yang saya peroleh sebagai awardee beasiswa master di UGM.

  • Living allowance bulanan yang saya terima 3,5jt/bulan (itu sudah 2x UMR di Jogja).
  • Biaya kedatangan/Settlement allowance (2x living allowance), tapi saya dapat karena asli Jogja.
  • Uang buku 10 juta/tahun
  • Dana untuk konferensi internasional (maksimal 15 juta),
  • Dana penelitian (maksimal 15 juta),
  • Uang transportasi saat berangkat dan pulang selesai studi
  • Tunjangan buat keluarga di tahun kedua (updatenya sih sekarang hanya yang doktoral saja yang dapat).
  • Asuransi kesehatan, kalau di Indonesia pakai BPJS kelas 1.

Dengan uang beasiswa itulah makanya saya berani menikah saat kuliah S2. Uang beasiswa ini bahkan jauh lebih besar dari gaji dosen yang saya terima setelah lulus kuliah, jadi agak sedih sih begitu lulus. Besaran beasiswa untuk level doktoral kurang lebih sama, paling dana penelitiannya yang lebih besar. Kalau kalian kuliahnya di luar negeri, uang beasiswanya lebih WOW lagi. Living allowance biasanya disesuaikan dengan living cost kota dimana kita studi. Jadi misal kuliahnya di Kuala Lumpur dan di London, jelas living allowancenya berbeda. Cerita dari teman yang kuliah di Canberra, Australia, kalau kamu bisa hidup sederhana, setidaknya tiap bulan bisa menabung 7 juta rupiah. Jadi begitu pulang bisa buat DP rumah lah.

Sementara untuk beasiswa Stipendium Hungaricum, yang saya peroleh sebagai awardee beasiswa doktoral di kota Budapest.

  • Living allowance bulanan 140.000 HUF untuk tahun 1-2 (sekitar 6,6 juta rupiah), untuk tahun 3-4 jadi 180.000 HUF (sekitar 8,5 juta rupiah).
  • Tinggal di asrama kampus gratis, atau subsidi akomodasi 40.000 HUF (sekitar 1,9 juta rupiah) jika memutuskan tinggal di luar asrama. FYI, harga sewa private flat per-bulan all in di Budapest rata-rata 140.000HUF/bulan. Kalau sewa kamar rata-rata 80.000HUF/bulan.
  • Asuransi Kesehatan

Biaya pesawat, uang penelitian, uang konferensi, tunjangan keluarga tidak masuk dalam komponen beasiswa ini. Jadi perlu strategi lain buat mencukupi kebutuhan tersebut. Biaya hidup ini tergantung kota juga, kalau di Budapest relatif lebih mahal. Untuk level master dan bachelor, biaya living allowancenya hanya 47.000HUF/bulan. Apakah uang segitu cukup? Sangat cukup, tapi tergantung dengan gaya hidup masing-masing. Harga bahan baku makanan di sini Budapest cukup murah, kalau tiap hari masak, uang segitu sudah lebih dari cukup. Saya selama dua bulan awal tinggal di Budapest hanya mengeluarkan sekitar 4,6 juta, atau kalau dirata-rata 2,3jt/bulan. Tapi itu juga kan karena beli perlengkapan rumah tangga.

Persyaratan mendaftar dan proses seleksi

Nah kalau untuk urusan ini, beasiswa Stipendium Hungaricum lebih unggul. Proses pendaftaran dan seleksi beasiswa LPDP sangat kompetitif menurut saya. Jaman saya, proses diawali dari pengumpulan berkas dan membuat esai. Berkasnya cukup banyak dan verifikasinya cukup ketat. Seingat saya dulu selain syarat standar (seperti form pendaftaran, ijazah, TOEFL/IELTS, dan surat rekomendasi) ada juga syarat surat bebas narkoba dan TBC, SKCK (ini sepertinya sekarang sudah tidak ada), dan bikin esai yang cukup banyak. Setelah lolos seleksi administrasi, ada bikin esai on the spot, FGD, dan wawancara (yang terbaru katanya ada tes online juga sebelum wawancara). Selain menyiapkan berkas untuk daftar beasiswanya, kita juga harus mendaftar ke universitas secara terpisah, meskipun syarat untuk daftar beasiswa tidak harus dapat LoA. Nah masalahnya, kadang sudah diterima universitasnya, eh beasiswanya ga lolos. Atau sebaliknya, udah dapat beasiswanya, eh universitasnya ga lolos.

Sementara beasiswa Stipendium Hungaricum menurut saya syaratnya lebih sederhana. Saat saya mendaftar, beasiswa ini belum terlalu terkenal dan pendaftarnya belum terlalu banyak, jadi kompetisinya tidak terlalu ketat. Beberapa berkas boleh nyusul kalau sudah diterima saja, seperti TOEFL/IELTS dan surat keterangan sehat (ini bahkan sekarang tidak diwajibkan). Proses seleksi juga lebih enak, karena ketika apply untuk beasiswa, secara otomatis akan diikutkan seleksi masuk universitasnya. Prosesnya kurang lebih sama dengan LPDP, seleksi administrasi, rekomendasi dari dikti, lalu seleksi dari universitas. Seleksi dari universitas ini beda-beda, tergantung programnya. Kalau saya kemarin hanya wawancara saja, dan itu wawancara yang sangat positif dan apresiatif. Berbeda dengan wawancara LPDP yang investigatif.

Universitas tempat belajar

LPDP hanya memberi beasiswa untuk belajar di kampus dan program yang masuk dalam list LPDP, dan yang masuk list ini biasanya setidaknya universitas top 200 dunia. Kalau untuk beasiswa yang dalam negeri juga kampusnya harus akreditasi A dan programnya juga akreditasi A. Jadi jelas tempat studinya adalah kampus unggulan. Sementara Stipendium Hungaricum tempat studinya ya kampus di Hungaria. Kualitasnya bervariasi, ada yang bagus banget ada juga yang biasa saja. Secara rangking dunia mungkin tidak terlalu tinggi, sekitar 500an. Tapi beberapa program, seperti tempat saya kuliah, di Psikologi ELTE, rangkingnya cukup bagus yakni 200an dunia. FYI, tidak ada program Psikologi di Indonesia yang menembus 500 besar dunia versi THE.

Itu tadi sekilas review dua beasiswa yang sudah memberi kesempatan saya untuk sekolah lagi. Pada dasarnya, jika mempertimbangkan benefit yang diperoleh, jelas LPDP jauh lebih unggul dibanding Stipendium Hungaricum. Tapi jika mempertimbangkan peluang lolos, Stipendium Hungaricum lebih unggul. Tapi apapun beasiswanya, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita memanfaatkan kesempatan belajar ini untuk mengembangkan diri kita. Dan pada akhirnya, kontribusi apa yang bisa kita berikan kepada masyarakat lebih penting nilainya daripada apapun. Pengalaman saya mendaftar beasiswa dari pemerintah Hungaria, mulai dari mencari supervisor, seleksi universitas, sampai mengurus visa bisa disimak di sini (Part 1, Part 2, Part 3).

Kehidupan di Asrama (Dormitory) Kampus Luar Negeri

Kondisi kamar di dormitory

Semester pertama ini saya memutuskan untuk tinggal di asrama kampus. Tidak mudah sebetulnya bagi anak introvert seperti saya ini tinggal di dormitory (asrama) kampus. Ruang privasi saya menjadi semakin sempit dan harus banyak berinteraksi dengan orang lain dengan bahasa yang berbeda dari bahasa kita sehari-hari. Tapi setidaknya ini adalah pilihan paling realistis yang bisa saya ambil, setidaknya untuk semester pertama ini. Tulisan ini akan menceritakan kehidupan di dormitory serta kelebihan dan kekurangannya.

Sisi Positif Tinggal di Dormitory

Kemudahan administrasi

Alasan utama mengapa tinggal di dormitory itu lebih menguntungkan bagi mahasiswa semester pertama adalah untuk kemudahan administrasi. Jadi kondisinya seperti ini, saat apply visa, kita sudah harus tahu dimana kita akan tinggal di luar negeri dan melampirkan buktinya. Saat sudah tiba di Hungaria, kita juga harus mengurus residence permit (ijin tinggal) yang salah satu syaratnya adalah kontrak dengan penyedia tempat tinggal kita. Pilihan dormitory menjadi pilihan paling praktis karena dari kampus dan pengelola dormitory sudah menyiapkan semua itu. Mereka sudah terbiasa menangani urusan administrasi yang berhubungan mahasiswa luar negeri.

Lebih hemat

Alasan lainnya adalah karena tinggal di dormitory ini lebih hemat. Bagi penerima beasiswa Stipendium Hungaricum seperti saya, tinggal di dormitory kampus itu gratis, sementara kalau memustukan tinggal di luar dormitory kita hanya akan menerima bantuan 40.000 Forint/bulan. Padahal harga sewa kamar rata-rata 70.000 Forint/bulan, itu juga belum termasuk pengeluaran lainnya seperti gas, listrik, dll. Tentu memilih tinggal di dormitory adalah pilihan paling realistis karena tabungan sudah banyak terkuras untuk beli tiket pesawat, dll. Selain itu kit aga perlu memikirkan pengeluaran lain seperti listrik, penghangat ruangan, dll karena semuanya sudah ditanggung oleh pengelola dormitory. Berutungnya lagi saya tinggal sekamar bersama dua orang yang dari Indonesia juga, jadi bisa berbagi dalam belanja makanan .

Menambah jejaring dan wawasan internasional

Kelebihan lainnya dari tinggal di dormitory adalah kita bisa menambah jejaring pertemanan kita dari seluruh penjuru dunia. Orang yang tinggal di dormitory itu tidak hanya dari Sabang sampai Merauke, tapi dari Sabang sampai balik ke Sabang lagi setelah mengelilingi dunia. Ada dari Asia, Afrika, Eropa, Amerika, semua ada, jadi buanyaak banget. Kita bisa mengenal orang dari seluruh dunia beserta kebiasaannya. Tinggal di dormitory tentu bisa menambah wawasan kita serta memperluas perspektif kita tentang dunia. Sesuatu hal yang mungkin selama ini hanya kita bayangkan terjadi di belahan lain dunia, bisa kita konfirmasi langsung kepada aktornya. Misalnya nih, selama ini kita mendengar negara Timur Tengah banyak berkonflik, kita bisa tanya langsung apa yang terjadi sebenarnya dari perspektif mahasiswa Timur Tengah yang sedang tinggal di dormitory ini. Kita juga bisa mencicipi makanan khas negara lain karena biasanya mereka tetap memasak makanan khas negara masing-masing. Jika tertarik belajar bahasa asing, tinggal di dormitory juga nenawarkan kemududahan untuk melatih ketrampilan berbahasa asing yang kita minati.


Kondisi dapur di dormitory

Sisi Negatif Tinggal di Dormitory

Privasi berkurang

Namun di balik kelebihan tinggal di dormitory di atas, ada kekurangan tinggal di dormitory, terutama bagi mereka yang membutuhkan personal space lebih. Tinggal di dormitory artinya harus siap tinggal dengan rekan satu kamar yang kita tidak tahu kebiasaannya seperti apa. Misal nih, pas udah capek mau tidur, eh teman sekamar masih belajar, jadi lampunya harus dinyalakan. Atau pas udah konsentrasi mau belajar, eh teman sekamar ngajakin masak. Atau seperti saya, cuma butuh sendiri aja susahnya minta ampun. Paling bisa bener-bener sendiri kalau pas lagi pup, itupun kalau bilik sebelah kosong atau baunya pup nya bisa ditoleransi. Kalau pas apes, baunya menyengat, ya terpaksa harus mengakhiri kesendirian lebih dini. Apapun yang kita lakukan juga akan diketahui teman sekamar, jadi agak gimana gitu. Misal lagi kangen istri/pacar di Indonesia, trus mau telpon mesra-mesra gitu kan jadi agak gimana kalau ada temen sekamar yang ikut mendengarkan.

Harus rela antri dan berbagi

Tinggal di dormitory artinya juga harus rela berbagi dalam hal apapun. Misalnya mau masak, karena kompor hanya ada dua dan dipakai oleh lebih dari 20 orang, jadi ya kita harus sabar antri hanya buat masak. Atau udah kebelet mau pup, tapi karena toilet hanya ada 2, ya harus sedia banyak batu buat disakuin kalau pas ternyata toiletnya lagi kepakai. Jadi ya harus banyak-banyak stok sabar aja sih. Atau personal belonging kita juga kadang juga harus dibagi, misal sendok piring gelas, bahkan Indomie yang jadi barang langka paling diburu di sini.

Harus toleransi dengan kebiasaan aneh orang lain

Jelas, tinggal sekamar dengan orang asing itu tidak mudah. Ada yang terlalu bersih, ada yang terlalu jorok, ada yang terlalu rapi, ada yang terlalu berantakan, ada yang suka kesunyian, ada yang suka keributan, ada yang suka gelap, ada yang suka terang, ada yang ngoroknya keras, ada yang tidurnya kayak orang mati. Ada yang setel alarm keras sekali jam 4 pagi, padahal kita masih mau bobok. Ada yang masih ngobrol keras sekali di kamar sebelah jam 12 malam, padahal kita udah mau tidur atau lagi fokus belajar. Belum lagi kalau harus ketemu dengan kebiasaan orang dari negara lain. Misal nih ada orang dari negara tertentu (sebut saja India) yang kalau masak baunya seluruh lantai bisa mencium dan durasinya bisa mengalahkan durasi satu episode sinetron. Jadi kalau tahu ybs mau masak, mending jauh-jauh dulu deh, kunci kamar rapat-rapat. Kalau udah terlalu lapar, gunakan kreativitas agar bisa makan masakan yang bisa dimasak dengan microwave.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan itu semua, saya pikir seluruh mahasiswa internasional harus merasakan tinggal di dormitory, setidaknya statu semester saja. Sungguh, tinggal di dormitory kampus dengan segala atmosfer keragaman internasionalnya menjadi pengalaman yang sangat berharga. Tinggal di dormitory bisa mengasah hardskill dan softskill kita sebagai pelajar internasional. Setidak-enaknya tinggal di dormitory, setidaknya kan bisa jadi cerita yang enak buat diceritakan nanti. Ya, yang tidak enak dialami memang selalu enak buat diceritakan setelahnya.


Kondisi Islam di Eropa Pasca Pembunuhan di Gereja Prancis

Islamophobia di Eropa bukan baru muncul sekarang ini, tapi sudah puluhan tahun lalu. Ditilik dari sejarah, masuknya Islam ke Eropa juga bukan dilakukan dengan cara yang menyenangkan, yang tentu saja tidak semua orang bisa berdamai dengan masa lalu ini. Kejadian pembajakan pesawat pada September 2001 yang meruntuhkan Gedung WTC di Amerika Serikat seolah menjadi puncak stigmatisasi Islam sebagai teroris, terlepas dari segala dugaan konspirasi yang terjadi. Dan kejadian pembunuhan yang terjadi di Perancis minggu ini seakan memperparah keadaan dan memperkuat asumsi bahwa orang Islam adalah teroris.

Kejadiaan ini diawali oleh ditunjukkannya karikatur Nabi Muhammad oleh seorang guru yang mengajarkan pelajaran kebebasan berpendapat. Kejadian itu memacing kemarahan umat Islam di Prancis dan puncaknya guru tersebut dibunuh oleh oknum yang mengatasnamakan Islam. Menanggapi kejadian itu, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berkomentar bahwa dia tidak dapat menerima bahwa kejadian karikuatur Nabi Muhammad itu dijadikan pembenaran untuk melakukan pembunuhan. Dia juga mengatakan serangan itu adalah serangan teroris Islam. Komentar Macron justru memancing kemaran yang lebih besar dari umat Islam dunia. Beberapa negara menyerukan untuk memboikot produk dari Prancis dan serangan kembali terjadi di gereja yang menewaskan tiga orang.

Apa yang terjadi di Prancis adalah sebuah dilema. Sebagai umat Muslim, tentu ketika Nabi Muhammad dihina tentu sudah sewajarnya marah karena memang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun apa yang dikatakan Macron juga tidak salah karena dia membela ideologi negaranya. Prinsip negara Liberté – kebebasan, Fraternité – persaudaraan, Egalite – persamaan sedang dijunjung. Negaranya sudah menjamin kebebasan berpendapat bagi waganya dan ketika Yesus dihina dengan karikatur, dia juga tidak terlalu mempermasalahkan. Hanya saja melabeli kejadian ini dengan label teroris Islam tentu bukan pilihan yang bijak, ibaratnya dia sedang menyalakan api dalam tumpukan jerami. Semua teori Psikologi mengatakan betapa bahayanya labeling, baik bagi yang diberi label maupun orang lain. Dengan melabeli orang Islam sebagai teroris, orang yang tadinya memiliki sikap netral bisa ikutan memandang negatif Islam. Begitu juga bagi orang Islam, mereka akan malu untuk menunjukkan ke-Islamannya, dan ini justru mencederai kebebasan berekspresi yang dicita-citakan negara Prancis. Dan ini juga tidak jarang saya jumpai, teman-teman saya yang akhirnya melepas jilbab mereka saat kuliah di Eropa.

Sebagai Muslim yang saat ini sedang tinggal di Eropa, tentu ada sedikit kekhawatiran pada kami mahasiswa Indonesia bahwa kasus ini akan berdampak pada kelangsungan kehidupan kami. Beberapa teman bahkan tidak berani shalat Jumat karena takut ada serangan balasan di Hungaria, meskipun bagi saya ketakutan itu berlebihan. Tapi sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Hungaria tidak terlalu mempermasalahkan identitas agama kita, apakah Islam, Kristen, Yahudi, atau Ateis sekalipun. Hidup di Eropa relatif lebih fair dan menganggap agama adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan professional. Negara Eropa adalah negara sekuler, oleh karenanya makna toleransi umat beragama di Eropa ini tidak seperti di Indonesia. Toleransi di sini diartikan secara objektif, apapun agamamu, bagaimanapun cara beribadahmu, kami tidak peduli. Asalkan kamu berperilaku dan bekerja dengan standar kami, kamu akan diterima.

Sebelum berangkat ke Hungaria saya juga sudah tahu bahwa Hungaria adalah salah satu negara yang memiliki persepsi negatif pada Islam cukup besar di antara negara Eropa lainnya. Survey dari PEW Research Center tahun 2019 menunjukkan 58% warga Hungaria memiliki pandangan negatif terhadap Islam, dan hanya 11% warga memiliki pandangan positif terhadap Islam. Tapi angka ini jauh lebih baik dari survey tahun 2016 yang menyatakan 72% warga Hungaria memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Namun demikian kuota beasiswa sebagian besar juga diberikan kepada negara-negara dari Timur Tengah yang didominasi Islam. Sampai saat ini kami juga diperlakukan dengan baik. Beberapa teman memang ada yang bercerita masalah diskriminasi yang mereka alami di sini, tapi itu sama sekali tidak berkaitan dengan agama. Sejauh ini pemerintah dan orang-orang di Hungaria bersikap professional dan fair dalam menerima kami dan benar-benar memisahkan masalah agama dengan masalah pemerintahan. Jikapun ada isu agama yang berkaitan dengan Islam, mahasiswa Indonesia relatif aman. Meskipun Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, tapi ketika orang Eropa mengatakan negara Islam, mereka akan merujuk pada negara-negara Timur Tengah dan tidak memperhitungkan Indonesia.

Urusan teroris ini tentu amatlah kompleks, dengan segala bentuk konspirasi dan kepentingan politik di dalamnya. Tapi sebagai Muslim, terlalu naif jika terus-terusan playing victim dan mengatakan ini adalah fitnah karena kenyataannya memang sebagian dari umat Islam terlalu mudah tersulut emosinya. Banyak yang memilih menggunakan cara kekerasan jika sudah berkaitan dengan harga diri keagamaannya. Bahkan parahnya mengkafirkan orang Islam lainnya karena tidak mendukungnya. Memang benar, di Al-Quran ada ayat-ayat yang menizikan kekerasan, tapi perlu diingat bahwa Al-Quran diturunkan tidak dalam satu waktu. Ayat dalam Al-Quran turun berdasarkan kondisi yang terjadi saat itu. Membaca hanya satu ayat kemudian dijadikan suatu pembenaran melakukan kekerasan tentu tidak bijak karena konteksnya berbeda, padahal lebih banyak ayat lain yang lebih mengajak pada perdamaian.

Beberapa negara Eropa sudah dengan tegas menolak migrasi Islam masuk ke negara mereka karena khawatir Islam tidak mampu berintegrasi dan justru menimbulkan kantong-kantong separatis. Tidak menutup kemungkinan akan lebih banyak negara yang menutup pintu untuk Islam. Memang menjadi sebuah pertanyaan, apakah mungkin prinsip kebebasan yang dianut oleh Eropa bisa berdampingan dengan prinsip kesakralan Islam. Negara-negara Eropa adalah negara sekuler yang menganggap agama bukanlah apa-apa dan itu adalah urusan pribadi. Masalahnya, sebagian besar orang Islam menganggap agama adalah segalanya. Inilah yang diragukan oleh sebagian pihak apakah Islam dapat berintegrasi di Eropa jika pola pikirnya masih tidak berubah.

Pada tatanan politik global, ini terlalu kompleks untuk dipikirkan. Di Indonesia kita punya pepatah, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, jadi sudah sepatutnya pula kita terapkan ketika berada di Eropa. Pada akhirnya, tugas sebagai individu Muslim adalah menjadi duta Islam yang baik. Seperti kata Khabib Nurmagomedov, Orang Non-Muslim tidak membaca Al-Qur’an dan Hadist. Yang mereka baca adalah dirimu, maka jadilah cerminan Islam yang baik. Sebagai pendatang, sebagai minoritas, tentu tidak bijak jika kita meminta orang Eropa mengikuti kepercayaan dan gaya hidup kita. Jadi daripada meminta pihak kampus menyediakan tempat untuk sholat, lebih baik membawa sajadah kemanapun dan sholatlah dimanapun asalkan nyaman dan tidak mengganggu orang lain.