Pengalaman Seleksi menjadi Dosen UMM



(Cerita sebelumnya..)
Di waktu tunggu tersebut, saya mendapat tawaran dari dekan Fakultas Psikologi UMM untuk menjadi dosen di sana. Beliau mendapat kontak saya atas rekomendasi dari dosen saya. Saya ditawari menjadi dosen Luar Biasa (LB), namun dalam waktu dekat akan diikutkan seleksi menjadi Dosen dengan Perjanjian Khusus (DPK), semacam dosen tetap Non-PNS gitu lah kalau di kampus negeri. FYI, dosen LB itu adalah dosen eksternal yang bayarannya hanya dihitung per-SKS ngajar. Kewajibannya hanya mengajar saja. Dia ga punya hak lain, seperti dana penelitian, dana pengembangan diri, dan tidak bisa mengajukan jabatan fungsional. Akhirnya saya memilih kampus yang memberikan kepastian lebih awal meskipun dengan status dosen LB.

Saya berangkat ke Malang agak nekat, membawa istri yang sedang hamil 8 bulan, tempat tinggal yang belum punya, dan status pekerjaan yang masih belum jelas. Seminggu di Malang, saya kemudian mendapat panggilan untuk ikut seleksi menjadi dosen DPK. Setahu saya, tidak ada open-recruitment dosen di UMM saat itu, tapi website kepegawaian selalu terbuka menerima aplikasi calon dosen. Modelnya sama seperti di UMS, calon dosen bisa apply kapan saja, dan nanti ketika ada formasi baru akan dipanggil. Aplikan yang dipertimbangkan akan diseleksi oleh Fakultas terlebih dahulu, dan orang-orang yang direkomendasikan fakultas akan diikutkan seleksi menjadi dosen DPK tersebut. Prosesnya tidak jauh berbeda dengan di UMS. Hari pertama adalah TPA, Psikotes, dan Bahasa Inggris. TPA dan Psikotes aman karena biasanya saya yang buat soalnya atau yang ngetes. Untuk tes bahasa Inggris di UMM menggunakan tes TAEP, tes semacam TOEFL yang dibuat oleh UMM sendiri. Cukup sulit di bagian listening karena mereka tidak hanya menggunakan penutur dari Inggris atau Amerika, tapi juga dari India, China, Arab, dll yang logatnya cukup aneh. Tapi alhamdulillah tetap lolos.

Hari kedua adalah microteaching, wawancara dengan pimpinan Fakultas, dan tes AIK. Microteaching adalah simulasi mengajar yang dilaksanakan secara berkelompok. Saat satu peserta menjadi dosen, peserta yang lain berpura-pura menjadi mahasiswa. Materi dan tema microteaching tidak ditentukan. Wawancara dengan Pimpinan Fakultas terkesan formalitas saja karena sebelumnya kami juga sudah diwawacarai oleh pimpinan Fakultas. Sesi wawancara justru banyak dijadikan sesi penguatan keyakinan kami untuk menjadi dosen. Satu pesan Pak Dekan saat itu yang terus saya ingat adalah, "hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah". Makna kalimat itu baru bisa sedikit saya pahami setelah satu tahun menjadi dosen di UMM dan akan saya bagi nanti di artikel yang lain. Selanjutnya adalah tes AIK yang cukup berat. Kita ditanya-tanya soal ke-Islaman dan Ke-Muhammadiyahan. Lagi-lagi, karena saya tidak ada background Muhammadiyah sama sekali, ya tidak bisa jawab. Tapi saya jujur bahwa saya belum terlalu mengenal Muhammadiyah. Selain ditanya-tanya, kita juga diminta praktek sholat dan membaca Al-Quran.

Proses seleksi selesai, saya tidak terlalu memikirkan hasilnya karena sudah disibukkan dengan banyak hal: pindahan rumah, mengajar di kelas, dan mempersiapkan kelahiran buah hati pertama kami. Saya dan istri memulai semuanya dari nol di kota Malang ini, tidak ada saudara, tidak ada kenalan, dan tidak tahu apa-apa soal Kota Malang. Untungnya kami senantiasa dikelilingi orang baik setiba kami di Malang. Dan tiba-tiba ada email masuk yang mengabarkan bahwa saya lolos seleksi menjadi dosen DPK di UMM. Dan sejak saat itu, petualangan saya di UMM dan di Kota Malang resmi dimulai dan masih berlangsung hingga saat ini. 

Dan betul apa yang dikatakan senior-senior saya dulu, ketika kamu menjadi dosen, zero-expectation dengan gaji pertamamu dan bersiaplah dengan banyaknya “kejutan” ketika kamu menjadi dosen muda. Dan jika kamu ingin menjadi dosen, pastikan mengajar dan meneliti adalah passionmu, asah satu kompetensi yang “unik” dalam dirimu, mulailah menulis artikel ilmiah dan ikut konferensi ilmiah, dan banyaklah bergaul dengan orang-orang di lingkaran akademisi. Dan jika hal itu tidak kamu miliki, jangan lupa plan B. Masih banyak pekerjaan lain yang memberimu kesempatan untuk bisa mengembangkan diri. Sekarang ini sudah mulai terjadi inflasi gelar akademis, lulusan master itu bukanlah hal yang langka lagi. Jadi kalau berpikir sudah lulus S2 dan saingannya akan sedikit, kamu salah. Dan terakhir, yang paling penting, jangan lupa berdoa.


Mahasiswa PhD di ELTE, Hungaria. Dosen Psikologi di UMM, Indonesia.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Comments


EmoticonEmoticon