Tampilkan postingan dengan label refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label refleksi. Tampilkan semua postingan

Biaya Hidup di Hungaria (Update Bulan Juli 2022)

Selain komponen pendanaan, biasanya informasi yang paling ditanyakan calon pendaftar beasiswa Hungaria adalah berapa biaya hidup rata-rata per bulan di Hungaria? Apakah uang beasiswa yang diterima cukup untuk biaya hidup di sana? Apakah memungkinkan untuk kerja part time sambil kuliah? Tulisan ini mencoba memberikan gambaran atas pertanyaan tersebut.

Biaya hidup di Hungaria sebenarnya relatif lebih murah dibanding biaya hidup di negara lain di Eropa. Biaya hidup ini juga tergantung dari kota dimana kita tinggal. Ada beberapa kota besar yang sering dijadikan tujuan studi mahasiswa, misalnya Budapest, Pesc, Szeged, Debrecen, Miskolc, Gyor, dan Sopron. Tiap kota tentu berbeda-beda, dan yang paling mahal tentu saja di Budapest. Nah berhubung saya tinggalnya di Budapest, jadi tulisan ini akan menjelaskan biaya hidup standar di Kota Budapest. Untuk kota lain tentu lebih murah, terutama untuk hal akomodasi. Di tulisan ini saya akan menggunakan mata uang Forint karena nilai tukar Forint (HUF) ke Rupiah (IDR) sudah jauh berbeda, Tahun 2020 ketika saya datang ke sini, 1 Forint setara 50 Rupiah, sedangkan sekarang 1 Forint setara 37 Rupiah. Jadi kalau ibaratnya dulu uang beasiswa PhD kalau dikonversi ke Rupiah dapat 9 juta, sekarang hanya 6,8 juta.

Makanan

Untuk makanan, saya coba list harga rata-rata makanan yang sering saya beli

Beras: 500 HUF/kgAyam paha: 1300 HUF/kgMinyak goreng: 650 HUF/liter
Pasta: 800 HUF/kgDaging sapi: 4500 HUF/kgMie instan: 200 HUF/biji
Susu: 250 HUF/literKentang: 500 HUF/kgIndomie goreng: 200 HUF/biji
Roti tawar: 500 HUFBawang Bombay: 400 HUF/kgSamyang: 450 HUF/biji
Telur: 650 HUF/10 bijiBawang putih: 1800 HUF/kgPotato chip: 3000 HUF/kg
Nugget: 1000 HUF/500 grApel: 600 HUF/kg Gula: 250 HUF/kg
Ayam dada: 1500 HUF/kgJeruk: Rp. 800 HUF/kg Garam: 250 HUF/kg
Ayam sayap: Rp. 1200 HUF/kgSayur beku: Rp. 1000 HUF/kg Kopi hitam:1000 HUF/250 gr
Harga makanan di Budapest

Untuk makanan mentah sendiri harganya tidak terlalu berbeda jauh dengan di Indonesia sebenarnya. Hanya saja, kalau makanan beli di luar harganya jauh lebih mahal. Sebagai gambaran, untuk makan di kafe atau kinai (masakan china) rata-rata habis sekitar 2000 HUF (75 ribu IDR). Untuk ngopi di kafe sekitar 600 HUF (23 ribu IDR), tapi kalau ngopi di vending machine rata-rata sekitar 300 HUF (12 Ribu IDR). Untuk harga makanan pokok di kota lain saya rasa tidak jauh berbeda dengan di Budapest, hanya kalau untuk makan di kafe mungkin sedikit murah.

Akomodasi

Ini yang paling membedakan Budapest dengan kota besar lainnya. Akomodasi di Budapest jauh lebih mahal. Kalau tinggal di dormitory, bagi penerima beasiswa sih gratis. Tapi sayangnya dengan kondisi sekarang, dormitory selalu penuh dan tidak semua mahasiswa kebagian tempat. Kalau mau tinggal di luar dormitory, ada beberapa opsi. Kalau mau sewa flat private (misal karena ingin bawa keluarga), sewa per bulan rata-rata 140.000 HUF/bulan (5,3 Juta IDR), itu belum termasuk bill listrik dan gas. Kalau ditotal ya rata-rata 170.000 HUF/bulan (6,5 Juta IDR) lah untuk sewa flat yang bisa ditinggali keluarga kecil (anak satu). Ini yang bikin shock, di Malang harga segitu sudah sewa rumah setahun tuh. Kalau mau sewa kamar saja (sharing flat), pengeluaran total sekitar 90.000 HUF/bulan (3,4 Juta IDR).

Sebagai informasi, sebagai penerima beasiswa, kalau kita memutuskan tinggal di luar dormitory, Stipendium Hungaricum memberikan subsidi akomodasi sebesar 40.000 HUF/bulan (1,5 Juta IDR). Jadi bisa dihitung sendiri, berapa uang yang harus ditambahkan agar cukup untuk tinggal di luar dormitory. Ini lah yang sering menjadi penghalang mahasiswa untuk membawa keluarganya ikut mendampingi kuliah di Hungaria. Kalau harus tinggal di luar dormitory, harganya mahal sekali dan uang beasiswa saja tidak akan cukup.

Transportasi

Untuk pelajar, kita bisa beli tiket transportasi bulanan seharga 3500 HUF/bulan (134 Ribu IDR). Tiket ini bisa digunakan untuk moda transportasi apapun, baik dengan metro, bus, tram, trolley bus, atau kereta selama masih di wilayah Budapest. Kalau bukan student, harganya tiket bulanannya jauh lebih mahal, yaitu 9500 HUF/bulan (364 Ribu IDR).

Pulsa

Untuk pulsa saya sih jarang beli paket yang banyak, karena sudah ada wifi di flat. Saya biasanya membeli paket yang 1 GB seharga 1000 HUF/bulan (38 Ribu IDR), atau kalau dirasa akan banyak keluar-keluar, saya paketkan yang 3GB seharga 2250 HUF/bulan (86 Ribu IDR). Tapi tenang, di luar di tempat umum juga banyak wifi gratis kok. Masih sangat terjangkau lah

Nah itu tadi hitungan kasar pengeluaran per bulan untuk tinggal di Budapest. Berdasarkan pengalaman saya satu tahun terakhir, pengeluaran total saya jika tinggal di flat bersama istri dan satu anak balita rata-rata 315.000 HUF/bulan (12 Juta IDR), dengan error estimasi sekitar + 30.000 HUF (1.2 Juta IDR).

Apakah uang beasiswa dari Stipendium Hungaricum cukup?

Bagi saya pribadi tidak cukup. Uang beasiswa yang saya terima sebulan secara total adalah 180.000 HUF, sementara pengeluaran total per bulan sekitar 315.000 HUF. Jadi ada selisih kekurangan 135.000 HUF (5,2 Juta IDR) yang harus dipenuhi. Bagaimana saya memenuhinya? Saat ini saya masih terima gaji pokok dari UMM karena status saya tugas belajar. Saya juga masih mengerjakan beberapa project jarak jauh dari Indonesia. Jadi pemasukan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok kami di sini.

Untuk kasus mahasiswa PhD yang tinggal sendiri, saya rasa uang beasiswa ini cukup, apalagi jika tinggal di dormitory kampus. Tapi ini tergantung dengan gaya hidupnya. Bagi yang master pun kalau tinggal di dormitory masih cukup, dengan catatan hidup sangat pas-pasan (bisa dibilang tidak layak). Tapi jika tinggal di luar dormitory, apalagi di kota Budapest, bisa dipastikan uang beasiswa hanya cukup untuk sewa tempat tinggal saja. Masalahnya, kapasitas dormitory biasanya terbatas, dan kampus akan memprioritaskan mahasiswa baru yang boleh tinggal di dormitory. Jadi kalau pahit-pahitnya kita ga dapat kuota dormitory dan harus cabut, ya harus pikir otak supaya biaya akomodasinya cukup.

Nah bagi mahasiswa yang mau membawa keluarga bagaimana? Sayangnya keluarga tidak ditanggung oleh Stipendium Hungaricum, jadi harus pandai-pandai mengatur uang. Bagi mahasiswa master, dengan berat hati saya mengatakan mustahil untuk bisa membawa keluarga. Kecuali kalian punya pekerjaan sampingan yang gajinya di atas 10 juta Rupiah. Bagi mahasiswa PhD sebenarnya masih mungkin, tapi dengan syarat, kalian punya pemasukan lain selain dari uang beasiswa kalau mau aman. Kalau hanya mengandalkan uang beasiswa rasanya tidak akan cukup. Uang beasiswa total yang diterima (plus subsidi akomodasi) itu sekitar 180.00 HUF/bulan (6,8 Juta IDR), sementara pengeluaran total kalau mau realistis ya sekitar 315.000 HUF/bulan (12 Juta IDR) untuk konsumsi, akomodasi, transportasi, pulsa, asuransi, dll. Makanya mahasiswa PhD yang mengajak keluarga, biasanya punya pekerjaan di Indonesia (kebanyakan dosen), dan mereka masih menerima gaji karena statusnya tugas belajar. Dengan begitu mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup tinggal di Hungaria Bersama keluarga. Tapi untuk tahun ke 3 dan 4 (kalau lulus complex exam), uang beasiswa untuk PhD naik kok, totalnya jadi 220.000 HUF juta/bulan (8,4 Juta IDR). Alternatifnya, ya kerja part-time. Di Budapest, cukup banyak tawaran kerja part-time. Hanya saja di kota-kota lain, kesempatan part-time tidak sebanyak di Budapest.

Jadi kalau dibilang beasiswa ini minimalis, ya ada benarnya, apalagi dengan kondisi ekonomi saat ini. Hungaria ini merupakan salah satu negara yang sangat terdampak ekonominya akibat perang Ukraina-Rusia. Tapi bagi saya beasiswa ini cukup lah, toh tujuan saya ke sini bukan mencari uang, tapi mencari ilmu dan gelar PhD. Bagi teman-teman yang mau menambah pengalaman dan pemasukan juga bisa kerja part time di sini. Bayarannya juga lumayan, bisa lah dapat 100.000 HUF (3,7 Juta IDR) per bulan. Tapi ya harus pinter bagi waktu dan tenaga karena kuliah saja sudah capek. Masalahnya orang Hungaria tidak semua bisa berbahasa Inggris, jadi akan jadi tantangan juga sih kerja part time di sini kalau masih belum bisa bahasa Hungaria dasar.  

Simak juga penjelasannya di Youtube saya di https://www.youtube.com/watch?v=Lwp3g2PLpC8





Toleransi dalam ber-Psikometrika

Source: https://doi.org/10.7275/v2gd-4441

Kalau ada yang bilang bahwa orang yang beragama itu cenderung tidak toleran, sedangkan saintis lebih toleran, sebenarnya tidak juga. Prinsip dasar dalam sains memang tidak ada satu kebenaran yang mutlak, keberanan ini relatif seiring berkembangnya ilmu dan ditemukannya bukti yang baru. Ini mungkin yang membedakan sains dengan agama. Tapi kalau sudah menyangkut individunya, nyatanya banyak juga kok ilmuwan yang suka “mengkafir-kafirkan” keilmuan lain yang bertentangan dengannya.

Di dunia pengukuran hal-hal abstrak (sebut saja Psikometrika) yang banyak digunakan di Psikologi dan Pendidikan, ternyata juga memiliki beragam agama. Ada agama teori tes klasik (CTT) dan agama teori tes modern. Teori tes modern sendiri, meskipun memiliki Tuhan yang sama, ternyata juga terpecah dalam dua agama yang berbeda, Item Response Theory (IRT) dan Rasch model. Ketiga agama ini memiliki keyakinan akan keberannya masing-masing, dan tidak jarang pengukutnya sering memposting di medsos menjelek-jelekkan agama yang lain. Untungnya UU ITE tidak mengcover hal ini. Sama seperti agama sesungguhnya, ketiga agama ini juga pasti memiliki kesamaan yakni mereka bertujuan untuk mengukur hal-hal yang tak kasat mata, seperti kecerdasan, kepribadian, dll. Mereka hanya memiliki cara dan keyakinan yang berbeda dalam beribadah.

Agama CTT mungkin adalah agama yang paling sederhana dalam cara beribadahnya. Mereka membuat segala perhitungan untuk mengukur hal-hal yang abtrak tadi sesederhana mungkin, sehingga mudah diterima oleh orang awam. Perhitungannya sesederhana gini, kalau kamu dites dengan 10 soal, dan kamu menjawab betul 7 soal, maka skormu ya 7, atau level penguasaanmu 70%, ga peduli soal yang kamu kerjakan itu mudah atau sulit. Jadi kalau Ali dan Badu dites kemampuan matematikanya dengan 10 soal yang berbeda, selama 10 soal itu mengukur hal yang sama (kemampuan matematika) dan selama jawaban betulnya sama-sama 7, ya level kemampuan matematika mereka dianggap sama. Kalau mau menghitung tingkat kesulitan soal juga mudah saja, tinggal dilihat aja proporsi penjawab betul soal tersebut. Jadi kalau ada soal dijawab oleh 10 orang, dan hanya 2 orang yang menjawab betul, ya artinya tingkat kesulitan soalnya 0,2. Eh, 0,2 ini artinya soal ini sulit lho ya. Jadi bingung deh, ini tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan sih. Tapi ya gitulah.

Pengikut agama teori tes modern ga terima dengan hal itu. Kalau Ali dan Badu ini mendapat soal yang tingkat kesulitannya berbeda, ya ga adil dong mengatakan kemampuan mereka sama. Misal, Badu dapet 10 soal yang sulit dan Ali dapet 10 soal yang mudah, trus keduanya sama-sama betul 7, masak kemampuan Badu disamakan dengan kemampuan Ali. Ga adil lah. Ada tiga keyakinan utama dalam agama Rasch yang membedakannya dengan CTT. Pertama, mereka mengasumsikan konstruk yang diukur ini berdistribusi normal (bukan data yang dianalisis lho ya). Kedua, pengukuran harus “test-free” dan “sample-free”. Artinya gini, tes ini sulit atau mudah, bukan ditentukan oleh siapa yang mengerjakan; begitu juga sebaliknya, orang ini mampu atau tidak, bukan ditentukan oleh seberapa sulit tes yang disajikan. Kan ada tuh, tes yang sama, tapi kalau disajikan ke orang-orang pintar jadi terlihat mudah (proporsi betulnya tinggi), sementara kalau disajikan ke orang-orang bodoh jadi terlihat sulit (proporsi betulnya rendah). Lha kan bingung, ini sebenarnya teh soal mudah atau sulit sih. Atau kayak kasus Ali dan Badu tadi, kan level kemampuan mereka ditentukan dari kesulitan soal yang disajikan yak. Nah, Rasch pakai transformasi logit buat mengatasi masalah ini, jadi datanya memiliki interval yang sama antara tingkat kesulitan butir dan kemampuan individu. Ketiga, Rasch percaya kalau pengukuran objektif bisa dilakukan jika tes unidimensi dan fit dengan model Rasch. Jadi kalau dari perspektif Rasch, tes yang baik itu ya tes yang fit dengan model ideal. Makanya di Rasch proses uji kecocokan model menjadi prosedur yang sangat penting dilakukan. Sebagai informasi, Rasch ini hanya menggunakan satu parameter, yakni tingkat kesulitan butir (parameter b). Sering juga disebut IRT 1PL, meskipun pengikut Rasch ga mau disamakan dengan mereka. Mereka menghendaki daya diskriminasi item (parameter a) diset menjadi 1, dan tebakan semu (parameter c) diset menjadi 0. Kalau ada soal yang punya parameter a dan c jauh dari 1 dan 0, ya artinya dia ga sesuai model Rasch, buang aja, bikin ngga objektif aja.        

Sebagian orang yang termakan iklan Rasch banyak yang akhirnya kecewa setelah tahu hasil pengukuran Rasch ternyata ga jauh beda dengan CTT. Mereka mengkorelasikan hasil pengukuran CTT dan Rasch dan menjumpai korelasinya suuaangat tinggi, di atas 0,9. Artinya, ya sami mawooon. Ngapain aku capek-capek murtad dari CTT dan mempelajari agama Rasch, kalau akhirnya sama aja. Nah pengikut agama IRT mulai masuk di sini. Meskipun secara prinsip mereka memiliki banyak kesamaan dengan Rasch, mereka mulai menawarkan ajaran-ajaran mereka yang berbeda dari Rasch dan CTT. Mereka memperkenalkan parameter baru, yakni paremeter a, c, dan bahkan d. Semakin banyak parameter yang dipakai, maka korelasi dengan skor hasil CTT biasanya semakin rendah, bisa di bawah 0,8. Dan mereka akan bilang, “nah kan, beda jauh kan dengan CTT. Ini nih yang benar”. Mereka ga setuju dengan Rasch yang mengatakan item harus memiliki parameter a = 1, dan parameter c = 0. Item harus diberi kebebasan, kita sebagai peneliti hanya memfasilitasi item-item saja. Jadi kalau di Rasch, kalau item ga cocok dengan model, ya jangan dipakai item itu. Kalau di IRT enggak, kalau item ga cocok dengan model, coba cari model lain yang bisa menjelaskan item itu, mau model 2PL, 3PL, atau bahkan 4PL. Makanya banyak yang bilang, Rasch itu model preskriptif, sedangkan IRT model deskriptif.

Nah itulah awal mula perpecahan agama Rasch dan IRT. Mereka memiliki Tuhan yang sama dan satu musuh yang sama (CTT), tapi mereka ternyata ga bisa rukun juga. Rasch berpendapat, kalau daya diskriminasi item diijinkan bervariasi, jadinya pengukuran jadi tidak objektif lagi. Sebaliknya, pengikut IRT berargumen kalau memaksa item memiliki daya diskriminasi yang sama itu mustahil dan tidak patut dilakukan. Mereka lebih setuju untuk membuat model prediktif yang mampu mengakomodasi perbedaan daya diskriminasi item dan mempertimbangkannya dalam mengukur kemampuan individu. Di level komunitas ilmuwan, mereka juga memiliki basis nya masing-masing. Saya pernah mengikuti konferensinya para pengikut Rasch, Pacific Rim Objective Measurement Symposium (PROMS), dan benar, ujaran-ujaran kebencian terhadap CTT dan IRT tak jarang saya dengar di acara itu. Mereka juga mendiskriminasi presenter yang melakukan analisisnya pakai IRT dengan membuat sesi sendiri di hari yang lain (tapi mereka masih baik hati sih mau menerima IRT). Dan ketika saya pindah ke Eropa, mayoritas orang sini lebih familiar dengan IRT, termasuk supervisor saya. Sering juga menjumpai reviewer jurnal atau penguji skripsi/tesis/disertasi yang memaksakan keyakinan mereka atas artikel yang sedang mereka nilai. Inilah kenapa saya pikir di Psikologi, bidang kajian metodologi itu yang paling menantang, karena banyak keyakinan-keyakinan pribadi dari individu (soal metode mana yang paling benar) yang turut berperan di situ.

Saya sih mengidentifikasi diri saya sebagai ateis atau bahkan politeis dalam aliran agama pengukuran ini. Saya hanya pemakai, dan mendukung ketiga agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu. Kalau ngajar mahasiswa S1 atau untuk riset yang tidak berkaitan dengan metodologi, ya saya jadi pengikutnya CTT. Kalau untuk riset metodologi ya saya cenderung pakai Rasch, lebih karena alasan praktis aja sih. Tapi kalau di suruh pakai IRT juga oke. Selow aja sih. Tapi yang perlu disadari, intoleransi dalam ber-Psikometri itu nyata, ga hanya dalam beragama saja. Ilmuwan juga bisa bersikap fanatik terhadap kebenaran yang mereka yakini. Kalau di Psikometri solusinya sih ya dipelajari tuh aliran lainnya. Dengan dipelajari kita jadi tahu tuh mengapa pengikut aliran tersebut menganggap itu yang paling benar, jadi ga perlu lah kita “mengkafir-kafirkan” pengikut aliran lain. Kalau intoleransi di agama betulan, solusinya? Yo Ndak Tahu, Kok Tanya Saya.

Note: Kalau mau belajar perbedaan CTT, IRT, dan Rasch yang serius tapi “relatif” ringan, artikel ini sangat recommended: https://doi.org/10.7275/v2gd-4441

Tentang Riset PhD Saya: Pengembangan Computerized Adaptive Testing untuk Kemampuan Kognitif

Sekilas tentang Computerized Adaptive Testing

Karena banyak yang bertanya tentang riset saya, di tulisan ini saya akan bercerita sedikit tentang riset yang sedang saya kerjakan untuk studi doktoral saya. Siapa tahu bisa menambah wawasan atau membuka peluang kerja sama dengan teman-teman semua.

Secara sederhana, riset saya berfokus untuk mengembangkan tes kognitif dengan mode Computerized Adaptive Testing (CAT). Spesifiknya, saya ingin membuat tes non-verbal untuk mengukur fluid reasoning (penalaran fluid). Kalau teman-teman sudah familiar dengan tes Raven’s Standard Progressive Matrices (SPM) atau Culture Fair Intelligence Test (CFIT), tes inteligensi yang bisa disajikan secara klasikal dan dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan kognitif individu secara umum, nah project riset saya kurang lebih akan membuat tes serupa, tapi dengan mode CAT.

Kenapa hanya mengukur fluid reasoning? Mengapa tidak membuat tes komprehensif yang bisa mengukur banyak kemampuan?

Pinginnya juga mau buat tes yang bisa melihat banyak kemampuan, tapi bikin tes semacam itu butuh waktu, biaya, dan tenaga yang buuaanyak. Sebagai gambaran, AJT CogTest, tes kemampuan kognitif yang mengukur 8 broad abilities yang dikembangkan oleh UGM bersama YDB, butuh waktu 5 tahun untuk membuatnya. Itupun dikerjakan banyak orang dengan dana ratusan juta. Lha aku lho, cuma mahasiswa PhD yang ga punya duit dengan tim terbatas. Nah berhubung dari berbagai riset diketahui kalau fluid reasoning itu ibaratnya inti dari kemampuan kognitif, makanya kalau dibutuhkan satu tes untuk menggambarkan kemampuan kognitif seseorang, maka tes fluid reasoning adalah yang paling tepat.

Kan udah punya CFIT dan SPM? Kenapa bikin yang baru lagi?

Pertama, emang kita punya izin buat pakai CFIT dan SPM? Emang selama ini kita makainya legal?

Kedua, seandainya iya, emangnya CFIT dan SPM masih valid? Maksud saya, coba deh cari di Google dengan keyword “soal CFIT” atau “soal SPM”, kalau kalian teliti, pasti ketemu deh tuh soalnya. Nah kalau tes ini dipakai buat seleksi pegawai misalnya, yakin hasil tes tersebut benar-benar menggambarkan kemampuan kognitif kandidat?

Ketiga, kedua tes tersebut hanya mengukur satu narrow abilities dari fluid reasoning, yakni induction (penalaran induktif). Padahal ada tiga narrow abilities dari fluid reasoning, yakni induction, general sequential reasoning (penalaran deduktif), dan quantitative reasoning (penalaran kuantitatif). Jadi ya tetap butuh tes baru yang bisa mengukur fluid reasoning secara komprehensif.

Keempat, belum ada tes CAT yang bisa diakses oleh publik. Selama ini yang pakai CAT hanya perusahaan yang punya duit banyak aja, dan tentu saja aksesnya terbatas. Masalahnya, karena tes buat peneliti ini terbatas, makanya penelitian tentang kemampuan kognitif / inteligensi di Indonesia ini juga ga berkembang. Coba deh cek ada berapa artikel yang meneliti kemampuan kognitif / inteligensi dari Indonesia, dikit banget. Oiya, btw CAT di sini beda dengan CAT yang dipakai di CPNS lho ya.

Lho, bedanya CAT ini dengan yang dipakai CPNS apa?

Kalau yang dipakai CPNS itu Computer Assisted Tes, kalau ini Computer Adaptive Test. Yang buat CPNS itu sebenarnya sama aja dengan tes konvensional yang pakai kertas dan pensil, tapi skoringnya bisa langsung dikerjakan computer, jadi lebih efisien. Kalau CAT yang saya buat ini adalah “adaptive test”, jadi ga cuma tes biasa yang dipindah ke computer, tapi juga penyajian soalnya pun beda. Pemilihan soal itu sifatnya adaptif terhadap kemampuan peserta. CAT ini mengaplikasikan teori modern dalam Psikometri, yakni Item Response Theory (IRT), jadi sebelum tes sesungguhnya, item perlu diujicobakan dan dikalibrasi, sehingga tiap item udah punya parameter tingkat kesulitannya. Peserta hanya disajikan soal yang sesuai dengan kemampuannya. Jadi misalnya di soal pertama dia menjawab betul, maka soal berikutnya dikasih soal yang lebih susah. Sebaliknya, kalau menjawab salah, soal berikutnya dikasih yang lebih mudah. Dengan pemilihan soal yang demikian sih katanya bisa meningkatkan motivasi dan menurunkan kecemasan peserta tes (katanya, nanti aku konfirmasi lagi dari hasil risetku). Orang yang jenius, ga bosen mengerjakan soal yang terlalu gampang buat mereka, sebaliknya, orang yang kurang pintar, ga perlu cemas mengerjakan soal yang terlalu sulit buat mereka.

Nah karena di CAT, computer akan memilih item yang sesuai dengan kemampuan peserta, makanya kita butuh item bank yang jumlah itemnya banyak. Dalam riset saya, saya sudah buat 450 item yang siap untuk diujicobakan (mungkin bisa bertambah, tergantung hasil ujicoba nanti). Bikinnya memang susah minta ampun, butuh item yang banyak dan uji coba ke sampel yang banyak pula. Tapi kalau udah jadi, kelebihannya juga banyak. Misal, kalau dengan SPM kita butuh mengerjakan 60 item buat mengetahui kemampuan kita, dengan CAT mungkin dengan item 20 saja sudah mendapatkan hasil dengan presisi yang serupa, karena computer akan memilih item yang relevan saja. Selain itu, kalau dengan tes konvensional pemilik tes perlu waspada terhadap praktek kecurangan (misal mencontek, soal bocor, dll), dengan CAT resiko itu bisa diminimalisir. Pertama, tiap peserta akan mendapat soal yang berbeda, tergantung jawaban dan kemampuan mereka, jadi ga mungkin bisa mencontek. Kedua, kalaupun tes bocor, susah juga buat peserta mengingat-ingat tes yang jumlah itemnya buaanyaak banget, sampai ratusan, dan mereka juga ga tahu item mana yang akan mereka hadapi. Jadi lebih aman lah. Selain itu, tes semacam ini juga sangat cocok kalau dipakai untuk design pengetesan berulang, misal untuk mengukur perkembangan kemampuan penalaran anak. Selama ini masalah peneliti kalau pakai design pengetesan berulang adalah adanya efek belajar. Peserta udah tahu tesnya saat tes pertama, jadi pas tes selanjutnya mereka masih ingat. Kalau pakai CAT antara tes pertama, kedua, dst bisa diatur soalnya beda, tapi tetap mengukur hal yang sama. Jadi intinya, bikin CAT ini memang menderita di awal. Tapi kalau udah jadi, manfaatnya juga lebih banyak.  

Bentar, kalau sebegitu penting dan bermanfaatnya tes ini, emangnya belum ada yang kepikiran membuatnya?

Udah, banyak. Di luar negeri udah buuaanyak banget tes serupa. Di Indonesia juga udah banyak, setahu saya PLN dan TNI udah pakai CAT. Tapi masalahnya buat peneliti Indonesia, aksesnya susah sekali, apalagi kalau ga punya duit. Ini juga sih yang bikin saya galau, belum ada dana penelitian, ini bikinnya susah, memakan waktu, tenaga, dan duit yang banyak, tapi susah dipublikasikan di jurnal internasional karena hanya menawarkan sedikit kebaruan. Penelitian ini juga ga bisa dipecah-pecah jadi beberapa artikel, dan estimasi saya sih butuh waktu 3-4 tahun buat menyelesaikannya. Sialnya di kampus saya, sebagai syarat daftar ujian akhir, butuh minimal 3 publikasi sebagai penulis pertama yang topiknya nyambung dengan topik disertasi dan dipublikasikan di jurnal berimpact factor. Apesnya, nyambung dengan topik disertasi ini susah sekali, lha ambil data tes kognitif ini tidak semudah ambil data pakai kuesioner je. Peneliti Indonesia ga banyak yang mau susah-susah ambil data beginian, apalagi tes yang buat ambil data juga ga ada. Sempat terpikir ganti topik yang lebih gampang saja, biar perjalanan PhD saya lebih mulus, tapi kok tanggung, udah nulis 450 item mosok ga dilanjutin. Lagian saya masih berpikir tes ini penting, meskipun “hanya” untuk tingkat nasional. Jadi sementara ini buat memenuhi tuntutan 3 publikasi, saya juga nyambi ngerjain penelitian lain. Kalau teman-teman ada yang topik penelitiannya serupa (tentang kemampuan kognitif, psikometri, atau computerized testing di bidang Psikologi atau Pendidikan), ayoklah bisa kita kolaborasikan.

Cerita Lahirnya Semesta Psikometrika

Tulisan ini akan menarik jauh ke belakang tentang lahirnya Semesta Psikometrika dan bagaimana “wadah belajar” ini akan dikembangkan di masa depan. Tulisan ini diperuntukkan bagi pembaca/penonton Semesta Psikometrika dan semua orang yang memiliki kepentingan untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang Psikometrika. Bagi yang belum tahu apa itu Semesta Psikometrika, saya beri gambaran singkat terlebih dahulu.

Semesta Psikometrika merupakan kanal pengetahuan tempat berbagi mengenai ilmu Psikometri. Namun tidak terbatas pada ilmu Psikometri saja, di Semesta Psikometrika dibahas juga mengenai Statistika, Metode Penelitian Kuantitatif, dan Psikologi secara umum. Semesta Psikometrika hadir di dua platform berbeda, yakni melalui website semestapsikometrika.com dan Youtube Channel. Saat ini website Semesta Psikometrika sudah dibaca lebih dari 6.000 kali per hari dan memiliki lebih dari 12.000 subscriber di Youtube. Saat ini saya masih menjadi pengelola tunggal kedua platform tersebut.

Jika ditarik jauh mundur ke belakang, sebenarnya Psikometri bukanlah bidang yang ingin saya tekuni. Selepas mengelesaikan tugas saya menjadi Pengajar Muda di daerah terpencil, saya mendapat kesempatan bekerja di perusahaan startup di ibu kota sebagai staf rekrutmen. Saat itu juga saya apply beasiswa LPDP untuk lanjut kuliah S2 di UI. Awalnya semua berjalan sesuai rencana, saya mendapat beasiswanya dan saya diterima di program magister psikologi terapan dengan perminatan intervensi sosial, bidang yang in-line dengan pengalaman saya sebagai guru dan fasilitator pendidikan di daerah terpencil. Masalah muncul ketika saya hendak daftar ulang, ternyata program yang saya tuju tidak ada di list LPDP, dan saya diminta untuk mencari program/universitas lain. Di waktu yang mepet itu, hanya UGM lah yang masih membuka pendaftaran, dan akhirnya dengan berat hati saya harus meninggalkan pekerjaan saya di Jakarta dan pulanglah saya ke Jogja.

Saya memilih Psikometrika Terapan sebagai perminatan saya, sebenarnya karena pilihan lainnya kurang menarik bagi saya. Tapi pulang ke UGM membawa banyak berkah bagi saya, bisa dekat dengan keluarga, bertemu teman lama, mendapat jodoh, hingga bisa melahirkan Semesta Psikometrika ini. Entah bagaimana di UGM saya memiliki reputasi yang baik soal analisis data, hingga banyak orang yang bertanya ke saya soal analisis data. “Klien” saya bervariasi, mulai dari mahasiswa S1, rekan S2, sampai mahasiswa S3 juga banyak. Saya tidak membuka jasa analisis data, karena bagi saya membuat orang paham itu lebih memberi kepuasan batin dibanding mendapat upah atas jasa analisis. Namun dari waktu ke waktu, “klien” saya terus bertambah, sementara tugas pribadi saya juga banyak. Akhirnya munculah ide membuat website Semesta Psikometrika, dengan harapan dapat menjangkau orang lebih banyak dan meringankan beban saya mengajari orang-orang. Jika ada pertanyaan, saya tinggal berikan link tutorialnya saja. Kemudian ide membuat youtube Semesta Psikometrika juga sama, karena hal-hal yang sifatnya teknis lebih mudah dijelaskan dengan video.  

Saat ini banyak respon positif mengenai kehadiran Semesta Psikometrika yang banyak membantu mahasiswa menyelesaikan tugas akhirnya. Adanya Semesta Psikometrika juga sebenarnya menambah pemasukan saya karena baik di website maupun di Youtube sudah dipasangi iklan, ya meskipun tidak seberapa. Namun kesibukan saya pribadi menghambat Semesta Psikometrika untuk tumbuh menjadi lebih besar lagi. Sudah lama sekali saya tidak update konten di website maupun di Youtube. Padahal request untuk membuat konten baru sesuai kebutuhan pembaca ataupun subscriber Youtube selalu muncul.

Sebenarnya sudah sering saya mengajak orang lain untuk turut membesarkan Semesta Psikometrika. Namun sampai saat ini responnya masih negatif. Kebanyakan dari mereka merasa kurang memiliki kepercayaan diri atas kompetensi mereka di bidang yang katanya menyeramkan bagi mahasiswa Psikologi ini.  Sebagian lainnya menolak karena merasa Psikometri adalah ilmu yang bisa dijual mahal, sehingga sayang kalau hanya dibagikan cuma-cuma di internet tanpa mendapat pemasukan finansial yang berarti. Padahal jika dikembangkan lebih serius, Semesta Psikometrika bisa jadi media, platform, bahkan unit usaha yang menjanjikan sekaligus membawa kebermanfaatan bagi banyak orang. Dengan minimnya literasi tentang analisis data serta mahalnya pelatihan-pelatihan yang ada selama ini, maka Semesta Psikometrika bisa menjadi wadah untuk belajar yang mudah diakses, murah, fleksibel dan lengkap.

Dengan jiwa entrepreneur yang rendah, saya merasa bahwa saya butuh orang yang mampu membuat Semesta Psikometrika ini lebih besar. Jadi bagi siapapun yang membaca tulisan ini, yang memiliki minat pada bidang yang berkaitan dengan Psikometri, saya sangat menunggu kalian untuk berkolaborasi.  Semangat berbagi ini juga saya rasakan manfaatnya saat ini sebagai mahasiswa PhD. Di Eropa, banyak sekali ilmuwan yang membuka akses ilmu secara gratis, entah itu berupa artikel, slide PPT, tutorial, manual book, atau sharing di grup diskusi online. Prinsipnya, ilmu, meskipun dibagikan secara gratis, tidak akan mengurangi pemasukan kita, justru akan menambah peluang kita mendapatkan hal baru. Setidaknya menyumbang satu artikel di Semesta Psikometrika sudah bisa menambah portfolio kalian sebagai sarana personal branding, selain juga artikel itu bisa dimanfaatkan oleh orang banyak. Kontak saya tersedia di website ini kalau mau berkolaborasi.

Nonton Euro Tanpa Masker, Memangnya Hungria Sudah Bebas Covid?

Suasana Nonton EURO di Puskas Ferenc Stadium, Budapest

Saat orang Indonesia menyaksikan ribuan supporter sepak bola di Eropa bisa berkumpul di stadion secara bebas tanpa masker, justru kasus Covid di Indonesia sedang meningkat derastis. Dan rekreasi yang cukup menarik bagi saya adalah membaca komentar netizen Indonesia. Muncul beberapa suara dari netizen Indonesia, setidaknya bisa saya klasifikasikan menjadi tiga tipe. Tipe pertama adalah tipe teori konspirasi. Mereka umumnya bilang, “Tuh kan Covid itu ga ada. Tuh lihat di Eropa, orang udah berkumpul tanpa masker. Di Indonesia aja yang Covidnya ga selesai-selesai karena masih jadi lahan bisnis”. Tipe kedua adalah tipe neurotis. Mereka umumnya bilang, “Iih orang Eropa ini sudah gila ya. Mereka berkumpul gitu tanpa masker. Apa mereka ga memikirkan keluarga dan tetangga mereka. Kalau begini, kapan Covid akan berakhir”.Tipe ketiga adalah tipe optimis. Mereka umumnya bilang, “Tuh di Eropa situasi Covid sudah terkendali. Kalau kita tertib seperti mereka, kondisi Covid di Indonesia juga pasti akan membaik”.Nah saya jelaskan dulu beberapa fakta seputar EURO di Budapest yang saya tahu. Pertama, Euro 2020 ini unik karena dilaksanakan di banyak negara. Dari sekian lokasi, hanya di Budapest saja yang berani membuka stadion dengan kapasitas penuh. Di negara lain masih dibatasi, maksimal 50% dari kapasitas stadion. Alasannya beragam, mulai dari alasan ekonomi, nasionalisme, sampai alasan olah raga. 

Khusus Hungaria, saya bisa memahami Euforia yang cukup besar, ditambah pemerintahnya yang konservatif nasional. Hungaria ini memiliki sejarah bagus di sepak bola. Beberapa kali menjadi runner-up piala dunia dan memiliki legenda terkenal, Puskas Ferenc. Namun dalam 30 tahun terakhir ini Hungaria seolah tenggelam tidak pernah ikut kejuaraan besar, dan baru kali ini berpartisipasi lagi di ajang bergengsi seperti EURO. Jadi bisa dipahami jika euforianya sangat tinggi, apalagi Hungaria tergabung di grup maut bersama Prancis, Portugal, dan Jerman.Kedua, pada titik seperti di Indonesia saat ini (9% warga divaksin), pembatasan di Hungaria saat itu masih sangat ketat. Jam malam dibatasi sampai jam 20.00, masker wajib di semua tempat, restoran tidak boleh makan di tempat, bahkan sempat semua toko ditutup, selain groceries store dan apotek. Jadi pada titik 9% warga di vaksin, di Hungaria itu masih seperti lockdown. Saat ini, di Hungaria sudah 55% warganya sudah divaksin, sehingga mulai diberikan pelonggaran.Ketiga, untuk menonton EURO juga tidak semua orang bisa masuk stadion. Hanya orang yang sudah divaksin atau yang bisa menunjukkan hasil PCR negatif saja yang boleh masuk. Aturannya juga selama pertandingan, supporter harus tetap mengenakan masker. Sudah diworo-woro terus lewat pengumuman, tapi ya banyak yang ngeyel. Tapi memang memakai masker sekarang ini di Hungaria itu menderita sekali. Sekarang lagi musim panas, suhunya ekstrem panas, lebih panas dari Jakarta deh, suwer. Jadi saya pikir penyelenggara juga bukan tanpa perhitungan.

Nah ketiga fakta ini sudah bisa membantah orang-orang tipe teori konspirasi lah ya. Covid ada, dan peristiwa di EURO ini tidak bisa dijadikan pembenaran kalau Covid sudah tidak ada. Menjawab pertanyaan tipe neurotis, “Kok bisa berkumpul banyak gitu tanpa masker? Kalau di Indonesia panitianya sudah dipenjara ini”. Mungkin Anda ada benarnya, tapi jangan dikira panitia dan para supporter ini tidak memikirkan resiko menonton tanpa masker. Dengan asumsi yang boleh masuk adalah orang-orang bersih, seharusnya sudah aman, terlebih aturan terbaru pemerintah Hungaria juga mencabut kewajiban memakai masker. Mungkin ada baiknya jika mereka juga melihat susahnya proses dulu, tidak hanya melihat enaknya hasil akhir sekarang. Saat ini, di Hungaria sudah 55% warganya sudah divaksin, dan tren kasus Covid semakin menurun. Secara bertahap pelonggaran diberikan. Pelonggaran dimulai dari menghapus jam malam, lalu membolehkan berkumpul dalam jumlah kecil di outdoor, lalu membolehkan melepas masker saat outdoor, lalu membolehkan makan di restoran outdoor, lalu membolehkan makan di restoran indoor bagi yang sudah divaksin. Pada akhirnya berita hari ini mengabarkan pemerintah akan mencabut kewajiban memakai masker secara total di semua tempat. Pelonggaran demi pelonggaran diberikan dengan patokan jumlah kasus dan jumlah warga yang sudah divaksin. Kenapa patokannya jumlah warga yang divaksin? Memangnya kalau sudah divaksin sudah pasti aman? Ya setidaknya itulah yang diyakini pemerintah sini, tentunya berdasarkan hasil riset dan pendapat ahli, bukan pendapat influencer. Semakin banyak warga divaksin, tentu semakin cepat tercapai herd immunity. Di Hungaria, vaksin China juga dipakai, selain vaksin Western (Pfizer, Moderna, Astra Zaneca, dkk). Banyak juga yang meragukan vaksin China di sini, terlebih vaksin ini belum disapprove Uni Eropa (karena alasan medis maupun politis). Tapi toh vaksin ini juga sudah diapprove oleh WHO.Pembatasan di Hungaria ini kontrolnya beneran ketat. Instruksi terpusat dari pemerintah. Informasi mengenai pembatasan atau pelonggaran terdistribusi baik dan tegas, tidak multitafsir. Banyak aturan, sedikit himbauan, jadi kalau boleh ya boleh, kalau enggak ya enggak. Kalau jalan-jalan ke tempat wisata, sedih karena banyak toko yang dijual/disewakan karena tidak mampu beroperasi. Sekarang warga di sini sedang menikmati hidup normal setelah sekian lama “dipenjara”. Kalau berkaca pada kasus tahun lalu, kasus tahun ini mungkin juga mirip. Pada musim panas (bulan Juni-Agustus), jumlah kasus menurun dan warga hidup normal. Tapi pada bulan September kasus naik, dan lockdown lagi. Bukan tidak mungkin pola ini juga akan terjadi tahun ini. Tapi kalau September nanti tidak terjadi peningkatan kasus (semoga), say thanks to vaccine. Tidak ada alasan lagi untuk meragukan vaksin.