Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan

Toleransi dalam ber-Psikometrika

Source: https://doi.org/10.7275/v2gd-4441

Kalau ada yang bilang bahwa orang yang beragama itu cenderung tidak toleran, sedangkan saintis lebih toleran, sebenarnya tidak juga. Prinsip dasar dalam sains memang tidak ada satu kebenaran yang mutlak, keberanan ini relatif seiring berkembangnya ilmu dan ditemukannya bukti yang baru. Ini mungkin yang membedakan sains dengan agama. Tapi kalau sudah menyangkut individunya, nyatanya banyak juga kok ilmuwan yang suka “mengkafir-kafirkan” keilmuan lain yang bertentangan dengannya.

Di dunia pengukuran hal-hal abstrak (sebut saja Psikometrika) yang banyak digunakan di Psikologi dan Pendidikan, ternyata juga memiliki beragam agama. Ada agama teori tes klasik (CTT) dan agama teori tes modern. Teori tes modern sendiri, meskipun memiliki Tuhan yang sama, ternyata juga terpecah dalam dua agama yang berbeda, Item Response Theory (IRT) dan Rasch model. Ketiga agama ini memiliki keyakinan akan keberannya masing-masing, dan tidak jarang pengukutnya sering memposting di medsos menjelek-jelekkan agama yang lain. Untungnya UU ITE tidak mengcover hal ini. Sama seperti agama sesungguhnya, ketiga agama ini juga pasti memiliki kesamaan yakni mereka bertujuan untuk mengukur hal-hal yang tak kasat mata, seperti kecerdasan, kepribadian, dll. Mereka hanya memiliki cara dan keyakinan yang berbeda dalam beribadah.

Agama CTT mungkin adalah agama yang paling sederhana dalam cara beribadahnya. Mereka membuat segala perhitungan untuk mengukur hal-hal yang abtrak tadi sesederhana mungkin, sehingga mudah diterima oleh orang awam. Perhitungannya sesederhana gini, kalau kamu dites dengan 10 soal, dan kamu menjawab betul 7 soal, maka skormu ya 7, atau level penguasaanmu 70%, ga peduli soal yang kamu kerjakan itu mudah atau sulit. Jadi kalau Ali dan Badu dites kemampuan matematikanya dengan 10 soal yang berbeda, selama 10 soal itu mengukur hal yang sama (kemampuan matematika) dan selama jawaban betulnya sama-sama 7, ya level kemampuan matematika mereka dianggap sama. Kalau mau menghitung tingkat kesulitan soal juga mudah saja, tinggal dilihat aja proporsi penjawab betul soal tersebut. Jadi kalau ada soal dijawab oleh 10 orang, dan hanya 2 orang yang menjawab betul, ya artinya tingkat kesulitan soalnya 0,2. Eh, 0,2 ini artinya soal ini sulit lho ya. Jadi bingung deh, ini tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan sih. Tapi ya gitulah.

Pengikut agama teori tes modern ga terima dengan hal itu. Kalau Ali dan Badu ini mendapat soal yang tingkat kesulitannya berbeda, ya ga adil dong mengatakan kemampuan mereka sama. Misal, Badu dapet 10 soal yang sulit dan Ali dapet 10 soal yang mudah, trus keduanya sama-sama betul 7, masak kemampuan Badu disamakan dengan kemampuan Ali. Ga adil lah. Ada tiga keyakinan utama dalam agama Rasch yang membedakannya dengan CTT. Pertama, mereka mengasumsikan konstruk yang diukur ini berdistribusi normal (bukan data yang dianalisis lho ya). Kedua, pengukuran harus “test-free” dan “sample-free”. Artinya gini, tes ini sulit atau mudah, bukan ditentukan oleh siapa yang mengerjakan; begitu juga sebaliknya, orang ini mampu atau tidak, bukan ditentukan oleh seberapa sulit tes yang disajikan. Kan ada tuh, tes yang sama, tapi kalau disajikan ke orang-orang pintar jadi terlihat mudah (proporsi betulnya tinggi), sementara kalau disajikan ke orang-orang bodoh jadi terlihat sulit (proporsi betulnya rendah). Lha kan bingung, ini sebenarnya teh soal mudah atau sulit sih. Atau kayak kasus Ali dan Badu tadi, kan level kemampuan mereka ditentukan dari kesulitan soal yang disajikan yak. Nah, Rasch pakai transformasi logit buat mengatasi masalah ini, jadi datanya memiliki interval yang sama antara tingkat kesulitan butir dan kemampuan individu. Ketiga, Rasch percaya kalau pengukuran objektif bisa dilakukan jika tes unidimensi dan fit dengan model Rasch. Jadi kalau dari perspektif Rasch, tes yang baik itu ya tes yang fit dengan model ideal. Makanya di Rasch proses uji kecocokan model menjadi prosedur yang sangat penting dilakukan. Sebagai informasi, Rasch ini hanya menggunakan satu parameter, yakni tingkat kesulitan butir (parameter b). Sering juga disebut IRT 1PL, meskipun pengikut Rasch ga mau disamakan dengan mereka. Mereka menghendaki daya diskriminasi item (parameter a) diset menjadi 1, dan tebakan semu (parameter c) diset menjadi 0. Kalau ada soal yang punya parameter a dan c jauh dari 1 dan 0, ya artinya dia ga sesuai model Rasch, buang aja, bikin ngga objektif aja.        

Sebagian orang yang termakan iklan Rasch banyak yang akhirnya kecewa setelah tahu hasil pengukuran Rasch ternyata ga jauh beda dengan CTT. Mereka mengkorelasikan hasil pengukuran CTT dan Rasch dan menjumpai korelasinya suuaangat tinggi, di atas 0,9. Artinya, ya sami mawooon. Ngapain aku capek-capek murtad dari CTT dan mempelajari agama Rasch, kalau akhirnya sama aja. Nah pengikut agama IRT mulai masuk di sini. Meskipun secara prinsip mereka memiliki banyak kesamaan dengan Rasch, mereka mulai menawarkan ajaran-ajaran mereka yang berbeda dari Rasch dan CTT. Mereka memperkenalkan parameter baru, yakni paremeter a, c, dan bahkan d. Semakin banyak parameter yang dipakai, maka korelasi dengan skor hasil CTT biasanya semakin rendah, bisa di bawah 0,8. Dan mereka akan bilang, “nah kan, beda jauh kan dengan CTT. Ini nih yang benar”. Mereka ga setuju dengan Rasch yang mengatakan item harus memiliki parameter a = 1, dan parameter c = 0. Item harus diberi kebebasan, kita sebagai peneliti hanya memfasilitasi item-item saja. Jadi kalau di Rasch, kalau item ga cocok dengan model, ya jangan dipakai item itu. Kalau di IRT enggak, kalau item ga cocok dengan model, coba cari model lain yang bisa menjelaskan item itu, mau model 2PL, 3PL, atau bahkan 4PL. Makanya banyak yang bilang, Rasch itu model preskriptif, sedangkan IRT model deskriptif.

Nah itulah awal mula perpecahan agama Rasch dan IRT. Mereka memiliki Tuhan yang sama dan satu musuh yang sama (CTT), tapi mereka ternyata ga bisa rukun juga. Rasch berpendapat, kalau daya diskriminasi item diijinkan bervariasi, jadinya pengukuran jadi tidak objektif lagi. Sebaliknya, pengikut IRT berargumen kalau memaksa item memiliki daya diskriminasi yang sama itu mustahil dan tidak patut dilakukan. Mereka lebih setuju untuk membuat model prediktif yang mampu mengakomodasi perbedaan daya diskriminasi item dan mempertimbangkannya dalam mengukur kemampuan individu. Di level komunitas ilmuwan, mereka juga memiliki basis nya masing-masing. Saya pernah mengikuti konferensinya para pengikut Rasch, Pacific Rim Objective Measurement Symposium (PROMS), dan benar, ujaran-ujaran kebencian terhadap CTT dan IRT tak jarang saya dengar di acara itu. Mereka juga mendiskriminasi presenter yang melakukan analisisnya pakai IRT dengan membuat sesi sendiri di hari yang lain (tapi mereka masih baik hati sih mau menerima IRT). Dan ketika saya pindah ke Eropa, mayoritas orang sini lebih familiar dengan IRT, termasuk supervisor saya. Sering juga menjumpai reviewer jurnal atau penguji skripsi/tesis/disertasi yang memaksakan keyakinan mereka atas artikel yang sedang mereka nilai. Inilah kenapa saya pikir di Psikologi, bidang kajian metodologi itu yang paling menantang, karena banyak keyakinan-keyakinan pribadi dari individu (soal metode mana yang paling benar) yang turut berperan di situ.

Saya sih mengidentifikasi diri saya sebagai ateis atau bahkan politeis dalam aliran agama pengukuran ini. Saya hanya pemakai, dan mendukung ketiga agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu. Kalau ngajar mahasiswa S1 atau untuk riset yang tidak berkaitan dengan metodologi, ya saya jadi pengikutnya CTT. Kalau untuk riset metodologi ya saya cenderung pakai Rasch, lebih karena alasan praktis aja sih. Tapi kalau di suruh pakai IRT juga oke. Selow aja sih. Tapi yang perlu disadari, intoleransi dalam ber-Psikometri itu nyata, ga hanya dalam beragama saja. Ilmuwan juga bisa bersikap fanatik terhadap kebenaran yang mereka yakini. Kalau di Psikometri solusinya sih ya dipelajari tuh aliran lainnya. Dengan dipelajari kita jadi tahu tuh mengapa pengikut aliran tersebut menganggap itu yang paling benar, jadi ga perlu lah kita “mengkafir-kafirkan” pengikut aliran lain. Kalau intoleransi di agama betulan, solusinya? Yo Ndak Tahu, Kok Tanya Saya.

Note: Kalau mau belajar perbedaan CTT, IRT, dan Rasch yang serius tapi “relatif” ringan, artikel ini sangat recommended: https://doi.org/10.7275/v2gd-4441

Stanford Prison Experiment dan Labeling Covid-19

Di Psikologi, ada satu eksperimen yang sangat terkenal, bahkan sampai dibuatkan filmnya juga. Eksperimen itu dikenal sebagai Stanford Prison Experiment. Singkat cerita, eksperimen ini dilakukan oleh Philip Zimbardo di Stanford University untuk mempelajari perilaku orang normal yang ditempatkan dalam suatu penjara buatan (yang sebenarnya adalah kampus). Dia ingin mempelajari situasi psikologis yang muncul melalui manipulasi lingkungan fisik serta bagaimana suatu label terhadap seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang tersebut. Partisipan penelitian dibagi menjadi dua kelompok peran, yakni mereka yang berperan sebagai sipir penjara dan tahanan. Partisipan yang berperan sebagai tahanan didatangi ke rumahnya dengan mobil polisi sungguhan, ditangkap, dan diborgol di depan umum. Sesampainya di penjara buatan, mereka digeledah, ditelanjangi, dan dirantai kakinya layaknya tahanan sungguhan.

Awalnya eksperimen ini direncanakan berlangsung selama 14 hari, namun akhirnya pada hari keenam eksperimen Ini dihentikan karena perilaku para sipir penjara yang semakin kejam dan para tahanan yang tertekan secara emosi. Selama eksperimen, kedua kelompok yang berperan sebagai sipir dan tahanan menjalani dengan sungguh-sungguh peran yang diberikan meskipun mereka tahu bahwa ini hanyalah eksperimen semata. Label yang diberikan kepada mereka telah mengubah bagaimana cara mereka berperilaku. Melalui eksperimen yang tidak selesai ini Zimbardo menyimpulkan bahwa orang normal yang sehat secara psikologis dapat melakukan kejahatan apabila diperhadapkan di situasi yang memungkinkan mereka untuk melakukannya.

Meskipun eksperimen yang dilakukan Zimbardo ini banyak dikritik karena menyalahi etika dan aturan penelitian dengan subjek manusia, namun penelitian ini juga memberikan insight yang luar biasa. Satu hal yang menjadi point penting adalah situasi tertentu dapat mempengaruhi perilaku individu lebih besar daripada kepribadian individu itu sendiri. Seringkali, lingkungan dan keadaan kita menentukan siapa kita dan apa yang kita lakukan. Itu juga secara tidak langsung membentuk keyakinan dan identitas kita pada saat yang bersamaan. Nah memberikan label merupakan salah satu kondisi yang dapat menentukan perilaku kita.

Saya baru saja mengalami hal yang berkaitan dengan kesimpulan eksperimen tersebut. Jadi ceritanya begini, saya datang ke Hungaria tanggal 2 September 2020. Sebelum berangkat, saya melakukan tes PCR dan hasilnya adalah negatif, tidak ada virus covid di tubuh saya. Namun saya sedang sial saat itu, per tanggal 1 September 2020, pemerintah Hungaria mengubah kebijakan untuk masuk ke negara tersebut. Jika sebelumnya warga negara asing boleh masuk dan bebas karantina asalkan bisa menunjukkan dua hasil tes PCR negatif dalam waktu lima hari terakhir, setelah tanggal 1 September aturan itu tidak berlaku lagi. Pemerintah Hungaria tidak menerima tes PCR yang dilakukan di luar Hungaria. Jadi terpaksalah saya harus menjalani karantina selama dua minggu. Sementara teman-teman lain yang datang sebelum tanggal 1 bisa bebas berkeliaran keliling Budapest. Anehnya begini, menjadi orang yang diwajibkan karantina ini berimbas pada bagaimana orang lain memperlakukan kita, dan juga bagaimana kita berperilaku. Meskipun sama-sama memiliki hasil PCR negative, tapi status karantina ternyata menjadi pembeda yang cukup besar. Orang menjadi lebih jaga jarak dengan kita. Beberapa pemiliki apartemen menolak kami karena harus menjalani karantina, meskipun kami bisa menunjukkan hasil tes PCR negatif. Polisi datang mengecek kami secara berkala, menyelidiki apakah kami benar-benar menjalani karantina atau tidak. Saya sendiri menjadi lebih sungkan dan membatasi berinteraksi dengan orang lain.

Jadi ini ada dua orang yang sama-sama datang dari Indonesia, sama-sama memiliki hasil tes PCR negative, tapi karena waktu datang yang berbeda, labelnya jadi berbeda, dan diperlakukannya juga berbeda. Tapi masalah labeling ini juga tidak hanya saya alami saat ini. Sejak awal munculnya virus ini, masalah labeling menjadi musuh utama penelusuran kluster covid. Ketika ada info bahwa seseorang terinfeksi Covid, maka orang lain cenderung akan mengucilkannya. Itulah mengapa banyak orang yang tidak mau jujur terhadap gejala dan riawayat yang dimilikinya, karena jika mereka sudah dilabeli Orang Dalam Pengawasan (ODP) atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP), maka mereka akan diperlakukan berbeda oleh masyarakat sekitar. Dan tidak semua orang kuat menghadapi perlakuan itu.

Lalu apa dampak dari adanya covid ini? Dari kacamata Psikologi Evolusi, munculnya etnosentrisme, konformitas, dan prasangka terhadap kelompok lain pada dasarnya merupakan satu mekanisme pertahanan diri agar bisa bertahan hidup. Mereka meyakini bahwa dunia ini sebenarnya penuh dengan patogen yang berbahaya. Semakin banyak patogen yang diyakini ada, maka masyarakat semakin religious dan kolektif, namun kurang percaya pada kelompok luar. Ini adalah mekanisme dasar untuk menghambat transmisi patogen. Dengan adanya Covid ini, bukan tidak mungkin dunia akan terkotak-kotak kembali. Individu akan membangun kolektifitas yang kuat dengan kelompoknya, namun mulai mengurangi kontak dengan kelompok luar. Nah, pada tatanan global, Covid ini seolah-olah membuat bumi sedang menata kembali hidupnya, atau lebih tepatnya merestart. Bumi sedang mengulang kembali kehidupan seperti 100 tahun yang lalu, bukan hanya dari sisi lingkungan alam, namun juga dari sisi interaksi sosial.     

Apakah edukasi yang baik sudah cukup untuk menghentikan prasangka terhadap kelompok luar tersebut? Secara teoritis mungkin banyak yang sepakat, bahwa informasi positif tentang budaya luar akan membuat orang lebih percaya pada orang asing. Namun faktanya pengetahuan saja tidak cukup. Stanford Prison Experiment tadi adalah contohnya, meskipun partisipan sudah tahu bahwa ini hanyalah eksperimen, namun perilaku mereka tetap di luar kendali dari batas wajar.  

Rekomendasi Kampus untuk Kuliah Jurusan Psikologi

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental yang ada pada manusia. Karena ilmu tersebut sangat aplikatif dan sangat berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari, jurusan Psikologi saat ini menjadi jurusan yang cukup favorit. Lulusan Psikologi dapat bekerja di berbagai sektor, selama masih ada manusia, maka lulusan Psikologi pasti dibutuhkan. Di bidang industri, lulusan Psikologi biasanya ditempatkan di bidang SDM atau HRD. Lulusan Psikologi yang sudah memperoleh gelar Psikolog juga dapat membuka praktik layanan Psikologi sendiri, atau bekerja sebagai Psikolog di rumah sakit atau sekolah. Lulusan Psikologi juga sering menjadi pembicara pada bidang-bidang yang popular seperti parenting, motivasi, kecemasan, atau masalah-masalah individu-sosial. Kalaupun mau membuka usaha sendiri, ilmu Psikologi yang diperoleh dari perkuliahan juga dapat diaplikasikan dalam hal pemasaran misalnya. Karena fleksibilitas dan luasnya bidang kerja lulusan Psikologi, saat ini hampir semua universitas memiliki jurusan Psikologi.

Berikut ini akan saya berikan hal-hal apa saja yang harus kalian pertimbangkan untuk memilih kampus, dan kampus mana saja yang masuk kriteria tersebut.

Akreditasi A
Akreditasi A ini penting sekali karena ini artinya oleh kampus tersebut sudah diakui oleh Badan Akreditasi Nasional sebagai kampus yang unggul, baik dari sisi pengajarannya, kegiatan kemahasiswaanya, output penelitiannya, maupun fasilitasnya. Akreditasi A ini juga berguna ketika nanti lulusannya hendak mendaftar kerja atau beasiswa. Misalnya, ketika daftar CPNS, pendaftar diharuskan melampirkan sertifikat akreditasi universitas dan program studi. Saat ini ada 23 kampus yang memiliki jurusan Psikologi dengan akreditasi A, yang SK nya masih berlaku. Dari 23 universitas tersebut 7 berasal dari kampus negeri, sedangkan 16 sisanya dari kampus swasta. Dari 23 kampus tersebut seluruhnya juga memiliki akreditasi institusi A. Data ini diperoleh dari website BAN-PT per 15 Mei 2020, silakan cek sendiri di sini.

Biaya Kuliah
Tidak dapat dipungkiri, biaya kuliah juga harus menjadi pertimbangan untuk memilih kampus tujuan. Jika kalian adalah orang mampu dan tidak masalah dengan biaya kuliah, pertimbangan ini bisa diabaikan. Tapi jika kalian adalah orang dengan keterbatasan biaya, maka pertimbangan ini perlu. Dari sekian kampus yang memiliki prodi Psikologi dengan akreditasi A, tujuh kampus negeri itu tentu menjadi prioritas. Biaya kuliah di kampus negeri biasanya dengan sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal), artinya per semester bayarnya segitu terus, tidak tergantung jumlah SKS yang diambil dan tidak ada biaya tambahan. UKT ditentukan bervariasi tergantung dari penghasilan orang tua. Sebagai gambaran, di UGM UKT berkisar antara Rp. 500.000 – Rp. 12.000.000. Jika penghasilan kedua orang tua antara 5-10 juta, maka akan kena UKT 5 yang besarnya 7 juta per semester. Untuk contoh kasus UGM bisa dilihat di sini.

Di kampus swasta biaya kuliah sangat bervariasi, dan biasanya dipukul rata untuk semua mahasiswa, tanpa memangdang penghasilan orang tua. Untuk melihat berapa biaya pastinya kalian harus cek ke website masing-masing universitas. Sebagai gambaran biaya kuliah di kampus swasta, di Binus Jakarta, biaya kuliah sebesar 17 juta/semester (lihat detail di sini). Di Ubaya Surabaya, biaya kuliah sebesar 18 juta/semester (lihat detail di sini). Di UII Yogyakarta, biaya kuliahnya sebesar 18 juta/semester (lihat detail disini). Di UMS Solo, biaya kuliah sebesar 6 juta/semester (lihat detail di sini). Di UMM Malang, biaya kuliah sebesar 5,3 juta/semester (lihat detail di sini). Itu hanyalah hitungan kasar untuk jurusan Psikologi, karena biaya sesungguhnya tergantung juga dari SKS yang diambil. Selain itu, masih ada biaya tambahan di luar itu, misal untuk sumbangan gedung, KKN, Skripsi, dll. Jadi untuk lebih detailnya, cek website masing-masing kampus.   

Kota dan biaya hidup

Kota dan biaya hidup juga patut menjadi pertimbangan dalam memilih kampus. Jika kalian adalah orang yang suka gaya hidup hedonis, tentu kampus-kampus di kota seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung menjadi pilihan yang tepat. Banyak mall, kafe, dan tempat-tempat wisata modern di kota tersebut. Di kota ini kalian juga akan beradaptasi dengan suasana kota besar, yang memiliki banyak jaringan ke perusahaan. Namun tentu saja, biaya hidup di kota tersebut juga mahal. Namun jika kalian lebih suka ketenangan atau wisata alam, kota Jogja dan Malang sangat saya rekomendasikan. Dua kota ini memiliki destinasi wisata alam yang indah dan biaya hidupnya jauh lebih murah dibanding kota-kota besar. Jogja dan Malang juga terkenal sebagai kota pelajar, jadi tempat nongkrong mahasiswa yang menyediakan wi-fi gratis sudah menjamur di dua kota ini. Di Jogja ada UGM, UII, USD, dan UAD yang memiliki jurusan Psikologi dengan akreditasi A. Sementara di Malang ada UMM yang memiliki Psikologi dengan akreditasi A.

Prestasi dan Reputasi

Jika pertimbangannya prestasi dan reputasi, tentu kampus-kampus negeri akan menjadi prioritas. Di Indonesia sterotype bahwa kampus negeri lebih baik daripada kampus swasta masih sangat kental. Jadi lulusan kampus negeri akan dianggap lebih kompeten dan mudah mencari kerja atau beasiswa nantinya. Namun hal ini bisa jadi kurang sepenuhnya tepat, lulusan kampus negeri unggul karena memang inputnya juga unggul. Lulusan kampus negeri mudah mencari kerja karena memang alumni kampus tersebut sudah menjadi pimpinan di berbagai perusahaan, dan kecenderungannya para pimpinan ini akan merekrut karyawan yang sealmamater. Jadi saya setuju kalau lulusan kampus negeri akan mendapat beberapa kemudahan nantinya setelah lulus, tapi kalau mengatakan kampus negeri lebih baik, coba pikirkan lagi.

Di sisi lain, 16 kampus swasta yang akreditasinya A tersebut juga sudah pasti memiliki perstasi, reputasi, dan fasilitas yang baik. Tapi semuanya memiliki kekhasan masing-masing. Misalnya. Psikologi di Binus banyak berfokus pada Psikologi Intervensi dan Kerekayasaan, terutama dalam dunia usaha atau industri. Sementara Psikologi UMM, UII, UMS, dan UAD fokus pada pengembangan Psikologi yang berlandas nilai-nilai Islam. Jadi kalian setidaknya perlu menyesuaikan minat kalian dan kepo ke website fakultasnya.



Jadi itu tadi pertimbangan untuk memilih kampus dengan jurusan Psikologi. Jadi kalau kalian tertarik untuk kuliah di jurusan Psikologi, 23 kampus dengan akreditasi A tadi bisa jadi tempat terbaik. Kalau kalian fanatik dengan kampus negeri, 7 kampus negeri di atas bisa jadi tempat yang baik. Tapi kalau kalian tidak terlalu fanatik dengan kampus negeri, ada 16 kampus swasta yang jadi alternatif. Setelah pertimbangan kualitas, tentu biaya kuliah dan kota tempat kuliah menjadi pertimbangan yang harus kalian pikirkan. Jika memang kondisi ekonomi terbatas namun menginginkan tempat kuliah yang bagus, kampus-kampus swasta di kota Jogja atau Malang jadi pilihan yang tepat.

Paragraf berikut ini mengandung iklan ya. Dari semua pertimbangan di atas, jurusan Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjadi tempat yang saya rekomendasikan. Pertama, akreditasinya sudah A sejak dua periode sebelumnya, jadi sudah lama reputasinya baik. Kedua, biaya studinya relatif lebih murah dibanding kampus lain dengan reputasi dan peringkat yang setara. Ketiga, lokasinya di kota Malang, kota yang sejuk, memiliki destinasi wisata, dan biaya hidupnya murah. Keempat, fokus pada Psikologi terapan, sehingga mahasiswa tidak hanya belajar di kelas, tapi lebih banyak mengaplikasikan ilmunya di lapangan selama kuliah. Ini berguna banget untuk adaptasi ketika nanti sudah lulus dan mau bekerja. Kalau mau kepo tentang Fakultas Psikologi UMM, bisa meluncur ke website Fakultas Psikologi UMM di sini ya

Update Juli 2023
Per Juli 2023, akreditasi Fakultas Psikologi UMM sudah dinaikkan dari A menjadi UNGGUL. FYI, status UNGGUL adalah status tertinggi dalam sistem akreditasi nasional. Akreditasi unggul ini melengkapi akreditasi internasional dari AUN-QA dan FIBA

Alasan Mengapa Harus Kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Berhubung sedang musim Penerimaan Mahasiswa Baru, mohon izin untuk berpartisipasi mempromosikan kampus saya ya. Sekilas dulu tentang Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Jadi UMM merupakan perguruan tinggi swasta terakreditasi "A" yang didirikan tahun 1964. UMM memiliki tiga kampus, dan berpusat di kampus III terpadu, di Jalan Raya Tlogomas 246 Kota Malang, Jawa Timur. UMM merupakan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang terbesar di Jawa Timur dan salah satu Perguruan Tinggi Swasta terbaik di Indonesia. Tulisan ini mejelaskan mengapa kalian, para calon mahasiswa, tidak perlu ragu untuk memilih Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sebagai tempat kuliah.

Lingkungan nyaman di Kota Malang
Kota Malang merupakan salah satu kota pelajar yang geliatnya cukup progresif. Selain biaya hidup yang relatif murah, perbedaan kota ini dibanding kota lainnya adalah suasananya yang nyaman dengan hawa yang relatif lebih dingin. Kampus UMM sendiri lokasinya berada di wilayah perbatasan Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu. Jadi kalau mau rekreasi kemana-mana juga dekat. Bentangan alamnya indah, gunung dan bukit banyak, pantai ada, air terjunnya buuanyak sekali. Wisata hedonnya juga banyak, Mall ada, warung kopi sudah menjamur, area taman hiburan seperti Jatim Park yang menyajikan wisata modern juga ada. Jadi kalau harus menghabiskan waktu empat tahun buat kuliah, lebih enak kan kalau kuliahnya di kota yang sejuk dan memiliki banyak tempat wisata.
Pemandangan Masjid UMM dengan latar Gunung Arjuno

Memiliki banyak prestasi
UMM memiliki banyak prestasi juga lho. UMM sudah menjadi peraih Anugerah Kampus Unggul (AKU) Jawa Timur sejak tahun 2008. Artinya selama 12 tahun terakhir, UMM diakui LLDIKTI sebagai kampus swasta terbaik di Jawa Timur. UMM masuk 50 Perguruan Tinggi terbaik versi DIKTI dan ranking 7 Perguruan Tinggi Swasta Terbaik di Indonesia versi Globe Asia Magazine. UMM juga mempelopori penerapan review proposal dan hasil penelitian secara online yang sekarang diadopsi Dikti. Di bidang pengabdian, praktikum mahasiswa UMM juga berhasil mengubah kampung kumuh di Malang menjadi kampung wisata yang instagramable, yaitu Kampung Warna-warni Jodipan.
Kampung warna-warni Jodipan karya mahasiswa UMM
Kampung warna-warni Jodipan karya mahasiswa UMM

Biaya kuliah lebih murah dibanding kampus lain dengan peringkat setara
Ini serius, dibanding universitas swasta lain yang peringkatnya setara di Jawa Timur, biaya kuliah di UMM jauh lebih murah. Kalian bisa bandingkan dengan melihat dengan melihat di brosur masing-masing universitas. Untuk UMM biaya kuliah dapat dilihat di sini http://pmb.umm.ac.id/id/pages/home/biaya.html. Biaya ini juga tidak kalah lebih murah dibanding kuliah di kampus negeri. Mengapa uang kuliah di UMM bisa lebih murah? Karena UMM tidak hanya bergantung dari SPP mahasiswa saja untuk operasionalnya, tetapi UMM memiliki beberapa unit usaha yang bisa jadi sumber pemasukan. Unit usaha ini sekaligus menjadi laboratorium terapan mahasiswa untuk magang dan belajar langsung. Beberapa unit usaha yang dimiliki UMM diantara adalah SPBU UMM, Rumah Sakit UMM, Hotel Kapal Garden, Hotel Rayz, Taman Rekreasi Sengkaling, Sengkaling Kuliner, UMM Press, Bengkel Rinjani UMM, UMM Bookstore, UMM Dome, Apartemen Sang Surya, dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) UMM.
Hotel Kapal Garden, salah satu unit usaha UMM

Tidak hanya pintar, tapi juga…
Mahasiswa tidak hanya didik untuk menjadi orang pintar di UMM, tetapi lebih dari itu. Moto UMM adalah “student today, leader tomorrow”, jadi mahasiswa disiapkan untuk menjadi pemimpin di bidangnya di masa depan. Banyak kegaiatan kemahasiswaan di UMM ini yang bisa memfasilitasi mahasiswa untuk belajar berorganisasi atau mengembangkan minat-bakatnya.  Sejak 2010, UMM juga bermitra dengan organisasi Uni Eropa (UE) memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk mendapatkan beasiswa pertukaran Erasmus+ dengan sejumlah kampus di Eropa, sehingga mahasiswa mampu merasakan atmosfer internasional. Pengembangan karakter mahasiswa juga menjadi aspek yang menjadi fokus UMM, salah satunya dengan Program Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK) yang diberikan kepada seluruh mahasiswa. P2KK ini seperti pesantren kilat, mahasiswa dikarantina, namun dengan model pembelajaran yang lebih kreatif.
Program pengembangan karakter dengan P2KK

Kampus Indah dan Fasilitas Lengkap
Kampus UMM memiliki nama panjang lain, yaitu Universitas Munggah-Mudun (Universitas Naik-Turun) karena kontur kampus UMM memang naik turun. Tapi dengan kontur seperti ini menjadikan pemandangan kampus jadi indah. Fasilitas di kampus juga terbilang lengkap, tempat nongkrong banyak, wifi kenceng, laboratorium lengkap. Hanya saja memang beberapa mahasiswa sering mengeluhkan dengan kondisi di GKB I, 2, 3 yang ruang kelasnya masih belum pakai AC. Meskipun ga pakai AC, tetep ga panas kok, kan Malang bukan seperti Surabaya. Kalau di Fakultas Psikologi sih kuliahnya di GKB 4 yang udah full AC. Urusan tempat tinggal, kosan udah banyak di sekitar kampus. Bahkan kalau orang tua cukup protektif, UMM juga memiliki asrama mahasiswa yang bisa disewa untuk mahasiswa yang berasal dari luar daerah.  
Penampakan GKB I dan Danau UMM

Dosen Muda dan Berjiwa Melayani
Tiga tahun terakhir ini UMM melakukan rekrutmen dosen besar-besaran, sehingga komposisi dosen muda di kampus ini cukup banyak. Di Fakultas Psikologi misalnya, kita memiliki 38 dosen tetap dan 40% diantaranya masih berusia di bawah 35 tahun. Dosen muda ini umumnya kreatif, enerjik, idealis, dan lebih bersahabat dengan mahasiswa. Dosen di kampus swasta seperti UMM juga berbeda dengan di kampus negeri. Kalau di negeri, dosen pada umumnya memiliki banyak proyek di luar kampus dan selalu “dikejar-kejar” mahasiswa, di UMM dosen mendedikasikan dirinya penuh untuk kebutuhan mahasiswa. Ya namanya kampus swasta, kalau dosennya ga perform dan mahasiswanya ga puas, ga dapat duit lah kita, beda dengan kampus negeri.
Proses pembelajaran di UMM
  
Itu tadi beberapa alasan mengapa kalian harus mantap memilih UMM sebagai tempat kuliah kalian. Dan bagi kalian yang tertarik kuliah di Psikologi, kelebihan lainnya adalah kalian akan bertemu dengan saya, eh. Kelebihan lain kuliah di Psikologi UMM itu kuliahnya lebih aplikatif, tidak hanya sebatas text book. Jadi akan banyak praktikum yang mengharuskan kalian turun langsung ke masyarakat atau ke instansi-instansi yang sudah bekerja sama dengan UMM. Untuk tahun ini juga dibuka kelas internasional lho di Fakultas Psikologi. Jadi langsung cus, daftar di http://pmb.umm.ac.id/
Sumber gambar: umm.ac.id