Mengapa Saya Masih Menulis di Blog Saat Semua Orang Sudah Membuat Vlog

Ada masa ketika saya dikelilingi oleh teman-teman yang memiliki blog semua, entah itu di blogspot, wordpress, ataupun tumblr. Dulu blog merupakah suatu hal yang mewah dan bergengsi. Orang yang menulis adalah orang yang keren dan unik, yang bisa mempertontonkan kemampuan olah katanya, di samping unjuk gigi atas pengetahuan yang mereka miliki. Organisasi tempat saya bermain dulu (Palapsi) juga sangat mendorong kami untuk menuliskan cerita ataupun refleksi dari perjalanan di alam yang kami lakukan. Mapala memang unik, dari luar mereka nampak garang dan sederhana, tapi dalam tulisannya, mereka bisa menjadi orang yang puitis, melankolis, dan kritis. Menulis di blog juga berjasa membuat saya akhirnya mengakhiri masa 20 tahun menjomblo. Tapi masa-masa kejayaan dunia tulis menulis di blog ini nampaknya sudah lewat. Sekarang orang lebih senang mengenal orang lain bukan lewat tulisan, tapi lewat video. Kalaupun ada, paling hanya tulisan di status di Twitter yang panjangnya tidak seberapa.

Saya kemarin iseng melakukan survey di status Instagram, intinya menanyakan “Ketika Kamu hendak mencari informasi atau inspirasi, kamu lebih senang mencari kemana?” pilihannya dua, blog atau Youtube. Dari sekitar 100 follower saya yang ikut menjawab, 81% mengatakan mereka lebih suka melihat YouTube. Mereka mengatakan alasannya karena lebih menarik dan lebih jelas. Jaman memang sudah berubah, orang sekarang lebih suka menonton daripada membaca. Dulu mungkin orang-orang banyak terinspirasi oleh tulisan Soe Hok Gie, tapi sekarang orang lebih terinspirasi oleh sosok Atta Halilintar. Tapi terlepas dari apapun medianya, pada dasarnya menulis di blog ataupun membuat video di YouTube memiliki kesamaan yaitu ingin menunjukkan eksistensi, menunjukkan pada dunia “inilah aku”.

Tapi seiring berjalannya waktu, pada akhirnya memang orang akan lebih berpikir pragmatis daripada idealis. Semua perilaku kita akan banyak ditentukan oleh pasar. Itu juga yang dilakukan pembuat konten, mereka lebih sering menampilkan diri yang disukai oleh masyarakat agar populer, demi mendapat keuntungan dari iklan atau endorse. Hanya karena memiliki banyak follower di medsos, tidak serta merta seseorang bisa disebut sebagai influencer. Banyak yang menyebut mereka sebagai influencer meskipun banyak dari mereka yang sebenarnya influenced. Mereka tidak mempengaruhi orang lain, tapi sebaliknya orang lain lah yang mempengaruhi mereka dan membuat mereka menampilkan sosok tidak otentik agar disukai orang lain. Apalagi jika karya mereka hanya titipan.

Di titik ini saya akhirnya lebih memilih kembali menulis di blog untuk menyampaikan isi di kepala saya. Ada beberapa hal yang membuat saya lebih memilih menulis. Pertama, saya memang tidak pede tampil di depan kamera. Kedua, saya lebih bebas mengungkapkan ide di kepala saya melalui tulisan, pun lebih mudah merevisinya kelak jika ternyata saya keliru. Ketiga, informasi dari sebuah tulisan lebih mudah discaning daripada video. Kan kalau video kita sulit melihat di menit berapa informasi penting yang sedang dicari itu ada. Terakhir, saya merasa lebih merdeka. Kata Tan Malaka, “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Mungkin saya sudah tidak seidealis dulu, pun sudah luntur jiwa pemuda saya. Tapi semoga tulisan-tulisan saya tetap membawa informasi dan inspirasi bagi orang banyak.

Mahasiswa PhD di ELTE, Hungaria. Dosen Psikologi di UMM, Indonesia.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Comments


EmoticonEmoticon