Ketika baru menikah, saya masih berstatus sebagai mahasiswa dan belum memiliki pekerjaan.
Nah berhubung istri sudah hamil tua, jadi fokus utama saya selepas lulus S2
adalah mencari pekerjaan. Saya ga mau lagi ditanya-tanya lagi “kerja apa
sekarang” ketika anak saya lahir nanti. Singkat cerita dapatlah saya pekerjaan
menjadi dosen di tempat baru, Malang. Tulisan ini berisi pandangan saya
mengenai dua kota tersebut, Jogja dan Malang. Sebelumnya saya jelaskan dulu
posisi saya, saya tinggal di Jogja selama lebih dari 20 tahun dan tinggal di
Malang baru 1 tahun. Segala pandangan subjektif mungkin akan muncul dalam
tulisan ini.
Jogja dan Malang
merupakan dua kota yang sering disebut kota pelajar karena banyaknya mahasiswa
yang berkuliah di kota ini. Hal ini tentu juga karena banyaknya kampus di kedua
kota ini. Jogja memiliki Universitas Gadjah Mada sebagai duta kampus negeri,
sementara Malang memiliki Universitas Brawijaya. Untuk kampus swasta, Jogja
memiliki Universitas Islam Indonesia, sementara Malang memiliki Universitas
Muhammadiyah Malang. Kedua kota ini juga bukan merupakan kota besar (jika
dibandingkan dengan Jakarta atau Surabaya), namun juga tidak bisa disebut kota
kecil. Kedua kota ini memiliki destinasi wisata yang sangat banyak dan bervariasi,
mulai dari wisata budaya, wisata edukasi, wisata alam (pantai dan gunung), dan
wisata kekinian yang harga tiket masuknya mahal. Harga barang-barang dan makanan di kedua kota ini juga tidak
jauh berbeda, ya harga mahasiswa lah. Akses kedua kota ini juga sama-sama
mudah, memiliki bandara, stasiun, terminal, dan sudah dijangkau oleh
transportasi online. Lebar jalan di kedua kota ini juga hampir sama, sama-sama
sempit. Jadi sebenarnya kedua kota ini banyak samanya.
Namun begitu
tentu dilihat dari segi kondisi alam dan kehidupan sosial ekonomi, banyak hal
yang bisa dibandingkan dari kedua kota ini. Mari kita ulas satu per satu
Kondisi Fisik Malang dan Jogja
Kondisi alam
Jogja dan Malang sebenarnya tidak jauh berbeda, sama-sama memiliki pantai dan
gunung. Meskipun demikian suhu udara di Jogja dan di Malang cukup berbeda.
Malang memang terkenal dengan hawa dinginnya. Bagi orang yang menyukai hawa dingin
tentu Malang lebih nyaman ditinggali. Meskipun demikian, cuaca di Malang
cenderung lebih gloomy, dan ini
kadang berdampak pada mood. Sementara di Jogja lebih cerah dan lebih mudah menemukan
sunset bagus di Jogja. Sementara jika dilihat dari tata kota, kedua kota ini
juga sama-sama memiliki jalanan yang sempit, meskipun Jogja masih lebih baik
dalam aspek ini. Pemukiman di Malang lebih banyak dalam wujud perumahan,
sementara di Jogja kampung-kampung non-perumahan masih mendominasi.
Kondisi Sosial Masyarakat
Kata orang,
Jogja dan Solo itu adalah orang Jawa yang sebenarnya. Jogja terkenal dengan
masyarakatnya yang ramah, penuh tata krama, gaya bicaranya halus, dan banyak
basa-basinya. Sementara orang Jawa Timur, terutama Malang, terkenal dengan gaya
bicaranya yang kasar dan ceplas-ceplos. Hal itu mungkin ada benarnya, karena
sepengamatan saya orang Malang memang jarang menggunakan bahasa Jawa halus
dalam percakapan sehari-hari. Tapi stigmanya tidak sampai separah itu kok, banyak
orang Malang yang saya temui juga bersikap santun dan lembut. Kedua kota ini
juga memiliki bahasa gaul dengan bahasa “walikan” (kebalikan)nya. Namun bahasa
walikan di Jogja didasarkan atas rumus aksara Jawa, sementara bahasa walikan di
Malang berdasar aksara latin. Misal nih, kalau kata “Mas” di Jogja akan berubah
menjadi “Dab”, sementara di Malang kata “Mas” akan berubah menjadi “Sam”. Buat
apa? Ya biar terlihat gaul dan kreatif saja.
Gaya hidup orang Jogja dan Malang juga tidak jauh berbeda, meskipun dalam hal ke-selow-an, Jogja jauh lebih selow. Contohnya dalam bekerja, puncak kemacetan di Jogja itu biasanya terjadi jam 7.00 pagi dan jam 17.00 sore, sementara di Malang puncak kemacetan itu jam 6.30 pagi dan jam 18.00. Tahu kan maksudnya? Orang Jogja juga lebih selow soal tata kota, makanya angkringan dan pedagang kaki lima ada dimana-mana, misalnya di alun-alun kota. Biarpun kotor, jorok, semrawut ya gapapa, yang penting semua happy dan kenyang. Sementara kalau di Malang sedikit lebih tertata, makanya ga boleh ada pedagang di alun-alun kota. Ya meskipun bagus, rapi, dan bersih, tapi kalau ga bawa makanan sendiri ya kelaparan.
Gaya hidup orang Jogja dan Malang juga tidak jauh berbeda, meskipun dalam hal ke-selow-an, Jogja jauh lebih selow. Contohnya dalam bekerja, puncak kemacetan di Jogja itu biasanya terjadi jam 7.00 pagi dan jam 17.00 sore, sementara di Malang puncak kemacetan itu jam 6.30 pagi dan jam 18.00. Tahu kan maksudnya? Orang Jogja juga lebih selow soal tata kota, makanya angkringan dan pedagang kaki lima ada dimana-mana, misalnya di alun-alun kota. Biarpun kotor, jorok, semrawut ya gapapa, yang penting semua happy dan kenyang. Sementara kalau di Malang sedikit lebih tertata, makanya ga boleh ada pedagang di alun-alun kota. Ya meskipun bagus, rapi, dan bersih, tapi kalau ga bawa makanan sendiri ya kelaparan.
Harga Barang dan Jasa
Harga barang dan
jasa di kedua kota ini juga tidak jauh berbeda. Misal untuk makanan jadi,
dengan harga 15 ribu itu sudah makan enak lengkap dengan minumannya. Tapi kalau
mau dibandingkan per komponen sepertinya Jogja lebih murah. Misal nih, harga es
teh di Jogja itu rata-rata 2rb, sementara di Malang harganya rata-rata 3rb. Tapi
kalau mau beli bahan makanan mentah, harga di Malang jauuuh lebih murah,
terutama sayur dan buah. Ya jelas, karena di Malang lebih dekat dengan
produsennya. Soal harga jasa ga ada beda.
Bagaimana dengan
harga tanah dan rumah? Keduanya sama-sama muahaaal. Tapi Malang sih masih lebih
mendingan dalam hal ini, dalam radius 15KM dari pusat kota masih masih bisa mencari
tanah seharga 1,5 jt/m. Sementara kalau di Jogja dengan radius yang sama,
harganya sudah di atas 2 jt/m semua. Apalagi kalau dilihat besaran UMK Jogja
dan Malang. Tahun 2020 ini UMK Jogja sebesar 1,8jt, sementara Malang 2,8jt. Itu
tentu masalah besar bagi orang asli Jogja. Namun sepertinya pemangku
kepentingan di Jogja tidak pernah menganggap itu sebagai masalah sehingga
kondisi ini dibiarkan begitu saja. Jogja memang bikin rindu, makanya orang yang
sudah minum airnya Jogja akan selalu memiliki keinginan untuk tinggal di Jogja.
Akibatnya apa? Ya hukum ekonomi berlaku, permintaan tinggi, pewaran terbatas,
maka harga naik. Dan yang bisa beli tanah dan rumah di Jogja adalah orang-orang
dari kota besar, sementara orang Jogja asli yang bekerja di Jogja hanya bisa
ngontrak dan lambat laun akan tergusur. Apalagi Sultan yang lima tahun lalu
mengatakan tidak akan pernah dibangun jalan tol di Jogja, sekarang sudah
berubah dan akan menggusur banyak warganya untuk pembangunan jalan tol. Maka,
tunggulah 15 tahun lagi, Jogja akan kehilangan keistimewaannya.