Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan

Mengurus Visa Reunifikasi Keluarga ke Hungaria


Akhirnya saya sekarang sudah berkumpul kembali bersama anak dan istri di Hungaria. Rasanya sudah sedikit lebih tenang, meskipun itu berarti saya juga harus menyesuaikan Kembali ritme hidup yang sudah tertata sebelumnya. Tulisan ini akan bercerita tentang proses pengurusan visa untuk keluarga, serta hal-hal apa saja yang harus disiapkan untuk reunifikasi keluarga di Hungaria. Tulisan yang bercerita tentang mengurus visa bagi awardee dapat dilihat di sini ya

Tanggal 29 Maret kemarin, akhirnya istri dan anak saya resmi mendarat di Budapest, Hungaria, dan akan tinggal Bersama saya di sini selama masa studi saya. Proses pengurusan visa ke sini untuk istri dan anak sebenarnya tidak terlalu ribet, tapi karena ada masalah dengan akte lahir istri saya, makanya prosesnya jadi sedikit lebih lama. Kami mulai menyiapkan dokumen visa ini sejak Januari 2021 dan baru resmi memperoleh visanya pada awal Maret 2021. Nah dokumen apa saja yang harus disiapkan? Berikut saya berikan check listnya.

NoNama DokumenCeklis
1Form Application Residence Permit (untuk anak dan istri/spouse) 
2Form lampiran family reunifikasi (form ini diisi nama kita, karena merupakan appendix application residence permit istri/spouse) 
3Pas foto standar visa schengen 
4Kartu Keluarga (KK) 
5Akte Kelahiran kita dan keluarga (asli dan legalisir dari kementerian) 
6Buku nikah (asli dan legalisir dari kementerian) 
7Certificate of employment (bagi yang bekerja) 
8Bank reference 
9Paspor (Disiapkan copyannya) 
10Letter of Award dan Letter of Admission 
11Kontrak flat/apartment 
12Landlord statement (menyatakan bahwa memberi izin kepada keluarga kita untuk tinggal di flat yang disewa) 
13Invitation Letter (ini inisiatif buat sendiri aja, tidak ada format khusus) 
14Asuransi (saya pakai Sinarmas yang bisa dibeli di Traveloka) 
15Itinerary (booking tiket keluarga dari CGK-BUD) 
16Buat jaga-jaga, bawa ijazah istri aja beserta copyannya, klo dibutuhkan penyesuaian data 

Nah bagaimana proses mengurus dokumennya? Berikut saya jelaskan detailnya. Informasi resmi sebenarnya bisa dibaca di halaman ini http://www.oif.gov.hu/index.php?option=com_k2&view=item&layout=item&id=54&Itemid=808&lang=en. Termasuk untuk form nomer 1 dan 2 pada checklist, bisa didownload di halaman tersebut. Untuk form nomer 1 diisi dengan identitas istri dan anak kita, sementara untuk form lampiran nomer 2 diisi dengan identitas kita sebagai pihak yang mengundang.

Langkah pertama tentu melengkapi form aplikasi nomer 1 dan 2. Selain itu yang butuh waktu lama adalah menyiapkan dokumen akta lahir, kartu keluarga, dan buku nikah yang dilegalisir oleh kemenlu. Sayangnya Kemenlu hanya mau melegalisir jika dokumen tersebut sudah dilegalisir oleh kementrian yang menerbitkan. Untuk akte dan KK kita minta legalisir terlebih dahulu ke Kemenkumham, sementara buku nikah dilegalisir ke kemenag. Kemarin untungnya ada kenalan yang bekerja di Kemenkumham, jadi bisa dimintain tolong sekalian untuk mengurus proses legalisir sampai ke kemenlu. Untuk seluruh dokumen istri dan anak (rangkap 3) kemarin menghabiskan biaya sekitar 2 juta Rupiah. Tapi ini masih mending lah, daripada harus ngurus sendiri ke Jakarta bolak-balik.

Proses legalisir ini yang memakan waktu cukup lama kemarin. Apalagi akte lahir istri bermasalah (ada bagian yang ditulis tangan oleh Capil), jadi dari Kemenkumhan tidak mau melegalisir. Terpaksa harus mengurus pembetulan akte ini, padahal yang menerbitkan aktenya dari Jambi, dan istri sekarang tinggal di Jogja. Tapi akhirnya setelah dilempar kesana-kemari masalah terselesaikan. Kalau semua dokumen sudah OK, maksimal 2 minggu lah kita sudah selesai legalisir dokumen.

Kemudian certificate of employee ini juga dibutuhkan, terutama jika masih bekerja. Karena saya masih tercatat sebagai dosen di UMM, jadi saya mintakan surat ke Pak Dekan, sekaligus keterangan bahwa saya masih memperoleh gaji pokok saya karena status saya adalah tugas belajar. Dokumen ini cukup penting, karena pihak imigrasi Hungaria tentu akan memperhitungkan apakah kita mampu menanggung biaya hidup anak istri kita selama tinggal di Hungaria nanti. Kalau pemasukan hanya dari uang beasiswa saja, tentu akan kurang, jadi dokumen ini bisa jadi penguat. Selain itu kita juga menunjukkan bank reference yang menjelaskan bahwa kita memiliki tabungan yang cukup. Untuk bank reference kemarin saya melampirkan dua, satu atas nama istri dari bank di Indonesia, dan satu atas nama saya dari bank di Hungaria. Tidak ada minimal nominal pasti, yang jelas semakin besar semakin baik.

Kemudian siapkan juga paspor yang kadaluwarsanya lebih dari 6 bulan. Kalau kurang dari 6 bulan, mending perpanjang dulu deh. Siapkan juga Letter of Award dari pemberi beasiswa (TPF) dan Letter of Admission dari kampus untuk jaga-jaga. Untuk kontrak flat, pastikan nama kita tertulis sebagai penyewanya. Kalau bisa masukan juga nama anak dan istri dalam kontrak sewa flat. Tapi kalau tidak, mintakan surat pernyataan dari landlord (pemilik flat) bahwa dia memberikan izin kepada anak dan istri kita (sebutkan namanya) untuk tinggal di flat tersebut. Dalam kasus saya kemarin, nama istri dan anak tidak tercantum dalam kontrak, tapi ada di surat pernyataan.

Untuk invitation letter, ini ada banyak versi memang. Ada yang mengatakan kita harus mengurus ke kantor imigrasi di Hungaria untuk dibuatkan invitation letter secara resmi, ada juga yang mengatakan kita bisa buat sendiri. Kalau kasus saya kemarin saya buat sendiri. Jadi hanya membuat surat yang intinya mengundang istri dan anak saya untuk tinggal bersama saya di Hungaria dan menyatakan bahwa seluruh biaya hidup mereka kita tanggung. Dan dengan surat itu oke-oke saja.

Untuk tiket kita bisa beli online. Tapi untuk ngurus visa kita tidak perlu tiket asli, cukup bookingannya saja, yang penting ada tanggal keberangkatannya kapan. Saya kemarin pakai jasa travel agent. Alternatifnya bisa pakai booking.com. untuk asuransi perjalanan, saya pakai Sinarmas yang paket basic visa Schengen, dan setahu saya ini yang paling murah dibanding asuransi perjalanan yang lain. Asuransi ini bisa dibeli di aplikasi Traveloka, harganya 250 ribuan. Beberapa teman juga menyertakan asuransi kesehatan untuk anak istri selama satu bulan pertama tinggal di Hungaria dari asuransi di Hungaria. Tapi dalam kasus saya, saya ga melampirkan itu dan oke-oke saja.

Untuk prosesnya, setelah semua dokumen kita lengkap, kita tinggal membuat janji melalui email dengan kedutaan besar Hungaria di Indonesia untuk wawancara visa. Mereka akan memberikan opsi tanggal dan kita bisa menentukan. Jika tanggal dan jam sudah disepakati, istri tinggal datang ke Jakarta sesuai waktu yang ditentukan dengan membawa semua dokumen yang dipersyaratkan. Anak di bawah 6 tahun tidak perlu ikut hadir ke Jakarta. Wawancara berlangsung cukup santai kok, pewawancaranya juga bisa bahasa Indonesia. Jadi bagi keluarga yang tidak bisa bahasa Inggris, tenang saja. Yang ditanya seputar rencana nanti selama tinggal di Hungaria, misal: mau kerja ga? Mau punya anak lagi ga? Kalau ada anak, anaknya mau sekolah ga? Kita tinggal jawab saja sesuai keadaan diri masing-masing. Selesai wawancara, kita diminta untuk membayar. Pokoknya kemarin kalau dirupihakan, untuk visa anak dan istri kita bayar 3,6 juta, itu sudah termasuk ongkos kirim visa ke alamat rumah kita.

Setelah dua minggu dari wawancara, istri dapat kabar bahwa visa sudah disetujui dan sedang dikirim ke rumah. Besoknya visa langsung nyampai di rumah. Setelah itu tinggal pesen tiket yang fix untuk berangkat ke Hungaria. Kemarin istri sudah dapat harga tiket yang normal, untuk istri dan anak kemarin kena 14 jutaan, dari Jakarta ke Budapest pakai Qatar. Kenapa pakai Qatar? Ini yang paling direkomendasikan kedutaan dan tidak butuh tes PCR. Setelah sampai di Budapest, istri diminta mengisi form Kesehatan dan pernyataan karantina mandiri. Setelah 10 hari menjalani karantina mandiri, barulah kita bisa bebas mengeksplorasi kota Budapest.

Biaya Hidup di Hungaria

Budapest di malam hari

UPDATE PENTING: Tulisan ini dibuat pada tahun 2020, saat kondisi ekonomi masih normal. Dengan kondisi pandemi yang membaik dan perang, beberapa angka yang tertulis dalam tulisan ini sudah tidak relevan lagi. Tulisan yang lebih update bisa diakses di sini 

Selain komponen pendanaan, biasanya informasi yang paling ditanyakan calon pendaftar beasiswa Hungaria adalah berapa biaya hidup rata-rata per bulan di Hungaria? Apakah uang beasiswa yang diterima cukup untuk biaya hidup di sana? Apakah memungkinkan untuk kerja part time sambal kuliah? Tulisan ini mencoba memberikan gambaran atas pertanyaan tersebut.

Biaya hidup di Hungaria sebenarnya jauh lebih murah dibanding biaya hidup di negara lain di Eropa. Biaya hidup ini juga tergantung dari kota dimana kita tinggal. Ada beberapa kota besar yang sering dijadikan tujuan studi mahasiswa, misalnya Budapest, Pesc, Szeged, Debrecen, Miskolc, Gyor, dan Sopron. Tiap kota tentu berbeda-beda, dan yang paling mahal tentu saja di Budapest. Nah berhubung saya tinggalnya di Budapest, jadi tulisan ini akan menjelaskan biaya hidup standar di Kota Budapest. Untuk kota lain tentu lebih murah, terutama untuk hal akomodasi. Supaya lebih memudahkan membayangkan, nilai mata uangnya saya berikan dalam Rupiah.

Makanan

Untuk makanan, saya coba list harga rata-rata makanan yang sering saya beli

Beras: Rp. 17.000/kgAyam paha: Rp. 33.000/kgMinyak goreng: Rp. 28.000/liter
Pasta: Rp. 32.000/kgDaging sapi: Rp. 97.000/kgMie instan: Rp. 4.500/biji
Susu: Rp. 10.000/literKentang: Rp. 9.000/kgIndomie goreng: Rp. 10.000/biji
Roti tawar: Rp. 12.000Bawang Bombay: 9.500/kgSamyang: Rp. 20.000/biji
Telur: Rp. 50.000/30 bijiBawang putih: Rp. 77.000/kgPotato chip: Rp. 150.000/kg
Nugget: Rp. 38.000/500 grApel: Rp. 25.000/kg Gula: Rp. 12.000/kg
Ayam dada: Rp. 50.000/kgJeruk: Rp. 21.000/kg Garam: Rp. 14.000/kg
Ayam sayap: Rp. 29.000/kgSayur beku: Rp. 38.000/kg Kopi hitam: Rp. 40.000/250 gr
Harga makanan di Budapest

Untuk makanan mentah sendiri harganya tidak terlalu berbeda jauh dengan di Indonesia sebenarnya. Hanya saja, kalau makanan beli di luar harganya jauh lebih mahal. Sebagai gambaran, untuk makan di kafe atau kinai (masakan china) rata-rata habis sekitar Rp. 50.000. Untuk ngopi di kafe sekitar Rp. 25.000, tapi kalau ngopi di vending machine rata-rata sekitar Rp. 10.000. Untuk harga makanan pokok di kota lain saya rasa tidak jauh berbeda dengan di Budapest, hanya kalau untuk makan di kafe mungkin sedikit murah.

Bagi saya sendiri, karena sangat jarang makan di luar dan lebih sering masak sendiri, makanya pengeluaran untuk makan tidak terlalu banyak. Jika dirata-rata sebulan hanya habis Rp. 800.000 untuk membeli kebutuhan makanan. Kalaupun mau makan yang agak mewah, tidak lebih dari 1 juta lah untuk kebutuhan makan.

Akomodasi

Ini yang paling membedakan Budapest dengan kota besar lainnya. Akomodasi di Budapest jauh lebih mahal. Kalau tinggal di dormitory, bagi penerima beasiswa sih gratis. Tapi kalau mau tinggal di luar dormitory, ada beberapa opsi. Kalau mau sewa flat private (misal karena ingin bawa keluarga), sewa per bulan rata-rata 5,5 juta/bulan, itu belum termasuk bill listrik dan gas. Kalau ditotal ya rata-rata 6,6/bulan juta lah untuk sewa flat yang bisa ditinggali keluarga kecil (anak satu). Ini yang bikin shock, di Malang harga segitu sudah sewa setahun tuh. Inipun sebenarnya harga pandemic, karena lagi sepi harga sewa flat agak turun. Kalau harga normal katanya bisa sampai 7-8jt/bulan. kalau mau sewa kamar saja, pengeluaran total sekitar 4 juta/bulan.

Sebagai informasi, sebagai penerima beasiswa, kalau kita memutuskan tinggal di luar dormitory, Stipendium Hungaricum memberikan subsidi akomodasi sebesar 1,9 juta/bulan. Jadi bisa dihitung sendiri, berapa uang yang harus ditambahkan agar cukup untuk tinggal di luar dormitory. Ini lah yang sering menjadi penghalang mahasiswa untuk membawa keluarganya ikut mendampingi kuliah di Hungaria. Kalau harus tinggal di luar dormitory, harganya mahal sekali dan uang beasiswa saja tidak akan cukup.

Transportasi

Untuk pelajar, kita bisa beli tiket transportasi bulanan seharga Rp. 170.000. Tiket ini bisa digunakan untuk moda transportasi apapun, baik dengan metro, bus, tram, trolley bus, atau kereta selama masih di wilayah Budapest. Kalau bukan student, harganya tiket bulanannya jauh lebih mahal, yaitu Rp 450.000 sebulan.

Pulsa

Untuk pulsa saya sih jarang beli paket yang banyak, karena sudah ada wifi di dormitory. Saya biasanya membeli paket yang 500MB seharga Rp. 37.000/bulan, atau kalau dirasa akan banyak keluar-keluar, saya paketkan yang 1GB seharga Rp. 55.000/bulan. Tapi tenang, di luar di tempat umum juga banyak wifi gratis kok. Masih sangat terjangkau lah

Nah itu tadi hitungan kasar pengeluaran per bulan untuk tinggal di Budapest. Berdasarkan pengalaman saya selama empat bulan ini, pengeluaran total saya sendiri jika tinggal di dormitory rata-rata 1,8 juta/bulan. Tapi itu karena saya tinggal di dorm ya, jadi tidak mikir biaya akomodasi. Kalau tinggal di flat sendiri bersama keluarga, ya bisa dibayangkan saja, kalau realistis rata-rata pengeluaran total jika tinggal di flat sekitar 10 juta/bulan.

Apakah uang beasiswa dari Stipendium Hungaricum cukup?

Cukup, tapi tergantung biaya hidupmu. Pengeluaran per-bulan saya selama tinggal di dormitory ini hanya 1,8 juga, sementara uang beasiswa yang saya terima 6,7 juta. Jadi masih ada sisa 5 juta untuk ditabung. Tapi tabungan ini akan banyak terkuras kalau mau mengajak keluarga, karena harus beli tiket pesawat dan pindah ke flat sendiri. Bagi yang master pun kalau tinggal di dormitory masih cukup, mereka menerima uang beasiswa 2 juta. Dengan asumsi gaya hidupnya sama dengan saya, mereka juga masih bisa menabung 300 ribu. Tapi balik lagi tergantung gaya hidup dan ada kejadian tidak terduga ga.

Masalahnya, kapasitas dormitory biasanya terbatas, dan kampus akan memprioritaskan mahasiswa baru yang boleh tinggal di dormitory. Jadi kalau pahit-pahitnya kita ga dapat kuota dormitory dan harus cabut, ya harus pikir otak supaya biaya akomodasinya cukup. Tapi di luar sana ada juga kok dormitory miliki swasta yang harganya juga hanya sekitar 2,5 juta sebulan. Jadi masih cukup lah.

Nah bagi mahasiswa yang mau membawa keluarga bagaimana? Sayangnya keluarga tidak ditanggung oleh Stipendium Hungaricum, jadi harus pandai-pandai mengatur uang. Bagi mahasiswa master, dengan berat hati saya mengatakan mustahil untuk bisa membawa keluarga. Kecuali kalian punya pekerjaan sampingan yang gajinya di atas 10 juta. Bagi mahasiswa PhD sebenarnya masih mungkin, tapi dengan syarat, kalian punya pemasukan lain selain dari uang beasiswa kalau mau aman. Kalau hanya mengandalkan uang beasiswa rasanya tidak akan cukup. Uang beasiswa total yang diterima (plus subsidi akomodasi) itu sekitar 8,5 juta/bulan, sementara pengeluaran total kalau mau realistis ya sekitar 10 juta/bulan untuk konsumsi, akomodasi, transportasi, pulsa, asuransi, dll. Makanya mahasiswa PhD yang mengajak keluarga, biasanya punya pekerjaan di Indonesia (kebanyakan dosen), dan mereka masih menerima gaji karena statusnya tugas belajar. Dengan begitu mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup tinggal di Hungaria Bersama keluarga. Tapi untuk tahun ke 3 dan 4 (kalau lulus complex exam), uang beasiswa untuk PhD naik kok, totalnya jadi 10,5 juta/bulan.

Jadi kalau dibilang beasiswa ini minimalis, ya ada benarnya tapi juga tidak selalu benar. Tapi bagi saya beasiswa ini cukup lah, toh tujuan saya ke sini bukan mencari uang, tapi mencari ilmu dan gelar PhD. Bagi teman-teman yang mau menambah pengalaman dan pemasukan juga bisa kerja part time di sini. Bayarannya juga lumayan, bisa lah dapat 2 juta /bulan. Tapi ya harus pinter bagi waktu dan tenaga karena kuliah saja sudah capek. Masalahnya orang Hungaria tidak semua bisa berbahasa Inggris, jadi akan jadi tantangan juga sih kerja part time di sini kalau masih belum bisa bahasa Hungaria dasar.  

Simak juga penjelasannya di Youtube saya di https://www.youtube.com/watch?v=Lwp3g2PLpC8

The Next Level of Our Marriage

Saya dan Yuni sudah menikah hampir tiga tahun, dan selama itu pula kami selalu bersama. Dia selalu menemani setiap fase perjuangan dalam hidup saya. Saya menikahinya dalam keadaan saya bukanlah siapa-siapa. Saat itu saya hanya mahasiswa S2 semester 3. Saya tidak memiliki pekerjaan dan hanya mengandalkan uang beasiswa sebagai penopang hidup kami. Dia bukan pacar saya, tapi saya mengenalnya sebagai teman baik saya. Saya mengenalnya sebagai orang yang ceria dan sederhana, dan entah mengapa saya yakin hari-hari penuh perjuangan saya nanti akan lebih tenang jika dilalui bersamanya. Suatu hari, saya menyatakan ingin menikahinya. Dia tidak mengiyakan, tapi juga tidak menolak. Dia hanya ingin saya berbicara langsung kepada orang tuanya, sayapun memberanikan diri mendatangi kedua orang tuanya di Sarolangun, Jambi.

Singkat cerita (meskipun sebenarnya sangat berliku), saya akhirnya mendapat restu dari orang tua saya dan orang tua Yuni untuk menikah. Sayapun menguras seluruh tabungan yang saya kumpulkan dari dua tahun bekerja di Sulawesi dan Jakarta untuk menikahinya. Saat itu tabungan saya benar-benar habis, hanya tersisa untuk mengontrak sebuah rumah sederhana beserta perabotannya. Kami memulai semuanya dari nol. Setelah satu bulan menikah, Yuni hamil, kami sangat bahagia. Kehamilannya tidak mudah, empat bulan pertama dia sering mual-muntah hingga berat badannya turun derastis. Sangat menderita melihat dia menderita, apalagi kami memiliki tanggungan menyelesaikan tesis kami. Selama empat bulan, dia hampir tidak menyentuh tesisnya sama sekali. Syukurlah kami bisa melewati fase sulit ini dan bulan-bulan berikutnya, kami merasakan betapa indahnya pernikahan kami. Kemana-mana selalu berdua, mengerjakan tesis bersama, ambil data bersama, dan saling menyemangati untuk menyelesaikan tesis kami. Hingga akhirnya kami bisa menyelesaikan tanggung jawab kami dan wisuda bersama, di usia kandungannya yang ke-7 bulan.   

Wisuda tentu menyenangkan, tetapi berarti juga membuat masalah baru bagi saya. Saya sudah kehilangan status mahasiswa saya, kehilangan beasiswa saya, dan menyandang status pengangguran. Untung saat itu saya masih mendapat beberapa project di Fakultas Psikologi UGM, sehingga kami masih bisa bertahan. Idealisme membatasi saya saat itu karena saya hanya mau menjadi dosen, sementara lowongan dosen tidak banyak saat itu. Saat itu saya sedang proses seleksi di UMS, tinggal satu tahap lagi, sampai akhirnya ada tawaran untuk menjadi dosen di UMM. Saya tidak berpikir untung-rugi di antara kedua pilihan yang ada saat itu, saya hanya berpikir mana yang memberi saya kepastian terlebih dahulu, itulah yang saya pilih. Saya sudah cukup muak ditanya petugas KUA ketika akan menikah, “Masnya pekerjaannya apa?”, dan saya tidak mau ketika anakku lahir status saya masih tidak jelas. Di UMM saya ditawari menjadi dosen Luar Biasa (LB) dan berkesempatan diikutkan seleksi untuk menjadi dosen DPK, sementara di UMS saya belum tahu kapan proses seleksi lanjutan akan dilaksanakan. Sayapun akhirnya memilih pindah ke Malang dengan kondisi Yuni mengandung 8 bulan. Kami tidak memiliki saudara atau teman sama sekali di Malang, tetapi begitu kami sampai, kami serasa ditolong oleh banyak orang sampai akhirnya Zidan terlahir ke dunia.

Selanjutnya, kami menjalani hari-hari yang menyenangkan sebagaimana sebuah keluarga kecil yang normal. Tinggal bersama, membesarkan anak bersama, memiliki status dan rutinitas sebagaimana rumah tangga normal lainnya. Kami bukan tidak pernah bertengkar, ngambek-ngambekan (seringnya dia sih yang ngambek), dan berbeda pendapat; tapi pada akhirnya kami bisa menyelesaikannya. Kami berbagi mimpi bersama, bagaimana nanti kita akan membangun rumah, bagaimana karir kita nantinya, kapan kita akan berangkat haji bersama, bagaimana kita membesarkan anak kita. Saya bukanlah orang yang romantis yang sering memberi surprise atau hadiah, tapi dia juga bukan orang yang suka menuntut. Kami belum memiliki rumah, mobil, dan standar materi keluarga ideal lainnya. Gaji bulanan yang saya terima juga tidak besar, dan dengan gaji ini tidak terbayang kapan bisa terkumpul untuk membangun rumah kita sendiri. Namun dalam kesederhanaan, saya merasa hidup bersamanya dan satu anak kami adalah sesuatu yang sempurna.  

Sampai akhirnya, di tahun kedua kami tinggal di Malang, saya memustukan untuk meninggalkannya. Saya mendapat beasiswa untuk sekolah S3 di Eropa, namun tidak memungkinkan untuk mengajaknya pergi bersama saat ini. Beasiswa ini bukanlah beasiswa yang memberikan keuntungan finansial yang banyak, hanya dapat dikatakan cukup. Akhirnya Yuni dan Zidan kembali ke Jogja dan saya berangkat ke Hungaria. Dan untuk kali pertama dalam kehidupan pernikahan kami, kami menjalani Long Distance Relationship (LDR). Saya sendiri punya pengalaman tidak enak dengan LDR, saya mengakhiri hubungan dengan satu-satunya mantan pacar dalam hidup saya salah satunya dipicu karena LDR. Tapi LDR dalam pernikahan jelas berbeda. Di antara aspek-aspek cinta yang lain seperti keintiman dan gairah, aspek komitmen menjadi satu pembeda utamanya. Komitmen membawa banyak gerbong diantaranya yaity tanggung jawab, dan membuang gerbong lainnya yaitu drama. Dan di sinilah kita sekarang, pada level lanjutan dalam pernikahan kita.

Kami sudah diuji dengan kesederhanaan, dan sekarang kami diuji dengan jarak. Di saat dia membutuhkan saya untuk mengasuh anak bersama, dan di saat saya membutuhkan dia untuk menemani masa-masa sulit beradaptasi tinggal di Eropa, kami tidak saling hadir secara fisik. Keputusan untuk lanjut sekolah ke Eropa adalah keputusan bersama, demi mimpi bersama. Dan selama mimpi itu masih menjadi mimpi bersama, kami akan bertahan, lebih kuat lagi. Jadi LDR ini adalah misi untuk menguji komitmen dan tanggung jawab kami bersama dalam menggapai mimpi bersama. Bukankah kebahagiaan hanya akan nyata jika dibagikan, jadi buat apa mengejar kebahagiaan sendiri. Jarak sudah memberi banyak pelajaran tentang ruang rindu, ruang sendiri, dan sepi. Tapi seperti kata sebuah lagu, kita hanya akan rindu matahari saat turun salju, hanya akan membenci jalanan saat rindu rumah, dan hanya akan tahu betapa kita mencitai orang saat kita berpisah dengannya. Dan malam ini saya merindukannya, sangat merindukannya. Yuni Kartika dan Ahmad Zidan Baraka, semoga semesta segera mempersatukan kita bertiga.

Dan tunggulah aku di sana

Memecahkan celengan rinduku

Berboncengan denganmu mengelilingi kota

Menikmati surya perlahan menghilang

Celengan rindu – Fiersa Besari

Perbandingan Hidup di Jogja dan Malang



Ketika baru menikah, saya masih berstatus sebagai mahasiswa dan belum memiliki pekerjaan. Nah berhubung istri sudah hamil tua, jadi fokus utama saya selepas lulus S2 adalah mencari pekerjaan. Saya ga mau lagi ditanya-tanya lagi “kerja apa sekarang” ketika anak saya lahir nanti. Singkat cerita dapatlah saya pekerjaan menjadi dosen di tempat baru, Malang. Tulisan ini berisi pandangan saya mengenai dua kota tersebut, Jogja dan Malang. Sebelumnya saya jelaskan dulu posisi saya, saya tinggal di Jogja selama lebih dari 20 tahun dan tinggal di Malang baru 1 tahun. Segala pandangan subjektif mungkin akan muncul dalam tulisan ini.

Jogja dan Malang merupakan dua kota yang sering disebut kota pelajar karena banyaknya mahasiswa yang berkuliah di kota ini. Hal ini tentu juga karena banyaknya kampus di kedua kota ini. Jogja memiliki Universitas Gadjah Mada sebagai duta kampus negeri, sementara Malang memiliki Universitas Brawijaya. Untuk kampus swasta, Jogja memiliki Universitas Islam Indonesia, sementara Malang memiliki Universitas Muhammadiyah Malang. Kedua kota ini juga bukan merupakan kota besar (jika dibandingkan dengan Jakarta atau Surabaya), namun juga tidak bisa disebut kota kecil. Kedua kota ini memiliki destinasi wisata yang sangat banyak dan bervariasi, mulai dari wisata budaya, wisata edukasi, wisata alam (pantai dan gunung), dan wisata kekinian yang harga tiket masuknya mahal. Harga barang-barang dan makanan di kedua kota ini juga tidak jauh berbeda, ya harga mahasiswa lah. Akses kedua kota ini juga sama-sama mudah, memiliki bandara, stasiun, terminal, dan sudah dijangkau oleh transportasi online. Lebar jalan di kedua kota ini juga hampir sama, sama-sama sempit. Jadi sebenarnya kedua kota ini banyak samanya.

Namun begitu tentu dilihat dari segi kondisi alam dan kehidupan sosial ekonomi, banyak hal yang bisa dibandingkan dari kedua kota ini. Mari kita ulas satu per satu

Kondisi Fisik Malang dan Jogja
Kondisi alam Jogja dan Malang sebenarnya tidak jauh berbeda, sama-sama memiliki pantai dan gunung. Meskipun demikian suhu udara di Jogja dan di Malang cukup berbeda. Malang memang terkenal dengan hawa dinginnya. Bagi orang yang menyukai hawa dingin tentu Malang lebih nyaman ditinggali. Meskipun demikian, cuaca di Malang cenderung lebih gloomy, dan ini kadang berdampak pada mood. Sementara di Jogja lebih cerah dan lebih mudah menemukan sunset bagus di Jogja. Sementara jika dilihat dari tata kota, kedua kota ini juga sama-sama memiliki jalanan yang sempit, meskipun Jogja masih lebih baik dalam aspek ini. Pemukiman di Malang lebih banyak dalam wujud perumahan, sementara di Jogja kampung-kampung non-perumahan masih mendominasi.

Kondisi Sosial Masyarakat
Kata orang, Jogja dan Solo itu adalah orang Jawa yang sebenarnya. Jogja terkenal dengan masyarakatnya yang ramah, penuh tata krama, gaya bicaranya halus, dan banyak basa-basinya. Sementara orang Jawa Timur, terutama Malang, terkenal dengan gaya bicaranya yang kasar dan ceplas-ceplos. Hal itu mungkin ada benarnya, karena sepengamatan saya orang Malang memang jarang menggunakan bahasa Jawa halus dalam percakapan sehari-hari. Tapi stigmanya tidak sampai separah itu kok, banyak orang Malang yang saya temui juga bersikap santun dan lembut. Kedua kota ini juga memiliki bahasa gaul dengan bahasa “walikan” (kebalikan)nya. Namun bahasa walikan di Jogja didasarkan atas rumus aksara Jawa, sementara bahasa walikan di Malang berdasar aksara latin. Misal nih, kalau kata “Mas” di Jogja akan berubah menjadi “Dab”, sementara di Malang kata “Mas” akan berubah menjadi “Sam”. Buat apa? Ya biar terlihat gaul dan kreatif saja. 

Gaya hidup orang Jogja dan Malang juga tidak jauh berbeda, meskipun dalam hal ke-selow-an, Jogja jauh lebih selow. Contohnya dalam bekerja, puncak kemacetan di Jogja itu biasanya terjadi jam 7.00 pagi dan jam 17.00 sore, sementara di Malang puncak kemacetan itu jam 6.30 pagi dan jam 18.00. Tahu kan maksudnya? Orang Jogja juga lebih selow soal tata kota, makanya angkringan dan pedagang kaki lima ada dimana-mana, misalnya di alun-alun kota. Biarpun kotor, jorok, semrawut ya gapapa, yang penting semua happy dan kenyang. Sementara kalau di Malang sedikit lebih tertata, makanya ga boleh ada pedagang di alun-alun kota. Ya meskipun bagus, rapi, dan bersih, tapi kalau ga bawa makanan sendiri ya kelaparan.

Harga Barang dan Jasa
Harga barang dan jasa di kedua kota ini juga tidak jauh berbeda. Misal untuk makanan jadi, dengan harga 15 ribu itu sudah makan enak lengkap dengan minumannya. Tapi kalau mau dibandingkan per komponen sepertinya Jogja lebih murah. Misal nih, harga es teh di Jogja itu rata-rata 2rb, sementara di Malang harganya rata-rata 3rb. Tapi kalau mau beli bahan makanan mentah, harga di Malang jauuuh lebih murah, terutama sayur dan buah. Ya jelas, karena di Malang lebih dekat dengan produsennya. Soal harga jasa ga ada beda.

Bagaimana dengan harga tanah dan rumah? Keduanya sama-sama muahaaal. Tapi Malang sih masih lebih mendingan dalam hal ini, dalam radius 15KM dari pusat kota masih masih bisa mencari tanah seharga 1,5 jt/m. Sementara kalau di Jogja dengan radius yang sama, harganya sudah di atas 2 jt/m semua. Apalagi kalau dilihat besaran UMK Jogja dan Malang. Tahun 2020 ini UMK Jogja sebesar 1,8jt, sementara Malang 2,8jt. Itu tentu masalah besar bagi orang asli Jogja. Namun sepertinya pemangku kepentingan di Jogja tidak pernah menganggap itu sebagai masalah sehingga kondisi ini dibiarkan begitu saja. Jogja memang bikin rindu, makanya orang yang sudah minum airnya Jogja akan selalu memiliki keinginan untuk tinggal di Jogja. Akibatnya apa? Ya hukum ekonomi berlaku, permintaan tinggi, pewaran terbatas, maka harga naik. Dan yang bisa beli tanah dan rumah di Jogja adalah orang-orang dari kota besar, sementara orang Jogja asli yang bekerja di Jogja hanya bisa ngontrak dan lambat laun akan tergusur. Apalagi Sultan yang lima tahun lalu mengatakan tidak akan pernah dibangun jalan tol di Jogja, sekarang sudah berubah dan akan menggusur banyak warganya untuk pembangunan jalan tol. Maka, tunggulah 15 tahun lagi, Jogja akan kehilangan keistimewaannya.