Tampilkan postingan dengan label dosen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dosen. Tampilkan semua postingan

Review Perbandingan Beasiswa LPDP dan Stipendium Hungaricum

Sebenarnya perbandingan beasiswa Stipendium Hungaricum dan LPDP ini tidak bisa apple to apple, karena memang sasaran dan tempat studinya juga berbeda. LPDP tidak memberikan beasiswa bagi orang yang mau kuliah di Hungaria, karena memang universitas di Hungaria tidak masuk list dari LPDP. Dari segi pemberi dana juga sangat berbeda, LPDP berasal dana abadi pendidikan pemerintah Indonesia, sementara Stipendium Hungaricum didanai oleh Pemerintah Hungaria, jadi pasti kepentingannya berbeda. Tetapi berhubung saya memiliki pengalaman sebagai awardee kedua beasiswa ini, maka tulisan ini akan membahas perbandingan kedua beasiswa ini ditinjau dari berbagai aspek.

Desclaimer

Review perbandingan ini didasarkan atas pengalaman pribadi saya sebagai penerima beasiswa master dalam negeri LPDP tahun 2016 dan beasiswa doktoral Stipendium Hungaricum tahun 2020. Kebijakan setelah tahun tersebut mungkin sudah berubah. Perbandingan ini juga atas pengalaman saya pribadi, jadi unsur subjektivitas mungkin akan muncul dalam review ini.

Tujuan beasiswa

Karena pemberi beasiswanya berbeda, tujuannya pun pasti berbeda. LPDP didanai dari pemerintah Indonesia, jadi jelas tujuannya adalah investasi SDM unggul agar nanti bisa berkontribusi membangun Indonesia. Jadi pastikan saja jiwa nasionalismemu cukup tinggi dan setia pada NKRI. Setelah selesai studi, awardee wajib pulang dan mengabdi di Indonesia.

Kalau Stipendium Hungaricum didanai pemerintah Hungaria, tujuannya adalah internasionalisasi Pendidikan di Hungaria. Jadi saat ini memang universitas di Hungaria rangkingnya tidak terlalu menggembirakan, hanya berkisar 500an dunia. Masih kalah jauh kalau dibanding kampus-kampus di Inggris, Amerika, Belanda, atau Australia. Jadi untuk menjadi awardee kamu ga perlu nasionalis banget, selesai studi tidak ada kewajiban pulang ke Indonesia, langsung pindah kewarganegaraanpun bisa, kalau ada yang mau menerima kamu.

Besaran beasiswa

Informasi ini yang sebenarnya kalian cari kan? Kedua beasiswa ini sama-sama mengcover penuh biaya studi. Kalau untuk besaran, sudah bisa disepakati bahwa LPDP lebih menggiurkan. Sebagai gambaran, yang saya peroleh sebagai awardee beasiswa master di UGM.

  • Living allowance bulanan yang saya terima 3,5jt/bulan (itu sudah 2x UMR di Jogja).
  • Biaya kedatangan/Settlement allowance (2x living allowance), tapi saya dapat karena asli Jogja.
  • Uang buku 10 juta/tahun
  • Dana untuk konferensi internasional (maksimal 15 juta),
  • Dana penelitian (maksimal 15 juta),
  • Uang transportasi saat berangkat dan pulang selesai studi
  • Tunjangan buat keluarga di tahun kedua (updatenya sih sekarang hanya yang doktoral saja yang dapat).
  • Asuransi kesehatan, kalau di Indonesia pakai BPJS kelas 1.

Dengan uang beasiswa itulah makanya saya berani menikah saat kuliah S2. Uang beasiswa ini bahkan jauh lebih besar dari gaji dosen yang saya terima setelah lulus kuliah, jadi agak sedih sih begitu lulus. Besaran beasiswa untuk level doktoral kurang lebih sama, paling dana penelitiannya yang lebih besar. Kalau kalian kuliahnya di luar negeri, uang beasiswanya lebih WOW lagi. Living allowance biasanya disesuaikan dengan living cost kota dimana kita studi. Jadi misal kuliahnya di Kuala Lumpur dan di London, jelas living allowancenya berbeda. Cerita dari teman yang kuliah di Canberra, Australia, kalau kamu bisa hidup sederhana, setidaknya tiap bulan bisa menabung 7 juta rupiah. Jadi begitu pulang bisa buat DP rumah lah.

Sementara untuk beasiswa Stipendium Hungaricum, yang saya peroleh sebagai awardee beasiswa doktoral di kota Budapest.

  • Living allowance bulanan 140.000 HUF untuk tahun 1-2 (sekitar 6,6 juta rupiah), untuk tahun 3-4 jadi 180.000 HUF (sekitar 8,5 juta rupiah).
  • Tinggal di asrama kampus gratis, atau subsidi akomodasi 40.000 HUF (sekitar 1,9 juta rupiah) jika memutuskan tinggal di luar asrama. FYI, harga sewa private flat per-bulan all in di Budapest rata-rata 140.000HUF/bulan. Kalau sewa kamar rata-rata 80.000HUF/bulan.
  • Asuransi Kesehatan

Biaya pesawat, uang penelitian, uang konferensi, tunjangan keluarga tidak masuk dalam komponen beasiswa ini. Jadi perlu strategi lain buat mencukupi kebutuhan tersebut. Biaya hidup ini tergantung kota juga, kalau di Budapest relatif lebih mahal. Untuk level master dan bachelor, biaya living allowancenya hanya 47.000HUF/bulan. Apakah uang segitu cukup? Sangat cukup, tapi tergantung dengan gaya hidup masing-masing. Harga bahan baku makanan di sini Budapest cukup murah, kalau tiap hari masak, uang segitu sudah lebih dari cukup. Saya selama dua bulan awal tinggal di Budapest hanya mengeluarkan sekitar 4,6 juta, atau kalau dirata-rata 2,3jt/bulan. Tapi itu juga kan karena beli perlengkapan rumah tangga.

Persyaratan mendaftar dan proses seleksi

Nah kalau untuk urusan ini, beasiswa Stipendium Hungaricum lebih unggul. Proses pendaftaran dan seleksi beasiswa LPDP sangat kompetitif menurut saya. Jaman saya, proses diawali dari pengumpulan berkas dan membuat esai. Berkasnya cukup banyak dan verifikasinya cukup ketat. Seingat saya dulu selain syarat standar (seperti form pendaftaran, ijazah, TOEFL/IELTS, dan surat rekomendasi) ada juga syarat surat bebas narkoba dan TBC, SKCK (ini sepertinya sekarang sudah tidak ada), dan bikin esai yang cukup banyak. Setelah lolos seleksi administrasi, ada bikin esai on the spot, FGD, dan wawancara (yang terbaru katanya ada tes online juga sebelum wawancara). Selain menyiapkan berkas untuk daftar beasiswanya, kita juga harus mendaftar ke universitas secara terpisah, meskipun syarat untuk daftar beasiswa tidak harus dapat LoA. Nah masalahnya, kadang sudah diterima universitasnya, eh beasiswanya ga lolos. Atau sebaliknya, udah dapat beasiswanya, eh universitasnya ga lolos.

Sementara beasiswa Stipendium Hungaricum menurut saya syaratnya lebih sederhana. Saat saya mendaftar, beasiswa ini belum terlalu terkenal dan pendaftarnya belum terlalu banyak, jadi kompetisinya tidak terlalu ketat. Beberapa berkas boleh nyusul kalau sudah diterima saja, seperti TOEFL/IELTS dan surat keterangan sehat (ini bahkan sekarang tidak diwajibkan). Proses seleksi juga lebih enak, karena ketika apply untuk beasiswa, secara otomatis akan diikutkan seleksi masuk universitasnya. Prosesnya kurang lebih sama dengan LPDP, seleksi administrasi, rekomendasi dari dikti, lalu seleksi dari universitas. Seleksi dari universitas ini beda-beda, tergantung programnya. Kalau saya kemarin hanya wawancara saja, dan itu wawancara yang sangat positif dan apresiatif. Berbeda dengan wawancara LPDP yang investigatif.

Universitas tempat belajar

LPDP hanya memberi beasiswa untuk belajar di kampus dan program yang masuk dalam list LPDP, dan yang masuk list ini biasanya setidaknya universitas top 200 dunia. Kalau untuk beasiswa yang dalam negeri juga kampusnya harus akreditasi A dan programnya juga akreditasi A. Jadi jelas tempat studinya adalah kampus unggulan. Sementara Stipendium Hungaricum tempat studinya ya kampus di Hungaria. Kualitasnya bervariasi, ada yang bagus banget ada juga yang biasa saja. Secara rangking dunia mungkin tidak terlalu tinggi, sekitar 500an. Tapi beberapa program, seperti tempat saya kuliah, di Psikologi ELTE, rangkingnya cukup bagus yakni 200an dunia. FYI, tidak ada program Psikologi di Indonesia yang menembus 500 besar dunia versi THE.

Itu tadi sekilas review dua beasiswa yang sudah memberi kesempatan saya untuk sekolah lagi. Pada dasarnya, jika mempertimbangkan benefit yang diperoleh, jelas LPDP jauh lebih unggul dibanding Stipendium Hungaricum. Tapi jika mempertimbangkan peluang lolos, Stipendium Hungaricum lebih unggul. Tapi apapun beasiswanya, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita memanfaatkan kesempatan belajar ini untuk mengembangkan diri kita. Dan pada akhirnya, kontribusi apa yang bisa kita berikan kepada masyarakat lebih penting nilainya daripada apapun. Pengalaman saya mendaftar beasiswa dari pemerintah Hungaria, mulai dari mencari supervisor, seleksi universitas, sampai mengurus visa bisa disimak di sini (Part 1, Part 2, Part 3).

Menjadi Mahasiswa PhD di Hungaria: Kesan Pertama


Sudah satu bulan saya tinggal di Budapest untuk melanjutkan studi PhD saya di kota ini. Saya mengambil kuliah di Doctoral School of Psychology di Eotvos Lorand University (ELTE) pada program Cognitive Psychology. Tulisan ini akan bercerita tentang kehidupan seorang PhD student di Hungaria. Tentu saja, setiap orang mengalami hal yang berbeda, dan tulisan ini adalah subjektif dari pandangan saya saat ini, jadi jangan digeneralisir dan bisa jadi pandangan ini juga akan berubah seiring berjalannya waktu.

Hungaria sepertinya memang masih belum menjadi tujuan favorit mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan kuliah. Baru tiga tahun belakangan ini beasiswa dari Hungaria mulai terdengar namanya, itupun selalu kuotanya tidak terisi penuh. Selain masalah bahasa dan tradisi, rangking universitas di Hungaria juga mungkin jadi pertimbangan. Rangking universitas di Hungaria memang tidak terlalu tinggi, kampus favorit di sini hanya nangkring di peringkat 500-an dunia. Tapi jika dilihat per bidang studi, banyak bidang studi tertentu yang peringkatkan masuk 100 besar dunia. Seperti kampus saya, ELTE, secara universitas rangking versi QS setara dengan Unair. Tapi jika dilihat bidang Psikologi, rangkingnya jauh di atas kampus di Indonesia, yaitu 200. Soal rangking ini juga balik lagi versi siapa sih, kalau versi THE atau CWUR rangkingnya jauh di atas universitas di Indonesia.

Sistem perkuliahan di Hungaria untuk jenjang PhD ini sedikit berbeda dengan negara-negara lainnya di Eropa. Di Belanda, Jerman, Swedia, atau Norway mahasiswa PhD biasanya dianggap sebagai pekerja yang pekerjaan utama adalah meneliti, Jadi mereka tidak wajib ikut kuliah di kelas. Tapi di Hungaria mirip seperti di Amerika atau Indonesia, kita masih diwajibkan mengikuti perkuliahan di kelas selama empat semester. Tapi di empat semester awal ini kita juga sudah harus memulai riset kita, setidaknya untuk mematangkan proposal disertasi kita. Jadi dua tahun ini kerjanya saling tumpeng tindih, kuliah dan penelitian. Di akhir semester empat kita ada complex exam, ini semacam ujian komprehensif untuk menentukan apakah kita layak untuk lanjut ke tahap berikutnya atau tidak. Jika lolos, kita baru bisa disebut PhD candidate, jika tidak, sorry to say perjalanan PhD kita berakhir.

Saya kuliah dengan beasiswa Stipendium Hungaricum, jadi jatah kita hanya empat tahun. Sayangnya berdasarkan cerita senior, sampai saat ini sangat sedikit mahasiswa yang bisa lulus dalam waktu empat tahun. Tapi ini tergantung dari kampus. Di ELTE untuk bisa mendaftar ujian disertasi, kita diwajibkan memiliki minimal tiga publikasi di jurnal (yang semuanya terindeks Scopus atau WoS) yang harus sesuai dengan topik disertasi kita, dan dua dari tiga publikasi itu haruslah empirical research. Publikasi ini juga harus dikutip dalam disertasi. Tentu saja syarat ini yang menjadi penghambat karena proses publikasi di jurnal top ini memakan waktu cukup panjang, bisa lebih dari setahun.

Perkuliah untuk mahasiswa PhD ini tidak seintensif mahasiswa master. Semester ini saya hanya mengambil tiga mata kuliah, namun tiap mata kuliah bobotnya 7 ETCS. Namun kuliah tatap muka (online/offline) rata-rata dilaksanakan hanya dua minggu sekali. Sisanya kita lebih banyak diberikan project seperti merivew jurnal, mengkritisi disertasi, atau menulis artikel. Tiap perkuliahan diisi dengan presentasi mahasiswa secara bergantian. Jadi kalau dilihat-lihat mahasiswa PhD ini jauh lebih longgar waktunya dibanding mahasiswa master. Jadwal kuliah juga sangat fleksibel, tergantung professor yang mengajar. Jadi kuliah PhD ini sangat tidak terstruktur, dan di situlah kadang jebakannya, kalau kita terlena bisa-bisa terbawa suasana santai.

Untuk perkuliahan sendiri lebih santai. Professor di sini sangat humble, lebih dekat dengan mahasiswa dan tidak memposisikan diri sebagai dewa. Suasana perkuliahan juga santai, dengan pakaian yang santai, lokasi yang santai (pernah saya kuliah di cafe), dan lebih banyak diskusi dibanding mendengarkan dosen ceramah. Tapi soal standar etika tetap harus dijaga, misal jika berhalangan hadir tetap harus memberi kabar ke dosen pengampu. Soal kehadiran ini memang tergantung dosennya, ada yang membebaskan asalkan seluruh tugas dikerjakan, tapi ada juga yang strict harus hadir minimal 80%. Tapi secara umum karena kita sudah PhD, kita harus lebih proaktif dalam belajar.

Untuk pembimbingan, saya beruntung memiliki supervisor yang masih cukup muda dan sangat cerdas (meskipun beberapa kali sangat jadi tidak paham apa yang sedang dia bicarakan saking pinternya). Dia lulusan Cambrigde, jadi saya sering merasa tidak PD  dengan aksen Indonesian English saya kalau dibanding Bristish aksennya (yang terdengar seperti orang berkumur-kumur bagi saya). Tapi dia tidak pernah menyinggung masalah ini kok. Seperti tipikal dosen lainnya, dia sangat humble, misal ketika janjian dia tahu akan terlambat, dia mengabari saya duluan. Begitu pula ketika saya sudah selesai bimbingan, dia mengantar saya sampai ke depan pintu ruangan. Ini sederhana sih, tapi baru kali ini saya diperlakukan seperti ini. Dia masih baru di ELTE, baru dua tahun ini dia pindah ke sini, jadi dia juga masih belum terlalu paham sistem dan administrasi. Selain itu dia tidak mengajar, hanya sebagai research fellow. Jadi kehidupan perkuliahan dan penelitian saya ini sangat terpisah. Kuliah ya kuliah, penelitian ya penelitian. Kuliah dengan dosen yang mengajar, penelitian dengan supervisor.        

Overall, perjalanan PhD ini sepertinya masih sangat panjang. Seperti yang selalui Kristof (supervisor saya) katakan, “Kamu punya waktu empat tahun di sini, gausah buru-buru, jalani satu demi satu tahapannya”. Benar, perjalanan PhD ini mungkin bukanlah perjalanan yang bisa dipandu dengan Google Map, yang tahap demi tahapnya sudah jelas. Perjalanan ini lebih seperti perjalanan memecahkan teka-teki. Ketika kamu berhasil memecahkan satu teka-teki, maka pintu lain akan terbuka dan kamu harus memecahkan teka-teki berikutnya, sampai akhirnya semua pertanyaan terjawab. Makanya dia selalu menyuruh saya tidak terburu-buru merancang desain penelitian. Lupakan dulu research plan yang kemarin digunakan untuk mendaftar, mulai dari preliminary study dulu, baru akan muncul pertanyaan-pertanyaan penelitian lain yang harus kamu jawab.


Alasan Mengapa Dosen Harus Ngeblog


Tugas dosen secara sempit adalah mengajar mahasiswa, namun pada hakikatnya tugas dosen lebih dari itu, yaitu menjalankan tri dharma perguruan tinggi: mengajar, meneliti, dan mengabdi. Dosen masa kini harusnya memiliki tugas lainnya, yaitu ngeblog. Mengapa harus menambah beban dosen? Bukankan tugas yang sekarang saja sudah keteteran mau ngerjainnya? Eh tunggu dulu, tugas ngeblog ini bukan menambah job desc baru bagi dosen, justru sarana mencapai tiga tugas utama tersebut. Kok bisa? Berikut adalah alasan mengapa dosen harus nulis di blog.

Menyebarkan ilmu pengetahuan
Dosen tentunya adalah ahli di bidang yang digelutinya. Ilmu yang diperolehnya pastinya banyak dan diperoleh dengan cara-cara ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun sayangnya, ada kesenjangan antara dunia akademisi dengan dunia nyata. Banyak temuan-temuan bermanfaat yang ditulis dosen dalam jurnal ilmiah, namun hanya berakhir di rak buku perpustakaan. Mengapa? Karena bahasa yang digunakan terlalu tinggi dan dipenuhi istilah teknis keilmuan yang sulit dipahami oleh orang awam. Sehingga ilmu yang bermanfaat tersebut justru tidak dimanfaatkan oleh orang awam. Artikel jurnal memang memiliki kaidah-kaidah penulisan yang harus ditaati agar menjadikan artikel tersebut kredibel.

Yang menjadi masalah saat ini adalah orang awam justru lebih percaya dengan ilmu common sense yang diutarakan oleh motivator atau influencer, padahal apa yang dikatakannya belum tentu benar. Sedangkan para ahli, justru sibuk berkutat dengan komunitas para ahli itu sendiri dan mengabaikan orang awam. Nah, salah satu cara untuk menyebarkan ilmu yang bermafaat tersebut agar bisa diterima oleh orang awam adalah dengan menulis blog. Dengan ngeblog dosen bisa mengubah bahasa yang kaku dan asing dalam artikel ilmiah menjadi bahasa yang popular dan mudah dicerna oleh orang awam. Menulis artikel popular di blog ini sekaligus menjadi sarana diseminasi hasil penelitian dosen lho.

Personal branding
Branding merupakan hal yang penting, bukan saja untuk kepentingan finansial, namun juga untuk menyebarkan ilmu pengetahuan tadi. Dengan menulis di blog, profil seorang dosen akan lebih mudah diketahui. Publik akan dengan mudah mengetahui pengalaman, keahlian, pemikiran, dan karya-karya dosen dengan melihat tulisan-tulisan di blog. Menulis di artikel ilmiah memang penting untuk meningkatkan personal branding dosen di kalangan akademisi, namun menulis blog akan meningkatkan personal branding di masyarakat awam. Branding yang baik akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi dosen untuk dikenal masyarakat dan diundang dalam kegiatan-kegiatan tertentu sesuai bidangnya. Bayangkan, jika Anda adalah peneliti tentang perkembangan anak yang sudah meneliti perkembangan anak selama puluhan tahun. Ketika ada seminar dengan tema perkembangan anak, panitia tidak tahu siapa ahli di bidang tersebut, dan akhirnya mengundang artis yang memiliki anak kecil untuk menjadi pembicara. Bukan hal yang salah, namun jika profil Anda bisa ditemukan di Google, panitia pasti juga tidak akan ragu mengundang Anda untuk menyampaikan informasi yang lebih akurat. Dosen haruslah bisa menjadi “artis” di bidang yang dikuasainya.

Meningkatkan reputasi kampus
Dosen dan kampus dimana dia bekerja itu bagaikan orang dan pakaiannya, tidak akan bisa dipisahkan dan akan saling mempengaruhi. Baik-buruknya penampilan orang, tergantung dari pakaian yang dikenakannya. Itulah kenapa reputasi dosen sangat menentukan reputasi kampus. Khususnya bagi dosen di kampus swasta, reputasi baik itu adalah sesuatu yang harus diusahakan karena hidup mereka bergantung dari mahasiswa yang mendaftar. Kalau reputasi dosen baik, reputasi kampus akan baik, dan mahasiswa yang mendaftar akan banyak. Mengusahakan reputasi baik itu bisa dibantu dengan ngeblog. Menulis di blog juga akan meningkatkan SEO kampus Anda. Jadi kalau misal Anda dosen Psikologi, kemudian ada anak SMA sedang mencari informasi tentang kampus yang menyediakan jurusan Psikologi, maka ketika mencari di Google, nama Anda dan kampus Anda akan muncul di halaman atas pencarian. Menulis blog di domain yang sudah disediakan kampus juga dapat meningkatkan rangking kampus di pemeringkatan Webometrics.

Menambah penghasilan
Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua dosen merasakan kesejahteraan yang layak dengan gaji yang mereka terima. Dosen di perguruan tinggi kecil, apalagi di kampus swasta, biasanya harus hidup pas-pasan dengan gaji yang diterima. Oleh karena itu, dosen biasanya mencari pekerjaan sampingan agar kebutuhan hidupnya bisa tercukupi. Salah satu cara yang bisa ditempuh agar menghasilkan pundi-pundi tambahan adalah ngeblog. Blog yang baik biasanya akan sering dikunjungi orang, dan hal itu membuka peluang untuk memasang iklan di blog tersebut. Sebagai gambaran, blog saya di www.semestapsikometrika.com saat ini saya daftarkan ke Google AdSense dan tiap bulan setidaknya menghasilkan passive income sekitar 300 ribu Rupiah. Tidak terlalu besar memang, tapi kalau dikelola dengan lebih serius, bukan tidak mungkin penghasilannya bisa lebih tinggi, seperti para blogger professional yang bisa dapat puluhan jutaan Rupiah/bulan.  

Sarana pembelajaran
Blog dosen juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa. Dosen biasanya butuh media untuk mengunggah materi, mengumpulkan tugas, atau sekedar membuat pengumuman bagi mahasiswanya. Dosen bisa memanfaatkan blognya untuk kepentingan tersebut. Blog juga bisa dijadikan media untuk diskusi secara online atau membantu ketika pembelajaran harus dilaksanakan secara online.

Alasan-alasan di atas sebenarnya tidak hanya bisa dicapai dengan ngeblog. Di era yang serba instan seperti sekarang ini, mungkin ada beberapa tipe orang yang malas membaca. Dosen bisa menyesuaikan diri untuk mengubah format tulisan di blog menjadi video. Youtube bisa menjadi platform yang membantu hal tersebut. Jelas ya, ngebolog atau ngevlog itu juga sebagai sarana untuk menjalankan jobdesc ya, mengajar, mendiseminasikan hasil penelitian, dan menyebarkan ilmu pengetahuan bagi khalayak umum. Jadi ngeblog atau ngevlog nya para dosen itu bukan hanya mengisi waktu luang ya, justru harus diluangkan waktunya karena memang manfaatnya cukup besar, baik bagi diri sendiri maupun bagi instansi.

Kelebihan dan Kekurangan Kuliah Online dengan Youtube Live

Adanya pandemik Covid-19 membuat ritme hidup manusia berubah derastis. Bekerja dan belajar lebih banyak dilakukan dari rumah, termasuk proses perkuliahan. Tidak semua dosen dan mahasiswa siap dengan perubahan ini. Dengan dalih “Student Centered Learning”, dosen lebih banyak memberikan tugas mandiri ke mahasiswa dibanding menyampaikan materi seperti yang biasa dilakukan di kelas. Namun sepertinya dosen lupa, di balik tugas yang banyak, ada tumpukan pekerjaan juga untuk mengoreksi tugas tersebut. Di sisi sebaliknya, mahasiswa juga kelimpungan dengan tumpukan beban tugas bertubi-tubi dari dosen. Belum lagi mahasiswa juga mengeluh mengenai besarnya paket data yang harus mereka keluarkan untuk mengikuti kuliah online. Hal ini membuat saya berpikir, bagaimana menformulasikan perkuliahan yang efektif dan efisien, yang memudahkan dosen dan mahasiswa.

Saya pun melakukan survey kecil-kecilan untuk melihat best practice yang dilakukan dosen dalam perkuliahan online mereka. Ada beberapa alternatif platformyang sering digunakan, di antaranya yaitu: Whatsapp group, Webex, Zoom, Google Meet, Youtube Live, Instagram Live, Google Classroom, Edmodo, dan LMS kampus. Dari beberapa alternatif tersebut, akhirnya saya memilih menggunakan Youtube Live sebagai media perkuliahan online kelas saya.

Beberapa kelebihan menggunakan Youtube Live sebagai media kuliah online adalah sebagai berikut:

  1. Bisa share screen(membagikan layar), sehingga saya bisa menjelaskan dengan Power Point atau menampilkan wajah saya. Bisa juga mendemonstrasikan langkah-langkah analisis data dengan software (kebetulan saya mengajar Statistika).
  2. Bisa interaktif dengan mahasiswa melalui live chat. Mahasiswa dapat berdiskusi dan bertanya melalui live chat, sehingga interaksi dosen-mahasiswa tetap terjaga. Mahasiswa juga umumnya lebih aktif jika menyampaikan pertanyaan melalui chat dibandingkan secara langsung.
  3. Lebih hemat kuota data. Youtube dari sisi peserta tentu lebih memakan kuota yang lebih kecil jika dibandingkan kita menggunakan Zoom atau Google Meet. Selain itu, bagi pengguna Telkomsel, mereka juga bisa beli paket data ngeteng khusus Youtube (hanya 3 ribu Rupiah) (ini bukan endorse, saya ga dibayar Telkomsel, hanya ngasih tahu). Anggap saja ini uang bensin kalau mereka harus ke kelas.
  4. Video perkuliahan bisa tetap terdokumentasi di Channel Youtube, termasuk live chatnya. Hal ini cukup membantu mahasiswa yang lambat belajar, sehingga mereka dapat mengulang-ulang materi berapa kalipun mereka mau. Begitu juga jika mahasiswa berhalangan hadir secara real timesaat jam kuliah, mereka tetap bisa mendapatkan materi kuliah melalui Channel Youtube.
  5. Bisa dilaksanakan secara klasikal dalam jumlah besar. Saya sendiri menggabungkan tiga kelas menjadi satu sesi. Dengan demikian saya juga lebih efisien, tidak perlu menyampaikan materi yang sama berulang-ulang di kelas yang berbeda.
  6. Karena perkuliahan hampir sama dengan model ceramah di kelas, jadi mahasiswa tidak terlalu terbebani dengan tugas, dosen juga tidak terbebani dengan koreksian.

Meskipun demikian tetap ada keterbatasan Youtube Live ini, misalnya:

  1. Tidak cocok untuk metode belajar model diskusi. Hal ini karena Youtube hanya memungkinkan satu orang sebagai pembicara, sedangkan yang lain hanya bisa menanggapi melalui live chat.
  2. Koneksi internet pengajar harus stabil. Hal ini penting karena lancar atau tidaknya perkuliahan sangat tergantung dari koneksi internet pengajar. Selain itu kuota data yang digunakan juga lebih besar karena mereka sama saja mengupload video dengan durasi waktu yang cukup lama. Saya biasa menghabiskan lebih dari 2GB untuk sekali kuliah.
  3. Pengajar harus familiar dengan pengoperasian alat streaming Youtube. Nyatanya melakukan live streaming Youtube tidak sesederhana melakukan share screen dengan Zoom atau Google Meet, jadi perlu uji coba dulu.

Untuk live di Youtube sendiri ada dua metode, pertama live dengan Webcam dan kedua live streaming. Live dengan Webcam prosesnya lebih mudah, sama seperti live di Instagram, namun kita hanya bisa menampilkan wajah kita saja dan ini tentu saja tidak terlalu membantu untuk perkuliahan. Sedangkan untuk metode live streaming kita dapat membagikan apapun yang ada di komputer kita, mulai dari power point, kamera, dokumen, dan apapun yang kita buka di komputer kita. Metode live streaming ini tidak bisa dilakukan otomatis melalui Youtube, namun kita butuh program pihak ketiga yang menjadi perantara (encoder) antara Windows kita dengan Youtube. Untuk encoder saya menggunakan yang gratisan yakni OBS (Open Broadcaster Software) Studio. Untuk cara mengoperasikannya akan saya bahas ditulisan selanjutnya.

Lalu bagaimana memastikan bahwa mahasiswa memang menyimak materi yang disampaikan di Youtube? Ada beberapa cara yang dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan pembelajaran kita.

  1. Youtube telah menyediakan Analytics terhadap proses live streaming yang dilakukan. Berapa jumlah orang yang terlibat dan berapa menit rata-rata orang mengikuti live streaming. Meskipun parameter ini secara keseluruhan dan tidak menunjukkan individu, namun ini bisa menjadi gambaran awal apakah mahasiswa kita mengikuti kuliah secara penuh atau tidak.
  2. Melalukan absensi dan asesmen pemahaman terhadap materi yang dijelaskan. Cara dan waktu untuk absen hanya dijelaskan pada waktu tertentu di video. Misal pada materi analisis korelasi dengan SPSS, di akhir materi saya memberi tahu link untuk mereka bisa presensi. Presensi dilakukan di Google form disertai satu pertanyaan mengenai analisis korelasi. Jadi agar mereka bisa tahu link absen, mereka harus menyimak video kuliah, dan agar mereka bisa menjawab satu pertanyaan di absen itu, mereka harus benar-benar memahami materinya.
  3. Meskipun saya tidak mewajibkan mahasiswa untuk bisa mengikuti kuliah real time, tapi link untuk mengisi absen dan menjawab soal dibuat hanya aktif 24 jam. Hal ini perlu dilakukan agar mahasiswa terpacu bekerja tepat waktu.

Berikut ini adalah contoh tampilan ketika kuliah online dengan Youtube di Channel Youtube saya, Semesta Psikometrika

tampilan live streaming youtube
Tampilan live streaming youtube
 

Mengenal Psikometri dan Prospek Karirnya




Psikometri atau lebih tepatnya Psikometrika (Psychometrics) merupakan salah satu kajian dalam bidang Psikologi yang mempelajari khusus pada pengukuran aspek-aspek Psikologis. Peranan Psikometri dalam Ilmu Psikologi sebenarnya sangat penting, karena tanpa adanya pengukuran hal-hal yang tak kasat mata seperti proses mental, ilmu Psikologi mungkin hanya dianggap sebagai ilmu khayalan saja. Psikologi dikenal masyarakat berkat adanya tes-tes Psikologi yang mengukur berbagai aspek, seperti kecerdasan, kepribadian, dan minat. Meskipun demikian nyatanya tidak banyak orang Psikologi yang berminat mendalami Psikometri. Mengapa? Karena banyak hitung-hitungan di dalamnya, sesuatu yang ga Psikologi banget.

Sebagai dosen Psikometri, saya menjadi bagian dari sekian makhluk langka di Psikologi. Di tulisan ini saya akan bercerita tentang manis-manisnya saja menjadi makhluk langka tersebut, supaya pembaca sekalian tertarik mendalami bidang ini (pahitnya biar saya simpan sendiri). Sejak masa kuliah S1, saya sering dicari oleh banyak orang. Bukan karena tampan, bukan pula karena memiliki banyak hutang. Kebetulan saat itu saya cukup menguasai analisis data. Mulailah saya menjadi konsultan dadakan. Tradisi itu berlanjut saat kuliah S2 dengan perminatan Psikometrika Terapan, klien saya bertambah banyak, mulai dari mahasiswa S1 sampai S3. Tentu saya senang bisa bermanfaat bagi orang banyak. Tidak semua orang menguasai analisis data dan bisa membantu orang-orang tersebut rasanya menyenangkan. Sampai saya akhirnya menulis tutorial analisis di website SemestaPsikometrika, agar klien yang butuh bantuan tidak harus selalu bertemu saya, namun bisa belajar sendiri dari website (ceritanya sudah mulai kewalahan menghadapi pertanyaan).

Jadi mengapa memilih Psikometri? Ya karena langka dan pasti dibutuhkan, sesimpel itu. Kata orang Ekonomi, jika permintaan tinggi sementara penawaran rendah, maka harga akan naik. Seperti itu juga orang Psikometri, dengan ketersediaan ahli yang sedikit sementara kebutuhannya banyak, mereka akan memiliki nilai jual yang tinggi. Terbukti, dari tujuh orang mahasiswa angkatan saya yang mengambil perminatan Psikometri, lima diantaranya sudah menjadi dosen, sementara dua yang lain menjadi PNS. Kalau ada stereotype bahwa orang Psikometri itu orangnya kaku dan introvert mungkin ada benarnya. Tapi pada akhirnya, si orang kaku dan introvert tadi akan selalu dicari oleh teman-teman yang membutuhkan bantuannya.

Jadi apa sebenarnya yang dipelajari di Psikometri? Secara umum, Psikometri mempelajari bagaimana menbuat instrumen yang dapat digunakan mengukur aspek Psikologi seseorang secara valid dan reliabel. Aspek Psikologi yang diukur sendiri dapat dibedakan menjadi dua, kemampuan (kognitif) dan non-kemampuan. Contoh karya paling terlihat dari orang Psikometri adalah adanya tes inteligensi dan tes kepribadian yang digunakan dalam seleksi sekolah ataupun perusahaan. Psikometri ini spesial, karena dia hendak mengukur sesuatu yang tidak terlihat. Karena setiap pengukuran pasti menghasilkan skor berwujud angka, maka Psikometri sudah pasti tidak bisa dilepaskan dari angka-angka. Namun tenang saja, proses penghitungan sekarang sudah banyak dibantu oleh software. Dan karena sama-sama berhubungan dengan angka, orang Psikometri pasti dianggap menguasai statistika dan metodologi, meskipun sebenarnya secara keilmuan keduanya itu berbeda. Tapi terima sajalah.

Lalu apakah orang lulusan Psikometri hanya bisa bekerja menjadi dosen saja? Tidak, Psikometri memiliki prospek karir yang cukup luas. Di perusahaan besar, biasanya mereka memiliki alat untuk melakukan asesmen sendiri, dan biasanya mereka memperkerjakan orang Psikometri untuk membuat alat itu. Di konsultan Psikologi yang besar juga biasanya mereka memiliki instrumen sendiri, dan orang Psikometrilah yang membuatnya. Sekarang juga sudah banyak perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pengetesan yang menjual alat-alat tes psikologi. Biasanya mereka juga membutuhkan orang Psikometri untuk membuat alat tes untuk dijual tersebut. Di pemerintahan, orang Psikometri juga sangat dibutuhkan, misalnya di Kemendikbud, mereka membutuhkan ahli Psikometri untuk memastikan apakah tes-tes yang digunakan selama ini (misal tes UN, UKG, SNMPTN) sudah valid dan reiiabel. Di kementrian lain yang membutuhkan tes, seperti untuk tes CPNS juga pasti membutuhkan ahli Psikometri. Intinya, dimana ada pengetesan atau asesmen di tempat itu, di situlah orang Psikometri dibutuhkan. Cukup prospektif bukan?  

Tertarik mendalami Psikometri? Kamu setidaknya sekolah S2 dulu supaya keahlianmu diakui. Saran saya kalau mau mendalami Psikometri, belajarlah ke luar negeri, ke Amerika Serikat atau Belanda sana yang kultur Psikometrinya cukup kuat. Belajar ke luar negeri tentu banyak manfaatnya, selain ilmu mereka lebih update, kepakaranmu juga pasti sudah tidak diragukan lagi. Namun kalau mentok ga bisa sekolah ke luar negeri, beberapa kampus di Indonesia juga membuka perminatan Psikometri. Setahu saya ada di UGM, UNPAD, dan UIN Syarif Hidayatullah. Namun ya itu, belajar Psikometri di Indonesia sudah ketinggalan jauh ilmunya.