Tampilkan postingan dengan label Kuliah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliah. Tampilkan semua postingan

Mengurus Visa Reunifikasi Keluarga ke Hungaria


Akhirnya saya sekarang sudah berkumpul kembali bersama anak dan istri di Hungaria. Rasanya sudah sedikit lebih tenang, meskipun itu berarti saya juga harus menyesuaikan Kembali ritme hidup yang sudah tertata sebelumnya. Tulisan ini akan bercerita tentang proses pengurusan visa untuk keluarga, serta hal-hal apa saja yang harus disiapkan untuk reunifikasi keluarga di Hungaria. Tulisan yang bercerita tentang mengurus visa bagi awardee dapat dilihat di sini ya

Tanggal 29 Maret kemarin, akhirnya istri dan anak saya resmi mendarat di Budapest, Hungaria, dan akan tinggal Bersama saya di sini selama masa studi saya. Proses pengurusan visa ke sini untuk istri dan anak sebenarnya tidak terlalu ribet, tapi karena ada masalah dengan akte lahir istri saya, makanya prosesnya jadi sedikit lebih lama. Kami mulai menyiapkan dokumen visa ini sejak Januari 2021 dan baru resmi memperoleh visanya pada awal Maret 2021. Nah dokumen apa saja yang harus disiapkan? Berikut saya berikan check listnya.

NoNama DokumenCeklis
1Form Application Residence Permit (untuk anak dan istri/spouse) 
2Form lampiran family reunifikasi (form ini diisi nama kita, karena merupakan appendix application residence permit istri/spouse) 
3Pas foto standar visa schengen 
4Kartu Keluarga (KK) 
5Akte Kelahiran kita dan keluarga (asli dan legalisir dari kementerian) 
6Buku nikah (asli dan legalisir dari kementerian) 
7Certificate of employment (bagi yang bekerja) 
8Bank reference 
9Paspor (Disiapkan copyannya) 
10Letter of Award dan Letter of Admission 
11Kontrak flat/apartment 
12Landlord statement (menyatakan bahwa memberi izin kepada keluarga kita untuk tinggal di flat yang disewa) 
13Invitation Letter (ini inisiatif buat sendiri aja, tidak ada format khusus) 
14Asuransi (saya pakai Sinarmas yang bisa dibeli di Traveloka) 
15Itinerary (booking tiket keluarga dari CGK-BUD) 
16Buat jaga-jaga, bawa ijazah istri aja beserta copyannya, klo dibutuhkan penyesuaian data 

Nah bagaimana proses mengurus dokumennya? Berikut saya jelaskan detailnya. Informasi resmi sebenarnya bisa dibaca di halaman ini http://www.oif.gov.hu/index.php?option=com_k2&view=item&layout=item&id=54&Itemid=808&lang=en. Termasuk untuk form nomer 1 dan 2 pada checklist, bisa didownload di halaman tersebut. Untuk form nomer 1 diisi dengan identitas istri dan anak kita, sementara untuk form lampiran nomer 2 diisi dengan identitas kita sebagai pihak yang mengundang.

Langkah pertama tentu melengkapi form aplikasi nomer 1 dan 2. Selain itu yang butuh waktu lama adalah menyiapkan dokumen akta lahir, kartu keluarga, dan buku nikah yang dilegalisir oleh kemenlu. Sayangnya Kemenlu hanya mau melegalisir jika dokumen tersebut sudah dilegalisir oleh kementrian yang menerbitkan. Untuk akte dan KK kita minta legalisir terlebih dahulu ke Kemenkumham, sementara buku nikah dilegalisir ke kemenag. Kemarin untungnya ada kenalan yang bekerja di Kemenkumham, jadi bisa dimintain tolong sekalian untuk mengurus proses legalisir sampai ke kemenlu. Untuk seluruh dokumen istri dan anak (rangkap 3) kemarin menghabiskan biaya sekitar 2 juta Rupiah. Tapi ini masih mending lah, daripada harus ngurus sendiri ke Jakarta bolak-balik.

Proses legalisir ini yang memakan waktu cukup lama kemarin. Apalagi akte lahir istri bermasalah (ada bagian yang ditulis tangan oleh Capil), jadi dari Kemenkumhan tidak mau melegalisir. Terpaksa harus mengurus pembetulan akte ini, padahal yang menerbitkan aktenya dari Jambi, dan istri sekarang tinggal di Jogja. Tapi akhirnya setelah dilempar kesana-kemari masalah terselesaikan. Kalau semua dokumen sudah OK, maksimal 2 minggu lah kita sudah selesai legalisir dokumen.

Kemudian certificate of employee ini juga dibutuhkan, terutama jika masih bekerja. Karena saya masih tercatat sebagai dosen di UMM, jadi saya mintakan surat ke Pak Dekan, sekaligus keterangan bahwa saya masih memperoleh gaji pokok saya karena status saya adalah tugas belajar. Dokumen ini cukup penting, karena pihak imigrasi Hungaria tentu akan memperhitungkan apakah kita mampu menanggung biaya hidup anak istri kita selama tinggal di Hungaria nanti. Kalau pemasukan hanya dari uang beasiswa saja, tentu akan kurang, jadi dokumen ini bisa jadi penguat. Selain itu kita juga menunjukkan bank reference yang menjelaskan bahwa kita memiliki tabungan yang cukup. Untuk bank reference kemarin saya melampirkan dua, satu atas nama istri dari bank di Indonesia, dan satu atas nama saya dari bank di Hungaria. Tidak ada minimal nominal pasti, yang jelas semakin besar semakin baik.

Kemudian siapkan juga paspor yang kadaluwarsanya lebih dari 6 bulan. Kalau kurang dari 6 bulan, mending perpanjang dulu deh. Siapkan juga Letter of Award dari pemberi beasiswa (TPF) dan Letter of Admission dari kampus untuk jaga-jaga. Untuk kontrak flat, pastikan nama kita tertulis sebagai penyewanya. Kalau bisa masukan juga nama anak dan istri dalam kontrak sewa flat. Tapi kalau tidak, mintakan surat pernyataan dari landlord (pemilik flat) bahwa dia memberikan izin kepada anak dan istri kita (sebutkan namanya) untuk tinggal di flat tersebut. Dalam kasus saya kemarin, nama istri dan anak tidak tercantum dalam kontrak, tapi ada di surat pernyataan.

Untuk invitation letter, ini ada banyak versi memang. Ada yang mengatakan kita harus mengurus ke kantor imigrasi di Hungaria untuk dibuatkan invitation letter secara resmi, ada juga yang mengatakan kita bisa buat sendiri. Kalau kasus saya kemarin saya buat sendiri. Jadi hanya membuat surat yang intinya mengundang istri dan anak saya untuk tinggal bersama saya di Hungaria dan menyatakan bahwa seluruh biaya hidup mereka kita tanggung. Dan dengan surat itu oke-oke saja.

Untuk tiket kita bisa beli online. Tapi untuk ngurus visa kita tidak perlu tiket asli, cukup bookingannya saja, yang penting ada tanggal keberangkatannya kapan. Saya kemarin pakai jasa travel agent. Alternatifnya bisa pakai booking.com. untuk asuransi perjalanan, saya pakai Sinarmas yang paket basic visa Schengen, dan setahu saya ini yang paling murah dibanding asuransi perjalanan yang lain. Asuransi ini bisa dibeli di aplikasi Traveloka, harganya 250 ribuan. Beberapa teman juga menyertakan asuransi kesehatan untuk anak istri selama satu bulan pertama tinggal di Hungaria dari asuransi di Hungaria. Tapi dalam kasus saya, saya ga melampirkan itu dan oke-oke saja.

Untuk prosesnya, setelah semua dokumen kita lengkap, kita tinggal membuat janji melalui email dengan kedutaan besar Hungaria di Indonesia untuk wawancara visa. Mereka akan memberikan opsi tanggal dan kita bisa menentukan. Jika tanggal dan jam sudah disepakati, istri tinggal datang ke Jakarta sesuai waktu yang ditentukan dengan membawa semua dokumen yang dipersyaratkan. Anak di bawah 6 tahun tidak perlu ikut hadir ke Jakarta. Wawancara berlangsung cukup santai kok, pewawancaranya juga bisa bahasa Indonesia. Jadi bagi keluarga yang tidak bisa bahasa Inggris, tenang saja. Yang ditanya seputar rencana nanti selama tinggal di Hungaria, misal: mau kerja ga? Mau punya anak lagi ga? Kalau ada anak, anaknya mau sekolah ga? Kita tinggal jawab saja sesuai keadaan diri masing-masing. Selesai wawancara, kita diminta untuk membayar. Pokoknya kemarin kalau dirupihakan, untuk visa anak dan istri kita bayar 3,6 juta, itu sudah termasuk ongkos kirim visa ke alamat rumah kita.

Setelah dua minggu dari wawancara, istri dapat kabar bahwa visa sudah disetujui dan sedang dikirim ke rumah. Besoknya visa langsung nyampai di rumah. Setelah itu tinggal pesen tiket yang fix untuk berangkat ke Hungaria. Kemarin istri sudah dapat harga tiket yang normal, untuk istri dan anak kemarin kena 14 jutaan, dari Jakarta ke Budapest pakai Qatar. Kenapa pakai Qatar? Ini yang paling direkomendasikan kedutaan dan tidak butuh tes PCR. Setelah sampai di Budapest, istri diminta mengisi form Kesehatan dan pernyataan karantina mandiri. Setelah 10 hari menjalani karantina mandiri, barulah kita bisa bebas mengeksplorasi kota Budapest.

Alasan Mengapa Saya Kuliah di Hungaria

Pemandangan Kota Budapest

Pertanyaan ini banyak ditanyakan oleh rekan kerja saya di Indonesia, maupun rekan di Hungaria. Mengapa memilih Hungaria? Dan selalu jawab dengan jujur, karena hanya Hungaria yang mau menerima dan memberi beasiswa kepada saya. Jadi bisa dibilang, saya tidak memilih Hungaria, tapi Hungaria yang memilih saya. Saya selalu punya prinsip, coba semua peluang, namun kesempatan pertama yang muncul itulah yang akan saya ambil. Seperti itu pula pengambilan keputusan yang saya lakukan ketika memilih tempat kuliah S1, S2, dan juga tempat kerja (dan jodoh?). Bisa jadi itu bukan keputusan terbaik karena saya belum melihat kesempatan yang lain, tapi setidaknya ini keputusan yang paling aman dan memberikan paling sedikit penyesalan di kemudian hari.

Hungaria memang bukan destinasi favorit untuk melanjutkan studi kalau dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika, Inggris, Australia, atau Belanda. Rangking universitas di Hungaria juga tidak terlalu tinggi, dan nominal beasiswa yang diberikan juga tidak terlalu besar. Namun bagi saya, tidak terlalu penting dimana saya belajar, toh ketika sudah selesai nanti, gelarnya juga sama saja. Saya juga tidak butuh lagi membuat personal branding berlebihan, karena mau bagaimanapun setelah lulus nanti saya tidak ada pilihan lain selain Kembali mengabdi di UMM. Jadi ya pragmatis saja, yang penting lulus S3 di luar negeri. Kalau soal kompetensi, saya yakin itu tidak ditentukan oleh universitas, tapi oleh kita sendiri dan support dari supervisor kita. Dan yang saya tahu, supervisor saya memanglah ahli di bidang yang sedang saya tekuni. Jadi secara subjektif, kuliah di Hungaria ini sudah lebih dari cukup buat saya. Tapi, ada beberapa alasan objektif yang bisa dijadikan pertimbangan juga mengapa kuliah di Hungaria ini layak untuk dijadikan pilihan utama. Beberapa alasan itu adalah sebagai berikut:

Biaya hidup yang murah

Untuk ukuran negara Eropa, biaya hidup di Hungaria terbilang cukup murah jika dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Biaya hidup yang dikeluarkan tentu saja tergantung dari gaya hidup dan di kota mana kita tinggal. Tapi untuk biaya hidup di Budapest (ibu kota Hungaria) sendiri, tidak berbeda jauh dengan biaya hidup di Jakarta. Untuk kota lain, tentu biaya hidupnya lebih murah. Jadi dengan uang beasiswa yang sebenarnya terbilang kecil, kita masih bisa hidup dengan layak lah di Hungaria. Untuk gambaran biaya hidup di Hungaria, bisa melihat tulisan saya berikut (klik di sini)

Mutu Pendidikan yang berkualitas

Program studi yang paling popular di Hungaria adalah kedokteran, kedokteran gigi, dan kedokteran hewan. Gelar yang diperoleh diakui oleh WHO dan universitas lainnya di Eropa. Program studi lain yang ditawarkan juga cukup lengkap, mulai dari Psikologi, Pendidikan, MIPA, teknik, humaniora, dll. Selain itu universitas-universitas di Hungaria mengikuti sistem aturan Bologna Process yang berarti universitas di Hongaria bisa memberikan gelar Bachelor, Master dan Phd kalau persyaratan-persyaratan sudah dipenuhi. Ini juga berarti gelar yang sudah didapat di universitas di Hungaria mendapat pengakuan dan dipakai untuk melanjutkan pendidikan di negara-negara Uni Eropa lainnya. Ada beberapa universitas bergengsi di Hungaria yang masuk dalam pemeringkatan THE atau QS di antaranya Eotvos Lorand University (ELTE), University of Semmelweis, Central European University, University of Debrecen, Szeged University, dan Corvinus University of Budapest.

Lokasi strategis dan pemandangan indah

Hungaria terletak di jantung Eropa, sehingga mau ke negara mana-mana di Eropa cukup dekat. Hungaria juga masuk dalam Uni Eropa, sehingga residence permit kita valid digunakan untuk traveling ke negara Uni Eropa lainnya tanpa perlu mengurus visa lagi. Selain itu, Hungaria sendiri merupakan kota yang sangat indah, yang dihiasi oleh bangunan-bangunan historis dengan sentuhan arsitektur yang sangat menawan contohnya St Stephen’s Basilica, Buda Castle, Fisherman’s Bastion, dan Parliament House. Tidak heran kalau Hungaria jadi destinasi wisata terkenal di Eropa.

Menggunakan Bahasa Inggris dalam perkuliahan

Di Hungaria, Sebagian besar orang memang menggunakan bahasa Magyar (bahasa Hungaria) dalam percakapan sehari-hari, dan yang mampu berbahasa Inggris tidak terlalu banyak. Tapi jangan khawatir, untuk perkuliahan banyak sekali program yang menawarkan dalam bahasa Inggris. Tidak ada kewajiban harus menguasai bahasa Hungaria juga bagi penerima beasiswa PhD, namun bagi penerima beasiswa bachelor dan master, mereka wajib mengikuti kelas bahasa Hungaria pada tahun pertama. Tapi tenang saja, kelas ini tidak menentukan keberlanjutan beasiswa kita kok. Artinya kalaupun kita tidak lulus, kita tetap dapat beasiswa, namun dengan pemotongan untuk semester 2.

Keragaman budaya untuk pelajar internasional

Tiap tahun, pemerintah Hungaria memberikan beasiswa kepada lebih dari 4500 orang dari 70 negara untuk berkuliah gratis di Hungaria (untuk beasiswa Stipendium Hungaricum lihat di sini). Tentu saja ini jumlah yang sangat besar. Jadi tiap tahun ada ribuan pelajar internasional baru hadir di Hungaria. Belajar di Hungaria tentu saja bukan hanya belajar akademik saja, tapi juga belajar kehidupan tentang keragaman budaya dan toleransi. Kita bisa memperluas jaringan pertemanan dan belajar mengenai kehidupan mancanegara dari teman-teman kita dari negara lain.

Nah itu tadi beberapa alasan yang bisa dijadikan alasan kuliah di Hungaria. Selain alasan akademik, alasan non-akademik juga bisa menjadi pertimbangan. Hungaria juga negara yang aman dan maju, sehingga banyak hal yang bisa kita pelajari. Terlepas dari itu, belajar di luar negeri tentu memiliki tantangan sendiri mulai dari perbedaan cuaca, makanan, jauh dari keluarga, kesulitan bahasa, perbedaan budaya, dll. Hal ini yang akan membuat kita lebih kuat, tidak hanya secara akademik, namun juga mental kita dalam menghadapi perubahan dan tantangan. Itu yang tidak bisa didapatkan dari kuliah di dalam negeri.


Sistem Perkuliahan di Hungaria

Gedung rektorat ELTE

Universitas di Hungaria sudah mengikuti sistem Bologna Process, di mana universitas di Hungaria bisa memberikan gelar Bachelor, Master dan Phd dan bisa ditransfer atau dipakai untuk melanjutkan pendidikan di negara Uni Eropa lainnya. Tulisan ini akan memberikan gambaran sistem perkuliahan di Hungaria dan perbedaanya dengan di Indonesia. Dikarenakan saya saat ini menempuh Pendidikan S3 di Hungaria, jadi saya akan memberi proporsi lebih untuk informasi sistem kuliah S3 di Hungaria.

Sistem perkuliahan di Hungaria secara garis besar tidak berbeda jauh dengan di Indonesia, baik pada level S1, S2, maupun S3. Level S1 (Bachelor) umumnya ditempuh dalam waktu tiga tahun di Hungaria. Sistem perkuliahan juga sama, ada teori, ada praktikum, dan ada skripsi. Skripsi di Hungaria disebut thesis (portfolio), jadi semacam kumpulan research practice dan salah satunya harus dibuat full research yang bentuk akhirnya seperti naskah publikasi dengan maksimal 8000 kata (tidak lebih dari 25 halaman). Bedanya, di Hungaria skripsi tidak nampak seperti dewa atau karya monumental, biasa saja, apalagi tidak ada dorongan untuk sampai mempublikasikan hasilnya. Portfolio ini lebih untuk melihat kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan teori dan metodologi yang sudah diperoleh sebelumnya, selain daya kritis dan sistematika berpikir tentunya. Jadi tidak perlu sampai bertahun-tahun hanya untuk menyelesaikan portfolio ini, sama seperti tugas kuliah biasa saja.

Untuk level S2 (master) secara garis besar juga tidak berbeda jauh dengan di Indonesia, biasanya ditempuh dalam waktu dua tahun. Sistem perkuliahan sama, ada teori, praktikum, dan tesis. Untuk cara belajarnya mungkin sedikit berbeda. Di Hungaria pembelajaran lebih interaktif dan tugas lebih banyak diberikan dalam bentuk tugas individu. Mungkin karena mahasiswanya sedikit juga kali ya, jadi dosennya juga hapal satu per satu mahasiswanya. Hanya saja menurut beberapa teman, kuliah master di Hungaria jauh lebih padat dibanding di Indonesia. Jika di Indonesia dalam satu semester mungkin hanya mengambil 6 mata kuliah, di Hungaria dalam satu semester bisa mengambil setidaknya 10 mata kuliah. Untuk tesis secara garis besar juga sama dengan di Indonesia, hanya saja tesis di Hungaria biasanya sudah ditentukan topiknya. Jadi tiap awal semester diumumkan topik yang dibuka beserta supervisornya, kemudian mahasiswa mendaftar sesuai dengan minatnya masing-masing.

Untuk level S3 (PhD) biasanya diselesaikan dalam waktu empat tahun. Tahun pertama dan kedua didominasi dengan kegiatan perkuliahan di kelas. Setidaknya dalam dua tahun pertama, mahasiswa sudah harus menyelesaikan 84 kredit atau setara 12 mata kuliah. Mata kuliah yang diambil ditentukan berdasarkan modul yang harus diselesaikan, dan modul ini sudah ditentukan saat kita diterima. Jadi dalam Letter of Acceptance (LoA) sudah ditulis topik riset kita, supervisor kita, dan modul yang harus diselesaikan. Selain perkuliahan, di dua tahun pertama mahasiswa juga harus melakukan penelitian dan mengajar. Kegiatan penelitian bisa berupa melalukan preliminary study riset kita, kajian literatur, mengikuti konferensi ilmiah, atau menulis artikel ilmiah. Sementara kegiatan mengajar sifatnya tidak wajib, boleh diganti dengan kegiatan penelitian. Tapi biasanya program akan meminta kita, terutama untuk mengajar di kelas internasional pada level bachelor atau master. Total kredit keduanya minimal adalah 36 kredit untuk dua tahun pertama. Untuk besaran kredit penelitian dan mengajar ini biasanya disepakati dengan supervisor dan coordinator program tempat kita mengajar, sesuai dengan beban kerja kegiatan yang dilakukan.

Di akhir tahun kedua, mahasiswa setidaknya sudah harus memiliki 120 kredit untuk bisa mendaftar complex exam. Complex exam ini adalah checkpoint yang menentukan apakah kita berhak lanjut ke fase kedua studi doktoral kita. Jika lulus, kita baru bisa dikatan PhD candidate, tapi jika tidak lulus, sorry to say, kita harus mengakhiri perjalanan PhD kita. Complex exam ini terdiri atas dua komponen, ujian teori atas mata kuliah yang sudah kita pelajari dan ujian atas rencana riset yang akan kita kerjakan. Ujian teori mata kuliah bersifat lisan, dan mata kuliah yang diujikan ditentukan oleh dewan penguji. Jika tidak lulus ujian mata teori ini, mahasiswa boleh mengulang satu kali lagi. Sementara ujian riset berkaitan dengan seberapa paham riset yang akan dikerjakan dan visibilitas untuk diselesaikan. Biasanya mahasiswa sudah memiliki hasil preliminary study akan topik risetnya saat ujian ini, karena memang di dua tahun awal mereka juga sudah mulai mengerjakan risetnya. Kalau tidak lulus ujian riset ini, perjalanan PhD kita berakhir.

Jadi fase pertama, yakni tahun 1 dan 2 ini sangat menentukan perjalanan PhD kita. Di dua tahun awal ini mahasiswa tidak hanya dituntut menyelesaikan mata kuliah dengan baik, tapi juga sudah harus mulai mengerjakan risetnya. Tentu akan menjadi nilai plus jika selama dua tahun awal ini sudah ada publikasi yang dihasilkan. Di fase kedua, mahasiswa fokus untuk menyelesaikan risetnya. Jika dilihat bebannya, seperti di fase kedua ini nampaknya lebih selo ya, tapi sebenarnya tidak juga. Di Hungaria, rata-rata kampus menetapkan bahwa untuk bisa ujian disertasi, mahasiswa sudah harus memiliki publikasi di jurnal bereputasi. Standarnya berbeda-beda, kalau di kampus saya minimal tiga artikel dan dua diantaranya harus artikel empiris (bukan kajian literatur). Artikel yang dipublikasikan ini harus dikutip dalam disertasi kita. Ini yang kadang menyulitkan karena untuk publikasi di jurnal bereputasi itu prosesnya panjang sekali.

Jadi itulah sekilas mengenai sistem perkuliahan di Hungaria. Untuk level S3 sistem perkuliahan lebih mirip dengan di Indonesia dibanding dengan negara Eropa lainnya yang mayoritas sudah full riset. Untuk sistem di level S1 dan S2 pun tidak berbeda jauh. Namun demikian kultur akademik di Hungaria lebih kuat dan jelas berbeda dengan di Indonesia. Di Hungaria kelas lebih aktif, kasual, menuntut daya kritis dan kedudukan dosen-mahasiswa lebih setara. Jadi, meskipun tidak sepopuler di Amerika, Inggris, atau Belanda; kuliah di Hungaria tetap menjadi opsi yang baik untuk merasakan iklim akademis di Eropa. Pengalaman saya mendaftar beasiswa dari pemerintah Hungaria, mulai dari mencari supervisor, seleksi universitas, sampai mengurus visa bisa disimak di sini (Part 1, Part 2, Part 3).

Menjadi Mahasiswa PhD di Hungaria: Kesan Pertama


Sudah satu bulan saya tinggal di Budapest untuk melanjutkan studi PhD saya di kota ini. Saya mengambil kuliah di Doctoral School of Psychology di Eotvos Lorand University (ELTE) pada program Cognitive Psychology. Tulisan ini akan bercerita tentang kehidupan seorang PhD student di Hungaria. Tentu saja, setiap orang mengalami hal yang berbeda, dan tulisan ini adalah subjektif dari pandangan saya saat ini, jadi jangan digeneralisir dan bisa jadi pandangan ini juga akan berubah seiring berjalannya waktu.

Hungaria sepertinya memang masih belum menjadi tujuan favorit mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan kuliah. Baru tiga tahun belakangan ini beasiswa dari Hungaria mulai terdengar namanya, itupun selalu kuotanya tidak terisi penuh. Selain masalah bahasa dan tradisi, rangking universitas di Hungaria juga mungkin jadi pertimbangan. Rangking universitas di Hungaria memang tidak terlalu tinggi, kampus favorit di sini hanya nangkring di peringkat 500-an dunia. Tapi jika dilihat per bidang studi, banyak bidang studi tertentu yang peringkatkan masuk 100 besar dunia. Seperti kampus saya, ELTE, secara universitas rangking versi QS setara dengan Unair. Tapi jika dilihat bidang Psikologi, rangkingnya jauh di atas kampus di Indonesia, yaitu 200. Soal rangking ini juga balik lagi versi siapa sih, kalau versi THE atau CWUR rangkingnya jauh di atas universitas di Indonesia.

Sistem perkuliahan di Hungaria untuk jenjang PhD ini sedikit berbeda dengan negara-negara lainnya di Eropa. Di Belanda, Jerman, Swedia, atau Norway mahasiswa PhD biasanya dianggap sebagai pekerja yang pekerjaan utama adalah meneliti, Jadi mereka tidak wajib ikut kuliah di kelas. Tapi di Hungaria mirip seperti di Amerika atau Indonesia, kita masih diwajibkan mengikuti perkuliahan di kelas selama empat semester. Tapi di empat semester awal ini kita juga sudah harus memulai riset kita, setidaknya untuk mematangkan proposal disertasi kita. Jadi dua tahun ini kerjanya saling tumpeng tindih, kuliah dan penelitian. Di akhir semester empat kita ada complex exam, ini semacam ujian komprehensif untuk menentukan apakah kita layak untuk lanjut ke tahap berikutnya atau tidak. Jika lolos, kita baru bisa disebut PhD candidate, jika tidak, sorry to say perjalanan PhD kita berakhir.

Saya kuliah dengan beasiswa Stipendium Hungaricum, jadi jatah kita hanya empat tahun. Sayangnya berdasarkan cerita senior, sampai saat ini sangat sedikit mahasiswa yang bisa lulus dalam waktu empat tahun. Tapi ini tergantung dari kampus. Di ELTE untuk bisa mendaftar ujian disertasi, kita diwajibkan memiliki minimal tiga publikasi di jurnal (yang semuanya terindeks Scopus atau WoS) yang harus sesuai dengan topik disertasi kita, dan dua dari tiga publikasi itu haruslah empirical research. Publikasi ini juga harus dikutip dalam disertasi. Tentu saja syarat ini yang menjadi penghambat karena proses publikasi di jurnal top ini memakan waktu cukup panjang, bisa lebih dari setahun.

Perkuliah untuk mahasiswa PhD ini tidak seintensif mahasiswa master. Semester ini saya hanya mengambil tiga mata kuliah, namun tiap mata kuliah bobotnya 7 ETCS. Namun kuliah tatap muka (online/offline) rata-rata dilaksanakan hanya dua minggu sekali. Sisanya kita lebih banyak diberikan project seperti merivew jurnal, mengkritisi disertasi, atau menulis artikel. Tiap perkuliahan diisi dengan presentasi mahasiswa secara bergantian. Jadi kalau dilihat-lihat mahasiswa PhD ini jauh lebih longgar waktunya dibanding mahasiswa master. Jadwal kuliah juga sangat fleksibel, tergantung professor yang mengajar. Jadi kuliah PhD ini sangat tidak terstruktur, dan di situlah kadang jebakannya, kalau kita terlena bisa-bisa terbawa suasana santai.

Untuk perkuliahan sendiri lebih santai. Professor di sini sangat humble, lebih dekat dengan mahasiswa dan tidak memposisikan diri sebagai dewa. Suasana perkuliahan juga santai, dengan pakaian yang santai, lokasi yang santai (pernah saya kuliah di cafe), dan lebih banyak diskusi dibanding mendengarkan dosen ceramah. Tapi soal standar etika tetap harus dijaga, misal jika berhalangan hadir tetap harus memberi kabar ke dosen pengampu. Soal kehadiran ini memang tergantung dosennya, ada yang membebaskan asalkan seluruh tugas dikerjakan, tapi ada juga yang strict harus hadir minimal 80%. Tapi secara umum karena kita sudah PhD, kita harus lebih proaktif dalam belajar.

Untuk pembimbingan, saya beruntung memiliki supervisor yang masih cukup muda dan sangat cerdas (meskipun beberapa kali sangat jadi tidak paham apa yang sedang dia bicarakan saking pinternya). Dia lulusan Cambrigde, jadi saya sering merasa tidak PD  dengan aksen Indonesian English saya kalau dibanding Bristish aksennya (yang terdengar seperti orang berkumur-kumur bagi saya). Tapi dia tidak pernah menyinggung masalah ini kok. Seperti tipikal dosen lainnya, dia sangat humble, misal ketika janjian dia tahu akan terlambat, dia mengabari saya duluan. Begitu pula ketika saya sudah selesai bimbingan, dia mengantar saya sampai ke depan pintu ruangan. Ini sederhana sih, tapi baru kali ini saya diperlakukan seperti ini. Dia masih baru di ELTE, baru dua tahun ini dia pindah ke sini, jadi dia juga masih belum terlalu paham sistem dan administrasi. Selain itu dia tidak mengajar, hanya sebagai research fellow. Jadi kehidupan perkuliahan dan penelitian saya ini sangat terpisah. Kuliah ya kuliah, penelitian ya penelitian. Kuliah dengan dosen yang mengajar, penelitian dengan supervisor.        

Overall, perjalanan PhD ini sepertinya masih sangat panjang. Seperti yang selalui Kristof (supervisor saya) katakan, “Kamu punya waktu empat tahun di sini, gausah buru-buru, jalani satu demi satu tahapannya”. Benar, perjalanan PhD ini mungkin bukanlah perjalanan yang bisa dipandu dengan Google Map, yang tahap demi tahapnya sudah jelas. Perjalanan ini lebih seperti perjalanan memecahkan teka-teki. Ketika kamu berhasil memecahkan satu teka-teki, maka pintu lain akan terbuka dan kamu harus memecahkan teka-teki berikutnya, sampai akhirnya semua pertanyaan terjawab. Makanya dia selalu menyuruh saya tidak terburu-buru merancang desain penelitian. Lupakan dulu research plan yang kemarin digunakan untuk mendaftar, mulai dari preliminary study dulu, baru akan muncul pertanyaan-pertanyaan penelitian lain yang harus kamu jawab.


Misi Mempopulerkan JASP


Pandemi Covid-19 ini membawa banyak hikmah bagi saya. Saya jadi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, dan jadi tahu betapa tidak mudahnya mengasuh anak sambal menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah. Di sisi lain saya jadi memiliki banyak waktu untuk eksplorasi belajar hal-hal yang sulit dilakukan ketika rutinitas di kampus seperti biasa. Salah satu project saya selama Work From Home ini adalah ngeblog dan bikin konten untuk Channel YouTube Semesta Psikometrika. Channel YouTube ini adalah pelengkap dari website www.semestapsikometrika.com, untuk menfasilitasi orang-orang yang lebih suka melihat video tutorial dibanding membaca artikel. Selain itu Channel ini juga saya gunakan untuk kuliah, jadi sekalian lah.

Salah satu konten yang sedang coba saya populerkan adalah mengenalkan JASP kepada masyarakat luas. JASP adalah software analisis statistik yang gratis, mudah digunakan, dan lengkap. Software dikembangkan oleh ilmuwan dari University of Amsterdam dan mendapat sokongan dana yang cukup besar dari European Research Council (ERC). Selain gratis, banyak kelebihan software ini dibanding software lainnya. Ini adalah uraian singkat kelebihan JASP dibandingkan SPSS atau software analisis lainnya.

  1. Gratis - pengguna tidak perlu membeli lisensi untuk bisa menggunakannya. JASP ini gratis digunakan oleh siapa saja untuk kepentingan apa saja
  2. Simpel tapi powerful - tampilan JASP ini simpel, jauh lebih simpel dibanding SPSS. Tapi JASP mampu melakukan analisis yang lengkap, dan bisa mengeluarkan output yang lebih kompleks jika dibutuhkan
  3. Output tabel standar APA - jika tabel SPSS bentuknya kotak-kotak dan masih perlu diedit lagi kalau mau ditaruh di naskah publikasi, output tabel JASP sudah sesuai standar APA. Jadi tinggal copy paste saja beres
  4. Mudah digunakan - kalau ini pembanding yang tepat adalah R. R memang bisa menyajikan analisis yang lengkap, tapi pengguna harus bisa bahasa coding. JASP tidak perlu bisa coding, cukup klik and drag seperti SPSS
  5. Analisis dan output lengkap - bahkan lebih lengkap dari SPSS. MIsalnya, di JASP kita bisa melakukan analisis faktor konfirmatori (CFA), sementara kalau di SPSS analisis ini belum bisa dilakukan.
  6. Mudah direproduksi - kalau SPSS antara output dan input menghasilkan windows yang berbeda dan file yang berbeda. Masalahnya kadang kita lupa, untuk menghasilkan output tersebut, menu apa saja yang di klik. Selain itu, tidak semua orang punya lisensi SPSS, jadi kalau kita mau mengirim file SPSS ke orang lain, belum tentu bisa dibaca. Di JASP, antara input dan output jadi satu kesatuan, sehingga langkah yang dilakukan untuk menghasilkan output tersebut terekam
  7. Analisis Bayesian - ini juga tidak bisa dilakukan SPSS. Di JASP, kita tidak hanya bisa melakukan analisis dari pendekatan frequentist, namun juga dari pendekatan Bayesian
  8. Responsif terhadap permintaan - ini juga tidak dimiliki SPSS yang ekslusif. JASP itu inklusif, milik publik. Jadi publik boleh usul mau ditambah apa software ini. Usul bisa disampaikan melalui website, blog, atau GitHub dan akan direspon oleh team JASP jika dirasa baik untuk ditambahkan.
Kenapa saya mau mempopulerkan software ini? Saya tidak dibayar oleh team JASP, tapi sebagai pengguna yang sudah diijinkan memakainya secara gratis, saya merasa software ini perlu untuk dikembangkan lebih lanjut. Salah satu yang membuat software ini berkembang adalah, ya ada yang pakai. Secanggih apapun softwarenya kalau ga ada yang pakai, ya akan mati. JASP juga berkembang berkat feedback dari penggunanya. Team JASP sangat responsive terhadap pengguna, jadi kalau ada request dari pengguna untuk menambah fitur baru, mereka akan mengakomodasi, asalkan memang itu penting untuk dilakukan.

Selain itu misi utama saya mempopulerkan JASP adalah ini adalah software legal yang mudah digunakan, lebih mudah dari SPSS malahan. Seiring meningkatnya kesadaran akan hak cipta, kita tidak tahu sampai kapan kita bisa menggunakan SPSS bajakan. Apalagi kalau untuk digunakan ke luar negeri atau untuk publikasi internasional. Dalam agama apapun kita juga diajarkan untuk menghargai hasil karya orang lain. Kalau pengembang SPSS menciptakan SPSS untuk dijual, sementara kita menggunakannya tanpa membeli, entah ilmu kita berkah atau tidak. Makanya, yang akadnya sudah jelas adalah memakai JASP. Meskipun gratis, pengembang JASP justru akan sangat senang kalau banyak orang yang menggunakannya.

Yang saya suka dari JASP ini adalah semangat gotong-royongnya. Mereka punya team software developer yang mengembangkan softwarenya. Kita sebagai pengguna juga bisa berkontribusi banyak, misalkan dengan membuat manual atau tutorial untuk menggunakan software analisis ini. Kenyataannya manual yang dibuat, Sebagian besar justru dibuat oleh orang-orang di luar team JASP. Manual dan tutorial dibuat dalam berbagai bahasa dan dibuat dalam website resmi JASP. Kolaborasi antar ilmuwan ini yang membuat ilmu pengetahuan berkembang secara inklusif, tidak eksklusif. Semua bisa berkontribusi dan semua bisa mengoreksi kesalahan koleganya.

Hari ini saya diajak menjadi pembicara di Webinar yang diselenggarakan Anuradha Academy, isinya tentang pengenalan JASP. Antusiasnya cukup baik, ada 147 orang yang hadir. Semoga 147 orang ini bisa jadi penggerak di komunitasnya masing-masing. Jadi bagi kalian yang ingin tahu mengenai JASP, buka website resmi JASP (https://jasp-stats.org/jasp-materials/), di situ ada banyak sekali materi tentang JASP dan cara menggunakannya. Selain itu kalau kalian lebih suka yang berbahsa Indonesia, kalian bisa subscribe channel YouTube Semesta Psikometrika, di situ ada banyak video tutorial analisis menggunakan JASP. Kalau merasa informasi mengenai JASP bermanfaat, sebarkan dan ajak orang-orang yang kalian kenal untuk bermigrasi, dari SPSS ke JASP.